Chereads / Tarian Pena Si Penulis Skenario Cilik / Chapter 3 - Jadi Itu Kamu?

Chapter 3 - Jadi Itu Kamu?

Meskipun tidak tidur semalaman, tapi pria gendut itu tidak merasa mengantuk sama sekali. Dia malah terlihat sangat bersemangat. Dia menyeka wajahnya dengan air dingin, dan bergegas keluar bahkan tanpa harus makan terlebih dahulu.

Pria gendut itu datang ke bioskop dengan membawa sekantong besar hadiah, hanya untuk menemukan seorang pria muda duduk di belakang jendela tiket. Setelah berdiri di depan pintu dan melihat sekeliling untuk waktu yang lama, dia tidak melihat lelaki tua yang kemarin. Akhirnya, pria gemuk itu tidak bisa menunggu lagi, jadi dia langsung membawa barang-barangnya dan masuk.

Saat melewati loket tiket, dia dihentikan oleh Dirga yang sedang membersihkan tempat duduknya, "Hei, kenapa kamu buru-buru masuk tanpa membeli tiket?"

"Aku memang ingin membeli tiket." Pria gendut itu mengeluarkan seratus ribu dari sakunya dan melemparkannya, lalu masuk tanpa menoleh ke belakang. Dirga membuka pintu dan mengejarnya. Pria gemuk itu berhenti dengan tidak sabar, "Aku sudah membeli tiketnya, kamu mau apa lagi?"

"Tidak ada film di pagi hari. Tanda di pintu tertulis dengan jelas, jangan beritahu aku kalau kamu buta huruf." Dirga memandang pria gendut itu. Saat dia melihat setumpuk hadiah di tangannya, dia bertanya, "Apakah kamu di sini untuk menemui seseorang?"

"Aku mencari orang tua yang menjual tiket kemarin. Apakah kamu mengenalnya?"

"Maksudmu Pak Laksono?" Dirga hanya bisa melirik ke wajah pria gendut itu dua kali, "Kamu siapa?"

Nada bicara pria gendut itu agak terburu-buru, "Kenapa kamu tanya begitu banyak?"

"Sial, aku bisa bertanya pada seseorang sepertimu jika aku ingin! Naik ke atas, belok kiri dan masuk ke pintu yang kedua." Dirga tidak repot-repot lagi berbicara omong kosong dengan pria gendut itu. Dia pun menunjukkan jalannya secara langsung dan kembali untuk membersihkan tempat duduknya.

Dalam beberapa menit, Dirga mendengar suara keras dari atas. Begitu dia menjulurkan kepalanya ke luar jendela, dia melihat pria gemuk itu berlari ke bawah dengan terbirit-birit. Pak Laksono, yang hanya mengenakan celana pendek dan rompi, melambai-lambaikan sapu dan melemparkannya. Dia mengejar di belakang pria gemuk itu dengan membawa sandal.

"Pak tua, dengarkan aku! Oh, jangan pukul aku! Tidak bisakah kamu mendengarkanku dulu?" Pria gemuk itu berteriak sambil memegangi kepalanya.

"Itu kamu bajingan! Berani-beraninya mempermainkan diriku!" Pak Laksono mengejar dan memarahinya. Dia tidak bermaksud melepaskan lelaki gemuk itu.

Dirga buru-buru menarik kepalanya. Dia tidak ingin terlibat dalam pertengkaran itu. Akan tetapi, dia lupa menutup pintu. Pria gemuk yang masih dikejar oleh Pak Laksono itu dipukuli sampai putus asa. Melihat pintu tidak ditutup, dia melompat ke dalam loket tanpa berpikir.

Dirga terlambat untuk menghentikannya, dan Pak Laksono juga mengejarnya dengan sapu. Ruangan untuk penjualan tiket itu sangat kecil, dan pria gemuk itu bersembunyi di belakang Dirga. Dia menolak untuk bertemu Pak Laksono secara langsung.

Cedera di kepala Dirga masih belum sembuh. Bagaimana dia bisa menjadi tameng bagi pria gendut itu? Dia buru-buru mundur, membiarkan sapu Pak Laksono mengenai pria gendut itu. Dia berdiri dengan tangan di samping menyaksikan pertarungan sengit dua pria itu.

Lelaki gendut itu mengalami beberapa kali pukulan di sekujur tubuhnya. Meski tidak ada rasa sakit yang terlalu dalam karena Pak Laksono hanya memukulnya dengan sapu, tapi itu membuatnya merasa malu. "Hei, jangan memukulku! Aku benar-benar tidak berbohong padamu. Aku sedang membuat film, dan kamu bekerja di bioskop ini. Kita bisa menjadi rekan. Tidak bisakah kamu mengerti apa yang aku bicarakan?"

Pak Laksono juga lelah. Dia berhenti untuk mengambil napas. Dia menunjuk ke pria gendut itu dengan sapu, "Kemarin kamu bilang padaku bahwa kamu membeli tiket untuk menyeka pantatmu, dan hari ini kamu mengatakan kamu adalah sutradara. Siapa yang percaya pada omong kosong itu?"

Dirga yang sedang menonton mereka berdua, mau tidak mau menyela, "Apakah kamu benar-benar seorang sutradara?"

Melihat seseorang membantu dirinya untuk berbicara, pria gendut itu segera membuat tatapan menyedihkan. Dia menatap Dirga dengan penuh harap dan berkata, "Aku benar-benar sutradara. Mungkin kamu bisa memutar film yang kubuat di sini."

Begitu pria gemuk itu menjelaskan, Pak Laksono menjadi semakin marah, "Sial! Jika film yang kami tayangkan di sini benar-benar milikmu, maka aku akan membunuhmu sekarang. Masih ada film-film penghasil uang lainnya. Aku tidak peduli padamu!"

Dirga menghentikan Pak Laksono. Dia membiarkan Pak Laksono tenang dulu, lalu berkata, "Pria gendut ini kelihatannya tidak asing bagiku, mungkin dia benar-benar seorang sutradara."

Pria gendut itu melirik Dirga dengan penuh rasa terima kasih, dan berkata sambil tersenyum, "Kamu masih muda, tapi kamu adalah orang yang bijaksana. Namaku Ilham dan ayahku adalah Pak Wijaya dari Soe Bersaudara. Jika kalian tidak dapat mempercayaiku, itu tidak apa-apa. Tapi ayahku, apa kalian masih ingin meragukannya?"

Ketika pria gendut itu menjelaskan keluarganya, Pak Laksono merasa malu. Dia samar-samar mendengar nama Ilham. Tampaknya pria gendut itu benar-benar membuat beberapa film. Hal yang paling mengkhawatirkan Pak Laksono adalah dia telah menyakiti pria ini. Latar belakang Pak Wijaya, ayah Ilham, tidak bisa dipandang sebelah mata. Karyanya, "Legenda Pahlawan Misterius", begitu populer di TV sehingga orang-orang membicarakannya.

Pikiran Dirga saat ini kebalikan dari Pak Laksono. Dia hanya tahu bahwa Pak Wijaya adalah sutradara dari "Legenda Pahlawan Misterius" dan memiliki seorang murid bernama Doni. Ketika berbicara tentang Pak Wijaya, orang seumuran Dirga hanya akan mengatakan bahwa dia adalah sutradara terkenal. Nama Ilham sendiri tidak akan dikenal sama sekali. "Apakah kamu benar-benar anak Pak Wijaya?" tanya Dirga.

Dirga memandang pria berkulit putih dan bertubuh gemuk dengan minyak rambut di rambutnya itu. Ilham tidak bisa melawan setelah dipukul. Dirga benar-benar tidak percaya bahwa Ilham adalah generasi berikutnya dari sang sutradara terkenal yang telah mendapat gadis-gadis seksi yang tak terhitung jumlahnya seperti air mengalir.

"Ya, aku putra Pak Wijaya. Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa ini adalah kesalahpahaman?" Ilham mengulurkan tangannya untuk menyeka debu dari jasnya. Dia merasa sedih.

"Apakah aku benar-benar salah?" Tentu saja, tidak mungkin bagi Pak Laksono untuk diam dan meminta maaf kepada Ilham. Jika dia melakukan itu, harga dirinya tidak akan memiliki tempat lagi. Menurutnya, dia tidak ingin menyinggung Ilham, jadi dia hanya berpura-pura bingung.

"Aku dengan baik hati membawa hadiah untuk meminta maaf kepadamu, tetapi pada akhirnya aku hanya mendapat pukulan. Siapa yang salah di sini?" Ilham mulai meludahkan kepahitan dalam dirinya. Dia sedikit menunduk.

"Jangan khawatir. Pak Laksono akan dengan baik hati meminta maaf padamu. Tunggu saja." Dirga tiba-tiba mengatakan ini, Ilham dan Pak Laksono tercengang. Pak Laksono sangat cemas sehingga dia menginjak kaki Dirga. Dia diam-diam memarahi Dirga dan memberitahu bahwa Ilham baik-baik saja setelah dipukuli tadi. Bukankah perkataan Dirga barusan terlalu berlebihan dan akan menyebabkan masalah bagi Pak Laksono? Pasti akan sangat memalukan bagi Pak Laksono jika harus meminta maaf setelah apa yang dilakukannya pada Ilham hari ini dan kemarin.

Di sisi lain Ilham juga tidak mengerti. Dia mengira Dirga hanya membantunya berbicara, tapi kenapa dia juga tiba-tiba dia mengubah nadanya? Kemudian Ilham tiba-tiba menyadarinya, dan menatap Dirga dengan heran. "Apa kamu yang menulis cerita di balik tiket-tiket itu?"