Setelah berkata demikian, pemuda itu dengan sikapnya yang hormat mengajak kedua orang gadis meninggalkan tempat itu dan memasuki hutan. Kim Lan dan Ai Yin mengerti bahwa ucapan pemuda itu memang benar, maka merekapun mengikuti pemuda itu dan sebentar saja mereka bertiga yang mempergunakan ilmu berlari cepat sudah meninggalkan tempat di mana mayat-mayat para perajurit bergelimpangan itu. Mereka berhenti di bagian terbuka dalam hutan itu.
"Nah, di sini kita dapat bicara dengan lebih nyaman," kata pemuda itu. "Perkenalkan, nona berdua, namaku Cia Song, seorang murid Siauw-lim-pai. Kalau aku tidak salah lihat, permainan pedang kalian tadi adalah dari Kun-lun-pai. Benarkah?"
"Tidak salah dugaanmu, Cia-taihiap (pendekar besar Cia)..."
"Aih, nona. Harap jangan sebut tai-hiap padaku. Kita murid-murid dua partai persilatan besar yang segolongan, jadi seperti saudara saja. Kalian seperti adik-adikku seperguruan sendiri."
"Ah, engkau baik sekali, Cia-twako (kakak Cia)!" kata Ai Yin kagum.