Setelah membersihkan tubuhnya, Anya duduk di depan meja rias. Rambutnya ia gulung dengan handuk. Ia mengoleskan krim tipis ke wajah. Saat tangannya menyentuh bibir, ia tersenyum mengingat kejadian yang ia alami tadi. Lalu ia bergumam
Dasar pembohong, bilangnya naik taksi, ternyata bawa mobil.
Setelah selesai dengan perawatan malamnya, Anya membuka gulungan rambutnya dan menuju ke ranjang. ia merebahkan tubuhnya Matanya terpenjam. Serangan mendadak dari Genta terbayang kembali dalam ingatannya. Ia masih bisa merasakan kenyalnya bibir Genta. Aroma mint dari nafas Genta dan sentuhan lembut Genta pada tengkuknya. Tubuh Anya meremang dan mulai memanas. Pipinya sudah sangat merah.
"Gila.. gila... gila. Apa yang terjadi denganju. Kenapa aku tidak mendorong tubuhnya? Kenapa aku justru menikmati ciumannya? Padahal kami baru bertemu dua kali. Aahhh... bagaimana kalau nanti bertemu dengannya lagi, apa yang harus aku lakukan. " Anya menggelengkan kepala dan memukul mukul jidatnya.
Drt Drt Drt.
Ponsel Anya bergetar. Seseorang menghubunginya.
"Hallo! " sapa Anya.
"Bu Anya, ini saya Naina. Ap besok kita bisa ketemuan untuk membahas kerjasama kita.? "
"Oh bisa Bu Naina. Besok saya akan ke kantor Bu Naina. '
" Baiklah kalau begitu. Saya tunggu. " Naina mengakhiri panggilannya.
Anya juga menutup ponselnya. Ia segera merebahkan tubuhnya mencoba tidur karena besok ia harus bekerja. Beberapa jaaat menjadi, Anya terlelap.
Keesokan harinya, Anya bersiap menuju kantor Naina. Ia melakukan mobilnya dengan kecepatan sedang karena memang jalanan lagi ramai. Matanya lurus menatap depan. Anya mengurangi laju kendaraannya saat lalu lintas semakin padat
tok tok tok
Ketika mobil Anya berhenti, ada yang mengetuk kaca depan. Anya menoleh dan ia melihat pengendara sepeda motor yang ada di sebelah mobilnya sedang menatapnya. Anya menyipitkan matanya. Ia mengamati pengendara tersebut. Pengendara itu membuka helmnya tersenyum ke arah Anya.
"Genta! " gumam Anya.
tin tin tin
Karena terlalu lama berhenti, mobil yang ada di belakang Anya membunyikan klakson menyuruh Anya menjalankan mobilnya. Anya lalu menginjak pedal gas dan mobilnya kembali berjalan. Ia mecari keberadaan Genta melalui kaca spion. Ia bisa melihat Genta ada di belakang mobilnya. Ketika ada beloka, Anya memutar kemudian dan berbelok. Genta mengikutinya. Di jalanan yang agak lengang Anya menghentikan mobilnya dan keluar.
Genta juga berhenti lalu memarkir sepeda motornya dan berjalan ke arah Anya.
"Pagi Anya! " sapa Genta. "Mau ke kantor? " Genta menyambung sapaannya dengan pertanyaan.
"Pagi. Iya, mau ke kantor klien. Kamu? "
"Lagi keliling saja. Nggak ada tujuan. " Mata Genta terus menatap Anya dengan pandangan penuh cinta. Genta memang mencintai Anya. Dari dulu, dan pertemuan mereka kembali telah menyalakan cinta di hati Genta yang memang tidak pernah padam.
Anya tersenyum. Sebenarnya dirinya sangat gugup karena kejadian di mobil malam itu. Ciuman Genta.
'Kau marah? " tanya Genta.
"Marah kenapa? " Anya malah balik bertanya.
"Karena aku menciumu. "
Anya menunduk lalu menggeleng.
"Oh syukurlah. Aku lega. Berarti aku boleh kan menciumi lagi? " mata nakal Genta menggoda Anya. Reflek Anya memukul Genta. Ini memang kebiasaan Anya, jika digoda orang ia akan memberi pukulan meski pukulannya tidak menyakitkan. Karena dengan memukul, ia bisa menyembunyikan kegugupannya.
Genta menangkap tangan Anya, menguncinya di belakang tubuh Anya. Disorongnya tubuh Anya hingga menempel badan mobil. Genta mendekatkan wajahnya ke wajah Anya seolah hendak menciumnya.
"Genta jangan. " Anya berkata untuk menghalangi tindakan Genta.
"Tunggu aku. Nanti malam aku akan ke rumahmu. " bisik Genta di telinganya Anya. Genta lalu melepaskan pegangan tangannya. Ia menjauhkan tubuhnya dari Anya. Dan setelah naik ke sepeda motornya, ia segera melesat pergi.
Jantung Anya berdebar debar. Berkali kali ia menghela nafas untuk menenangkan debarannya. Setelah dirasa normal, Anya kembali ke tujuannya semula. Menemui kliennya.
Malam harinya, Anya gelisah. Ia bolak balik dari kamar ke ruang tamu.
"Apa ia jadi ke sini seperti yang ia ucapkan tadi siang? Seharian ia bahkan tak menghubungiku. Dia memang aneh dan menyebalkan." batin Anya.
Anya ingin kembali ke kamarnya saat bel rumahnya berbunyi. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Selamat malam, Anya. " Genta berdiri di depannya. Pria itu mengenakan kaos hitam ketat dan celana jeans. Kaosnya yang ketat menunjukan bentuk badannya yang berotot. Mata Anya nanar menatap tubuh Genta yang menurutnya sangat bagus itu. Ia sedikit terpana
thik thik thik.
Genta menjentikkan jarinya untuk menyadarkan Anya.
"Oh.. masuklah! " kepala Anya melongok keluar.
"Kau mencari siapa? "
"Sopirmu."
"Nggak ada sopir. Aku ke sini naik ojek online. "
"Dasar aneh. Bukankah kau punya mobil dan motor. Malah naik ojol, " Anya tersenyum geli.
Genta tak menanggapi omongan Anya. "Anya! Duduklah di sini! " Genta menepuk sofa di sebelahnya.
"Aku di sini saja. " tolak Anya. Genta berdiri mendekat ke Anya. "Kau mau apa? " Anya bertanya.
"Mau duduk. "
"Kan tadi sudah duduk, kenapa pindah.? "
"Aku ingin duduk di dekatmu, bolehkan? " mata Genta memelas menatap Anya. Bibirnya mengerucut lucu. Tampangnya menggemaskan.
"Di sini sempit, nggak muat buat berdua. '
" Muat kok, siap bilang. " Genta menarik tangan Anya hingga gadis itu berdiri . Ia duduk di sofa dan kembali menarik Anya hingga gadis itu duduk di pangkuannya. Genta melingkarkan tangannya memeluk pinggang ramping Anya. Kepalanya ia sandarkan di dada Anya. Posisi yang amat dekat ini membuat Anya sangat canggung.
"Genta." Anya berusaha menarik dirinya dari pelukan Genta. Namun Genta justru mempererat pelukannya.
"Diamlah. Biarkan seperti ini sebentar saja. Aku sangat lelah Anya. " ucap Genta. Ia sudah memejamkan matanya. Genta memang sangat lelah menjalani kehidupannya. Ia ingin hidup seperti yang ia mau tapi tak bisa. Banyak hati yang harus ia jaga. Sejak bertemu Anya, Genta merasa ada tempat buat melepaskan kepenatannya. Memang bereka baru bertemu, tapi mereka sudah lama kenal.
Anya diam. Tangannya bergerak perlahan mengisap kepala Genta. Mendapat usapan lembut itu, kepala Genta mendongak. "Anya, aku mencintaimu. Sejak dulu aku mencintaimu. " Genta lalu menarik kepala Anya dan menyentuh bibir gadis itu dengan bibirnya. Lembut sekali sentuhan Genta. Seakan bibir Anya adalah porselen yang mudah pecah jika diperlakukan dengan kasar.
Mata Anya membulat karena terkejut dengan pernyataan cinta Genta yang mendadak itu. Ia juga tidak siap saat bibir kenyal Genta kembali menyentuh bibirnya.
"Anya kenapa diam? " Genta melepaskan ciumannya.
"Aku.. aku. " Anya tergagap.
"Kau pasti tidak percaya ya. Anya sejujurnya sejak SMA aku sudah mencintaimu. Tapi aku tidak ada keberanian buat mendekatimu. Kamu seperti punya dunia sendiri yang tertutup untuk orang lain. Aku sangat takut jika aku mengatakan perasaanku ternyata tidak ada aku di duniamu. Aku memendamnya dan berharap suatu saat bisa mengungkapkannya."
Anya tersenyum, "Itu sudah lama sekali, Genta. Benarkah rasa itu masih ada? Selama ini pasti banyak gadis cantik di sekitarmu. Apa tak ada satupun yang membuatmu jatuh cinta? "
"Kau tidak tahu perjalanan hidup yang kulalui Anya. Kalau kau tahu, kau tidak akan menanyakan itu. Suatu saat aku akan memberitahumu. Saat ini aku hanya ingin bersamamu. Sambil menunggu saat yang tepat buatku bercerita. " Genta berkata penuh teka-teki. "Yang jelas dari dulu hingga sekarang, wanita yang ada di hatiku hanya Anya Octora. "
Tangan Genta membelai wajah Anya.
"Kau belum menjawab ku, Anya! "
"Aku harus menjawab apa? "
"Katakan kalau kau juga mencintaiku. Atau kalau kau belum mencintaiku, beri aku kesempatan membuatmu jatuh cinta padaku. "
Anya mengangguk.
"Apa arti anggukanmu Anya? " Genta gemas dengn sikap Anya.
"Aku mengiyakan perkataanmu tadi. "
Genta tersenyum, ia kembali melumat bibir Anya. Genta seperti orang yang haus akan ciuman. Seakan ia memendamnya bertahun tahun dan sekarang melepaskan hasratnya kepada Anya.
"Anya, malam ini aku akan tidur di rumahmu. "
"Apa? tidak...tidak. "
"Ku mohon. Untuk malam ini saja. Aku akan tidur di kamar tamu. Kalau kau takut aku melakukan sesuatu. Kunci saja pintu kamarmu. Tunjukan dimana kamar tamu. Aku sudah sangat capek.
"Kenapa setiap ucapannya tak bisa kubantah. Pria ini terlalu mendominasi." Batin Anya.
Anya berjalan menuju ruang tamu. Genta mengekorinya. Di depan pintu kamar Anya berhenti.
"Ini kamar tamunya. Masuklah. Kau bisa tidur di sini. "
"Kau tidak ikut masuk? "
"Maumu! Udah ah aku juga mau tidur. Besok harus berangkat pagi. '
" Selamat malam calon istri. " Genta terkekeh lalu menutup pintu kamarnya.
Wajah Anya memerah mendapat sebutan calon istri dari Genta. "Dasar."
"