From true story'
Cerita ini khusus untuk usia 21+
Yang dibawah usai 21+ silahkan menepi dulu!
Pandai-pandailah memilih bacaan.
Bab 1 (Keberuntunganku)
Aku masih memandangi pria dengan hidung mancung yg kini sedang terlelap di samping ku. Pria yang baru kemarin mengucapkan janji suci di depan ayah dan ibuku. Memintaku untuk menjadi teman hidupnya berbagi dalam suka dan duka, teman saling menjaga, dan saling mengasihi. Teman yg akan setia membimbingku hingga akhir hayatku. Dan teman yg akan bersama-sama menuju janahnya. Iya, dia adalah mas Bagas. Pria yg aku pacari hampir delapan tahun. Bukan waktu yg singkat untuk kita saling mengenal, yang pasti waktu selama itu sudah cukup untuk kami saling mempelajari karakter masing-masing. Maklum, untuk wanita seperti ku yg telah menginjak usia 30 tahun bukan saatnya lagi untuk bermain-main dalam menjalani cinta. Aku butuh pria yg serius untuk menjadi imam ku dan ayah dari anak-anakku. Apalagi tentang finansial, jelas mas Bagas sudah lebih bagiku. Di adalah mandor perhutani, weskipun wajahnya tak seputih artis korea, tapi lelaki berbadan tegap itu mempunyai kepribadian yg lembut. Tak pernah sekalipun selama berpacaran dia memarahiku atau sejenisnya. Dia begitu Sabar menghadapi sifatku yg kekanak-kanakan dan begitu manja. Sebagai anak tunggal ayah dan ibu memang sangat memanjakanku. Hingga akhirnya sifat itu terbawa sampai aku dewasa.
Aku memang tidak mau terburu-buru menikah seperti halnya yg teman-temanku lakukan. Mereka memilih menikah di usia muda tanpa kematangan, pada akhirnya rumah tangga mereka kandas di tengah jalan. Itu lah hal yg sama sekali tidak aku inginkan. Karena menjalani rumah tangga tidak hanya modal cinta. Semua aspek harus saling mendukung, mulai dari finansial, kasih sayang dan saling mengerti. Jika salah satu nya tidak melengkapi, maka rumah tangga itu bagaikan manusia yg berjalan dengan kaki yg pincang.
"Mas!" Ucapku lembut, aku terus menyisir rahang kekar pria yg sedang mendengkur halus disamping ku, berharap pria itu segera bangun dari mimpinya.
"Hem!" Mas Bagas hanya mengeliat, tangan yg sedari tadi melingkar di pinggang ku kini bertambah semakin erat.
"Ayo bangun mas! Sholat subuh," ucapku, Sepertinya pria ini begitu kelelahan dengan permainan kami semalam. Malam yg panjang yg kami lalui begitu indah. Malam yg kami nantikan selama delapan tahun. Pecah sudah darah merah yg masih membekas di seprei motif bunga lavender yg membungkus di kasur ranjangku.
"Jam berapa sih dek?" Tanyanya dengan suara malas, matanya masih terus terpejam. Seolah terasa berat untuk di buka.
"Jam 4 mas!" Sahutku, kini aku lebih suka memainkan bulu halus di dada pria tanpa busana itu. Naik turun, naik turun, agar mas Bagas merasa kegelian dan segera beranjak bangun, pikirku.
"Hem!" Lengan kekar itu menarik tangan ku yg terus membelai dadanya, matanya membulat menatapku penuh gairah. Terulas senyum manis dari bibir yg semalam habis mencumbuiku itu.
"Bangun mas!" Ucapku lantang, aku sengaja memasang muka sedikit kesal agar wajah tersipuku tak terlihat olehnya. Rasanya begitu malu. Bagaikan anak SMA yg baru saja pacaran, otakku seolah kehilangan kesadaran, mudah ngeleyar ketika pria tegap dengan kulit hitam manis itu menggodaku atau menujukan perhatianya kepadaku.
"Hem, aku kira mau ngajak nambah!" Ucapnya sembari membenamkan kembali wajahnya pada bantal.
"Ih, ayo bangun mas!" Aku mencubit kecil pinggang mas bagas dengan memasang wajah manjaku, membuat pria itu berlonjak mengaduh. Sementara aku terus tertawa melihat tingkah mas bagas yg sedang kesakitan. Tidak menunggu waktu lama, pria itu menangkap tubuh mungilku dan menghujani ku dengan ciuman di seluruh wajahku. Aku terus tertawa, rasa bahagia itu tidak mampu ku sembunyikan. Keberuntungan seorang wanita adalah ketika dia menemukan suami yg mampu menyanyanginya sepenuh hati Dan keberuntungan ku adalah mas Bagas.
Selesai kami sholat Subuh bersama, mas Bagas segera mengenakan seragam kerjanya. Seragam berwarna hijau, dengan sepatu boot lengkap dengan topinya. Sementara aku masih sibuk mengoleskan selai roti rasa nanas pada roti-roti yg ada di atas meja. Lelaki itu kini telah duduk di hadapanku, menatapku yg sedang meracikan kopi untuknya dengan tatapan sendu. Wajahnya bertumpu pada kedua telapak tangan yg ia sandarkan pada meja.
"Mas!" Ucapku geregetan.
"Apa sih sayang!" Sahutnya, kini tatapan sendu itu di tambah dengan ulasan senyum dari bibirnya. Membuatnya terlihat manis bagaikan gulalai. Duhh ...!
"Jangan lihatin aku kaya gitu dong!" Ujar ku sembari menutup wajah ku dengan kedua telapak tanganku.
"Ih, memang kenapa gitu?" Kini pria itu menurunkan tangannya kemudian melipat tangan itu di atas meja.
"Aku malu mas!" Benar saja wajahku pasti terlihat memerah bagaikan udang rebus.
Pria itu beranjak menuruni bangku, melangkahkan kakinya menghampiri ku yg sedang sibuk mengaduk kopi untuknya.
"Kenapa harus malu coba? Kita kan sudah halal, sayang!" Pria itu memeluk tubuhku dari belakang, dan melingkarkan lengan kekarnya di pinggang rampingku. Wajah sendu itu kini berada di atas pundak ku, menyesap aroma wangi dari rambut ku yg masih basah.
"Ya malu lah mas! Kaya anak ABG aja mas ini!" Ujar ku sambil mengaduk-aduk kopi yg mengeluarkan kepulan asap ke udara. Aroma kopi yg bergitu kental yang mampu memberi rasa nyaman saat ku menghirupnya. Sama halnya ketika mas Bagas sedang memeluk ku seperti ini.
"Kan kamu masih ABG dek! ABG nya mas!" Pria itu tertawa kecil sambil mencubit hidung kecilku. Membuat ku meringis menahan sakit.
Selesai kami sarapan mas Bagas segara memacu motro trielnya. Tidak lupa aku mencium punggung tangannya terlebih dahulu, dan mas Bagas kembali menghujani ku dengan kecupan penuh di wajahku. Membuat aku terus terpejam, takut bulu halus di kumisnya mengenai kulitku.
Pekerjaan dengan Medan curam membuat mas Bagas harus mengendari motor tinggi itu. Hampir setiap hari dia harus mengontrol keadaan hutan. Karena semakin tingginya tingkat pencurian kayu di daerahku membuat hampir seluruh waktunya di gunakan untuk menyisir hutan yg semakin gundul.
Aku masih terus menatap pria yg mengendarai motor trail yg kini telah menghilang di ujung jalan. Kemudian, segera aku bergegas masuk kedalam rumah. Untuk memburu waktu.
Aku segera memasukan semua keperluanku kedalam tas rangsel yang berada di meja kerjaku beserta laptop yg berisi data nilai murid-murid Ku. Aku adalah seorang guru SMP namun sudah masuk sebagai pegawai negeri sipil. Baru setahun yang lalu aku diangkat menjadi seorang PNS. Hampir 7 tahun aku mengabdi sebagai guru bantu, hingga akhirnya impianku mendapatkan tunjangan di hari tua itu pun tercapai. Tekadku sudah bulat, jika aku belum diangkat menjadi PNS maka aku tidak akan menikah. Itulah yang menjadi alasan ku hingga usiaku mengijak kepala tiga aku baru menikah. Dan yg membuat aku semakin beruntung adalah mas Bagas yg sabar menunggu ku hingga detik ini kita menjadi satu.
Aku masih memilah dokumen yg berserakan di atas meja, maklum hampir satu Minggu aku cuti bekerja karena sibuk menyiapkan hari bahagia yg akan aku lakukan hanya satu kali dalam hidupku ini. Aku menemukan ponsel milik mas Bagas yang terselip di tumpukan kertas ujian yg akan aku bagikan hari ini untuk para murid-murid ku. Mungkin saking terburu-buru nya pria itu sampai melupakan benda terpenting keduanya setelah aku ini.
Dreg! Dreg! Dreg!
Benda pipih yg hanya di beri nada getar itu terus berkedip. Sebuah nomor tanpa nama masuk di panggilan telpon. Aku masih menunggu beberapa detik hingga benda pipih itu berhenti berkedip. Rasanya terlalu lancang jika aku harus mengakat panggilan itu. Aku tidak mau di cap sebagai istri yg tidak memberi kebebasan buat suaminya. Selama semua itu masih batas wajar, dan aku percaya mas Bagas memegang hal itu.
"17 panggilan tak terjawab." tulis di layar benda pipih itu, dengan nomor yang sama.
Terbesit dalam benak ku, siapakah pemilik nomor itu? Namun aku mencoba berpositif thinking saja. Karena prasangka buruk hanya akan membuat ku semakin ketakutan. Namun hati kecilku tetap bergejolak, jika memang itu dari temen kerja mas Bagas tidak mungkin melakukan panggilan sebanyak itu. Namun jika itu dari keluarga mas Bagas kenapa kotak itu tidak ada namanya, hatiku terus saja menerka.
"Maafkan aku mas!" Aku masih mengigit bibir bawahku. Ku usap lembut layar ponsel mas bagas. Berharap bisa menemukan jawaban dari teka teki yg terus menyelimuti hatiku.
"Masukan kata sandi."
Tulis layar itu, membuat ku mengulum Slavina. Kemudian mendengus kesal.
Bersambung ...