Mata lelaki setengah baya itu meredup. Bulir air mata perlahan jatuh setetes demi setetes. Perlahan ia tengadahkan wajah. Pandangan matanya menerawang. Dengan sebentuk senyum tipis, ia melanjutkan kisah masa mudanya.
Adalah Maria. Seorang gadis berwajah sangat manis. Dengan rambut lurus yang panjang bak mayang terurai, mata bulat indah yang menyimpan keteduhan, bibir merah merekah bagai buah delima, serta kulit yang kuning langsat bak purnama bercahaya, adalah siswi di sekolah susteran itu.
Sementara Abdul, adalah seorang pemuda sederhana. Berasal dari keluarga yang juga sederhana. Dari desa tempat tinggalnya, hanya orang tua Abdul yang berani menyekolahkan anaknya di sekolah susteran, yang mana hanya anak-anak tertentu saja, yang dari keluarga berada yang masuk sekolah itu. Disanalah mereka bertemu.
Sebagai ketua OSIS yang merangkap Ketua kelas, Abdul sangat disegani oleh teman-temannya. Itu karena ia adalah seorang anak yang jenius serta memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi.
Malam itu langit mendung tanpa cahaya. Udara dingin menusuk ke setiap jengkal persendian. Rinai gerimis yang membungkus kota sejak sore tadi seolah tak menyiratkan keinginan untuk berhenti, meski seketika. Namun suasana itu tak menyurutkan langkah kaki Maria Dolorosa untuk beranjak ke gereja.
Ini adalah malam Natal. Malam yang sangat dinantikannya. Ia akan sembahyang dengan khusyuk nya, memohon apa saja yang di hajatkannya kepada Tuhan. Ia akan menyerahkan seluruh hatinya, dan mengatupkan kedua tangannya agar semua doanya terkabulkan.
Malam itu seperti biasa, Maria pergi ke gereja bersama kekasihnya, Abdul Muhid. Lelaki pujaan hatinya, yang tak pernah bosan menemaninya mengikuti kebaktian di gereja disaat malam Natal tiba.
Meski berbeda keyakinan, Abdul sangat menjaga toleransi pada Maria. Itulah mengapa hubungan mereka begitu awet, meski bilangan tahun telah terlewati.
"Masuklah. Dan doakan apa saja yang ingin kau munajatkan", begitu kata Abdul tatkala mereka telah tiba di halaman gereja." Terima kasih sayang", Maria menjawab dengan seulas senyum manisnya. Beberapa saat ia masih menatap sang kekasih.
"pergilah!". Aku akan menunggumu disini", ucap Abdul lembut, selembut semilir angin yang bertiup perlahan. Maria hanya mengangguk. Menahan sejuta haru di dadanya.
Bagaimana ia mampu melupakan laki-laki itu. Laki-laki yang begitu baik dengan cintanya yang teguh. Memahami dan mengasihinya dengan kasih yang penuh. Laki-laki yang telah membuatnya terkagum-kagum. Yang telah menumbuhkan benih-benih cinta yang lama ia pupuk dan tumbuh subur di dalam sanubarinya tanpa jemu.
Rasanya ia tak sanggup bila suatu saat harus berpisah dengan Abdul. Laki-laki itu telah menawan kalbu. Apapun akan ia usahakan agar cinta mereka bersatu.
Di parkiran gereja Abdul duduk termenung. Menatap lama-lamat dentum kembang api yang melukis langit kelabu. Burung gereja yang bertengger seolah menatapnya dengan penuh haru. Setia menunggu.
Dan hal itu yang dilakukannya setiap tahun. Menemani Maria dengan tulus. Tak sedikitpun lelah bertaut. Yang ada hanya rasa bahagia yang memburu. Inikah cinta yang dulu ia tunggu...?! ".Hanya keikhlasan dan cinta putih yang utuh. Terangkai indah penuh takjub.
Gerimis semakin deras mengucur. Di bawah sebatang pohon kapuk ia berteduh. Menepis sisa-sisa air yang menempel di sekujur tubuh. Hanya ditemani sebatang rokok penghangat tubuh.
Saat pandangan matanya tertuju di pintu gereja itu... sayup-sayup masih terdengar syahdu. Iringan lagu-lagu rohani Natal yang lembut mengalun. Membuat angannya dipenuhi oleh sosok gadis manis bernama Maria. Membuatnya tersenyum simpul penuh arti.
Teringat akan pertemuan pertama mereka. Saat Maria yang dengan tergopoh-gopoh, dengan rambut yang awut-awutan tertiup angin, masuk ke, dalam kelas dengan degup jantung yang masih memburu, dengan sepatu yang becek terkena lumpur sisa hujan semalam...
"Selamat pagi...! ", ucapnya menunduk. " maaf, aku terlambat! ", ucapnya takut-takut. Tak mampu menatap sang ketua kelas yang berdiri gagah di pintu kelas.
" A... aku... ! "
"Masuklah Maria. sebentar lagi pelajaran akan di mulai", tutur Abdul lembut sebelum Maria sempat menyelesaikan kata-katanya.
" Terima kasih", ucap Maria segan, dengan sigap menuju bangku tempat duduknya. Membereskan rambutnya yang tak beraturan, serta membersihkan sisa rumput yang menempel di sepatunya dengan tisu.
Saat jam istirahat tiba, Abdul menghampirinya. "Aku ingin bicara, Maria...! ", Laki-laki itu membuka suara. Maria menatapnya sekilas. Lantas mengangguk sekenanya.
" Mengapa kau sering sekali datang terlambat. Apa kau begitu sibuknya di pagi hari, sehingga harus datang terlambat setiap hari...?! ", Abdul melayangkan pertanyaannya.
Mata indah Maria membulat tiba-tiba. Sesaat ia menghela nafas. Lalu menghembuskannya perlahan.
" Aku harus menyelesaikan pesanan jahitan setiap harinya", ungkapnya sendu. "Kalau tidak seperti itu, darimana aku mendapatkan uang untuk membiayai kehidupan sehari-hari, juga biaya sekolahku...??! ", ia menjawab sembari menunduk. Menahan tetesan bening yang sebentar lagi mulai menetes.
" Maafkan aku Maria...!!! ", Abdul jadi gelagapan. " Bukan maksudku ingin membuatmu menangis", ucapnya serba salah.
Maria mengusap matanya yang basah. Sesaat ia, menggeleng lemah. "Tidak apa", ucapnya serak. " kami orang susah, namun punya keinginan yang kuat untuk tetap sekolah. Cita-cita yang tinggi sudah membulatkan tekadku untuk menyelesaikan studi hingga sarjana. Semoga Yang Kuasa senantiasa mendengarkan setiap doaku, rintihan kalbuku, isak batinku, yang senantiasa aku haturkan padaNya di penghujung malam-malamku".
"Hampir setiap malam aku terbangun, Abdul..., memanjatkan doa. Memohon penyertaan Tuhan untuk semua yang aku hajatkan", ucapnya lagi. Memandang pria di sebelahnya yang sedari tadi hanya diam mendengarkan semua yang ia tuturkan dengan penuh takjub.
Abdul mengangguk mantap. Menatap Maria dengan seribu rasa tak percaya. " Aku bangga padamu, Maria. Di umur yang masih sebelia ini, kau telah memiliki cita-cita mulia. Kau pasti mampu melakukannya. Dan Tuhan pasti akan mengabulkan semua yang kau panjatkan. Dengan penuh ketulusan, dengan tetesan air mata", lembut Abdul berbisik. Di bibirnya tersungging seuntai senyuman.
"Amin", ucap Maria. Mengusapkan wajah dengan kedua tangannya, dan tersenyum penuh makna.
Lonceng berbunyi tiga kali. Pertanda jam istirahat telah berakhir. Anak-anak berlarian memasuki kelas. Abdul melangkahkan kakinya, sejajar dengan langkah Maria. Dan seketika di taman hatinya ditumbuhi bunga-bunga. Penuh warna. Sepintas ia melirik wanita di sampingnya. "cantik, juga lembut dan berkepribadian", kata hatinya bicara. Memandang wajah manis Maria.