Chereads / My Girl is the Heir / Chapter 5 - Chapter 4

Chapter 5 - Chapter 4

no silence reader....(sedikit mengancam)

selamat membaca.....

****

"Chogiyo..." Perkataan Raeka tertahan, ia memijat-mijat keningnya ringan. Kepalanya seperti mau pecah ketika mendengar permintaan—lamaran—yang ia terima dari pria di hadapannya ini.

Setelah lamaran gila yang ia terima di rumah Jaekyung, Raeka langsung menyambar tangan Donghae dengan kasar. Tak peduli dia ini atasannya atau bukan. Jaekyung yang sedang di hadapan Donghae saat itu hanya menatap pria itu dengan pandangan kosong dan tampang super bodoh. Raeka menarik Donghae kasar hingga turun sampai di depan apartemen—tempat tinggal Jaekyung.

"Kau kabur dari rumah?" Tanya Donghae dengan wajah seakan ia tak berdosa. Raeka tak sadar bahwa ia sedang menatap Donghae dengan pandangan menusuk setelah kalimat itu terlontar dari mulut pria ini. "Kau..." Kalimat Raeka tergantung, bingung dengan situasi yang sedang ia hadapi saat ini.

"Bagaimana aku bisa tahu?" Tanya Donghae seakan membaca pikiran gadis itu.

"Apa kau mengikutiku?" Tanya Raeka penasaran.

Beberapa Jam yang lalu__

Di mulai dengan pagi yang cerah, namun tidak dengan apa yang dirasakan pria ini. Dengan malasnya ia bangkit dari tempat tidur. Mengacak-acak rambutnya asal. Donghae teringat kembali dengan apa yang sudah Ayahnya katakan padanya. 'Kau hanya punya dua pilihan. Nikahi gadis itu atau kau tak akan mendapatkan apa-apa saat aku tak ada'.

Donghae mendengus kesal. "Bisa-bisanya menjadikan gadis itu sebagai syarat." Ia tak punya pilihan lain selain membujuk Kim Raeka. Setidaknya mereka harus bisa bekerja sama. Donghae yakin sekali jika gadis itu pun pasti mengalami hal yang sama dengan apa yang ia alami sekarang. Karena Donghae tahu pernikahan mereka akan sangat menguntungkan untuk kedua perusahaan tersebut.

Setelah selesai membersihkan diri, Donghae dengan buru-buru keluar kamar. Ia sudah melihat Ibu, Adik dan Ayahnya sedang sarapan dengan tenang. "Aku akan sarapan di kontar.." Kata Donghae tanpa menatap orang tua dan adiknya yang sekarang menatapnya dengan pandangan bingung. Donghae tetap berjalan lurus menuju garasi tempat mabilnya berada. Ada hal penting yang harus ia urus.

"Sekretaris Park... Carikan sebuah alamat untukku!" Perintah Donghae pada sekretarisnya. Setelah Donghae mendapatkan sebuah alamat yang dia inginkan, mobilnya pun melaju dengan cepat.

"Di sini rupanya kau tinggal." Gumam Donghae. Mobilnya sudah berhenti tidak jauh dari sebuah rumah besar bertingkat dan berhalaman yang tak kalah besar. Rumah itu dua kali liapat lebih besar dari rumahnya. Donghae meringis, merasa terhina. "Rumah bawahanku ternyata lebih besar."

Hanya berselang beberapa menit, sebuah mobil sport keluar dari rumah tersebut. Melewati mobil Donghae yang sedang terparkir di sana. Sekilas Donghae dapat mengenali seseorang dalam mobil tersebut.

"Mau ke mana dia?" Tanpa pikir panjang. Donghae pun mengikuti mobil tersebut. Mobil yang sedang dikendari oleh seseorang yang sedang ia cari.

Mobil sport itu berhenti tepat di depan sebuah apartement. Tak mewah namun terkesan nyaman untuk ditinggali. Donghae hanya terdiam di mobil mengamati setiap langkah yang diambil oleh gadis yang baru saja turun dari mobil. Gadis itu berjalan perlahan menaiki anak tangga. Donghae bisa melihat dengan jelas mimik wajah gadis itu. ia terlihat murung. "Seperti yang kuduga, dia juga mengalami hal yang serupa." Gumam Donghae terlihat puas karena dugaannya benar.

Donghae masih memperhatikan gadis itu dengan seksama seperti seorang stalker. Gadis itu berhenti di lantai dua apartement. Ia berhenti di sebuah pintu. Menekan bel, dan menunggu seseorang keluar dari balik pintu tersebut.

beberapa detik kemudian, pintu pun terbuka. Donghae yang masih mengamati, akhirnya keluar dari mobil. Ia memicingkan matanya—memeperjelas menglihatannya. Ia tak asing dengan wajah seseorang yang baru keluar dari balik pintu tersebut. "Bukankah dia hoobae Hyukjae?" gumamnya sambil melebarkan kaca mobilnya.

Hampir setengah jam, Donghae menunggu. Berharap gadis yang ia ikuti tadi keluar dari persembunyiannya. "Mwoya... apa dia benar-benar berniat untuk berhenti kerja??" Donghae segera mengambil ponselnya sambil bergumam tak jelas.

Ia menekan sebuah nomer. Nada sambung terdengar jelas. Namun sepertinya si pemilik nomer tidak mendengar panggilan atau mungkin justru malah enggan untuk mengangkat panggilan tersebut. "Cih... Tidak diangkat." Donghae mendesis sambil memandang ponselnya yang hanya terdengar suara dari operator.

Donghae akhirnya keluar dari mobilnya. Mulai melangkah menuju apartement tempat gadis itu bersembunyi. Tangannya pun masih bekerja. Tangannya tetap terus berkutik dengan ponselnya. ia mencoba menghubungi gadis itu sekali lagi. "Aku akan terus menelponmu sampai kau mengangkatnya..." Ucapnya tak putus asa.

Beberapa detik sesudahnya, terdengar suara dari ujung sana. "Yobosaeyo..." Jawab seorang gadis yang suaranya sudah tak asing.

"Cepat keluar, aku menunggumu..." Ucap Donghae mulai jengkel.

"Keluar ke mana??" Tanya gadis itu, terdengar bingung. Donghae yang sudah kesal sedari tadi hanya bisa mengelus dada—menahan amarah.

Donghae yang sudah tiba di lantai dua apartement tersebut. Melangkah menuju pintu yang tadi dimasuki gadis itu. "Apa aku perlu mengetuk pintu rumah?" Ucap Donghae dengan nada mengancam. Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Iapun mengetuk pintu tersebut. "Nugusaeyo?" Seru seseorang dari balik pintu.

"Omona..." Seorang gadis—yang sudah tak asing bagi Donghae—terkejut. Lebih tepatnya syok.

Namun tatapan Donghae tak berpaling, matanya langsung tertuju pada seorang gadis yang sedang duduk tepat di belakang seorang gadis yang sedang berdiri di hadapannya. Gadis yang sedang duduk pun tak kalah terkejut dengan kehadiran pria ini yang tiba-tiba.

"Nona Kim... Ayo kita menikah..." Seru Donghae tanpa rasa beban.

Begitulah cara Donghae sampai di tempat ini, duduk tepat di hadapan gadis yang sejak tadi menatapnya sinis. "Lee Donghae-ssi..." Seru Raeka membuyarkan lamunan Donghae. "Kenapa?? Apa??" Balas Donghae dengan kesal. "Yaa... Kalau saja kau menjawab telepon dari ku mungkin aku tidak akan mencarimu seperti ini." Donghae mencari alasan. "Menjawab telepon dari mu? Kapan? Bukannya baru tadi saja kau meneleponku??" Balas Raeka menyelidik. "Benarkah?" Tanya Donghae sambil memikirkan alasan selanjutnya.

"Yaa... Sekarang sudah tidak penting lagi untuk membicarakan hal itu." Lanjut Donghae dengan suara yang keras. Berusaha mengalihkan pembicaraan. Raeka menatap mantan atasannya ini dengan pandangan heran. Ucapannya sudah berbeda hanya dalam satu kedipan mata.

"Aku tidak akan menikah dengan siapapun..." Kata Raeka mantap. "Maksudmu kau ingin menjadi perawan tua??" Tanya Donghae, seakan mulutnya tak punya rem. Raeka melirik Donghae dengan tatapan ingin membunuh. "Yaa... Aku kan hanya bercanda." Kata Donghae sedikit ngeri.

"Apa hubungan kita ini adalah hubungan yang bisa saling bercanda?" Tanya Raeka serius.

"Aku memang kabur dari rumah, aku juga akan berhenti dari perusahaanmu." Ucap Raeka sambil menyodorkan sebuah surat bertuliskan 'Surat Pengunduran Diri'.

"Aku sudah bilang tidak akan menerima surat apapun darimu. Aku yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi padamu. Ayahku pun akan mengusirku jika aku tak menikah denganmu."

Raeka berdeham sedikit, memperbaiki cara duduknya dan mulai menatap kearah orang yang akan menjadi mantan atasannya. Gadis ini tak ingin lebih lama berada di tempat itu menghabiskan waktunya yang berharga bersama laki-laki ini.

"Lee Donghae-ssi... Aku tidak peduli jika kau diusir atau tidak dari rumahmu. Kalau kau ingin bertanggung jawab atas diriku, alangkah lebih baik kau mengakhiri masalah yang sudah kau sebabkan ini." Setelah mengatakan kalimat yang panjang itu. Raeka beranjak dari tempat duduknya, melangkah pergi tanpa melirik ke belakang. Ia tak menyadari bahwa kalimat yang baru saja ia katakan menjadi sebuah pukulan keras bagi laki-laki yang sedang menatap punggungnya dari belakang.

Donghae Pov-

Wah... aku benar-benar menyesal memohon pada gadis itu. Bagaimana bisa ia memperlakukan aku seperti sampah begitu?? Aku keluar dari cafe dengan sedikit putus asa. Memohon pada gadis seperti itu adalah keselahan yang tak ingin ku ulangi lagi

Aku mulai mengendarai mobilku menuju kantor. Pikiranku terus melayang mengingat peristiwa kemarin malam. Harusnya aku tidak menolongnya... Tidak seharusnya aku menolongnya...

Aku tidak menyadari bahwa tanganku sedang menonjok-nonjok bangku penumpang di sampingku.

"Selamat pagi Direktur Lee..." Sapa seseorang dari belakangku setelah diriku keluar dari mobil.

Aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman kecil. Dua orang wanita, aku tidak tahu mereka dibagian mana, hanya saja aku memperhatikan mereka yang sedang berbisik sambil sedikit mencuri pandang kearahku.

Aku hanya bisa pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak mendengar. Namun ternyata tidak hanya dua wanita tadi saja yang berbisik-bisik sambil melirikku. Tapi hampir semua orang yang berpapasan denganku memperlakukan diriku bagai seorang tersangka.

Sial... memang mereka menganggap aku ini siapa? Bisa-bisanya mereka berbisik namun terang-terangan di depanku.

"Ini adalah laporan kemarin yang anda minta, dan ini pengajuan proposal dari perusahaan S."

"Nanti akan ku periksa. Hmm... Sekretaris Park..." Panggilku saat sekretaris Park memohon diri untuk keluar.

"Baik Sajangnim..."

"Apa yang mereka bicarakan di belakangku?" Tanyaku to the point.

"Ya"

Aku hanya diam, tak mempedulikan wajah bingung bawahanku.

" Saya hanya mendengar tentang gosip anda dengan nona Kim..."

"Gosip seperti apa?" Tanyaku lagi.

"....." Raut wajahnya berubah ragu. Seperti segan untuk memberi tahuku.

"Tidak apa-apa... Aku tidak akan marah padamu hanya karena kau mengatakan perkataan yang memang ingin ku tahu."

"Saya hanya mendengar mungkin perusahaan kita akan berdampak lebih baik karena Sajangnim akan menikah dengan seorang ahli waris perusahaan Kim Jaebum..."

"Oh... jadi begitu. Memang tidak ada ruginya bagiku untuk menikah dengan gadis itu. Karena dia memang menguntungkan bagi perusahaan kita."

"Jadi gosip itu benar bahwa anda dan nona Kim akan menikah?" Sekretaris Park mulai merasa penasaran.

"Aish... Apa aku harus menjawabnya? Sudah sana..." Ku usir Sekretaris Park agar tak bertanya lebih jauh, jika aku membeberkan semuanya, tidak akan butuh waktu lama untuk membuat gosip itu menyebar.

Raeka Pov-

"Yaa... Kau tahu. Sekarang kau sedang diincar oleh banyak perusahaan karena skandalmu dengan Lee Donghae." Entah aku harus senang atau takut mendengar Jaekyung bicara seperti itu. Mereka itu tidak menginginkan skill yang kupunya, mereka hanya butuh orang yang berkuasa di belakangku.

"Kau lebih tahu dari siapapun tentang apa yang mereka butuhkan." Ucapku dengan nada menyindir, tepatnya menyindir kehidupan yang sedang aku alami ini.

"Ayahmu benar-benar luar biasa." Nada sarkastik yang Jaekyung ucapkan sama sekali tidak menyinggungku, bakan aku hampir mengangguk setuju.

"Aku tidak akan bisa bekerja dimanapun bahkan di perusahaan JB Company sekalipun." aku menimpali. Mereka mungkin akan dengan senang hati mempekerjakan aku bahkan dengan atau tanpa jalur wawancara, namun setelahnya tatapan intimidasi setiap karyawan akan aku terima setiap harinya. Mereka seolah melihatku seperti anak manja yang akan mengadu pada ayahnya setiap ada masalah.

"Bebanmu terlalu berat bahkan hanya dengan nama 'kim' yang melekat di depan namamu." Jaekyung bahkan sekarang menatapku iba.

Jika aku keluar dari rumah ini, bisa saja aku dikejar-kejar oleh wartawan, mempertanggung jawabkan semua kesalahan yang tidak kulakukan.

Aish... Kepalaku sakit sekali memikirkan hal ini.

Author Pov-

"Apa ada berita tentang Raeka?" tanya Youngmi kepada anak bungsunya.

"Tidak ada kabar. Mungkin sekarang dia berapa di rumah Jaekyung." Ucap Jaejoong kepada ibunya yang sangat mengkhawatirkan putrinya. "Abeoji... Bagaimana?" Tanya Jaejoong yang lebih mengkhawatirkan Ayahnya.

"Ayahmu sangat marah, walaupun anak itu selalu berbeda pendapat dengan Ayahmu. Tapi ia tak pernah lari dari rumah seperti ini." Kata Youngmi sambil memijat ringan keningnya yang berdenyut.

"Aku tahu, menyuruh anak itu menikah bukanlah pilihan yang tepat. tapi melihat situasi yang seperti ini. Bukankah itu jalan terbaik?" Jaejoong mencoba meyakini ibunya. Namun ibunya hanya menggeleng tak ingin mendengar apa-apa soal pernikahan.

"Bagaimana mana bisa kau menyuruh adikmu menikah dengan orang yang tidak ia cintai."

"Lalu bagaimana Abeoji bisa menanggu beban yang anak itu perbuat??"

Bruk...

Terdengar suara seperti sebuah benda jatuh sangat keras. Membuat Youngmi dan Jaejoong terperanjat dan menghampiri sumber suara. Suara itu berasal dari kamar tepat di depan ruang keluarga di mana mereka berada sekarang. Kamar itu adalah kamar utama. Kamar yang dipakai oleh Youngmi dan juga suaminya.

"Yeobo!!!"

"Abeoji!!!"

Raeka Pov-

Membosankan...

Aku tidak pernah sekalipun berdiam diri di rumah seperti ini. Membuat badanku terasa pegal.

Jaekyung sudah meninggalkan rumah untuk bekerja. Sedangkan aku hanya bisa mondar-mandir seperti orang bodoh. Tidak bisa menyalakan ponsel karena jika ku nyalakan, ponsel itu akan berdering seharian tanpa henti, juga tidak ingin menyalakan TV karena yang akan muncul pasti berita tentang aku dan si Direktur gila itu. Benar-benar membosankan.

Duk...duk...duk...

Kudengar gedoran pintu dari luar sana. Gedoran yang menghasilkan suara yang sangat mengganggu.

"Ne!!" Sautku sedikit berteriak. Berharap orang yang berada di luar sana mengerti dan berhenti menggedor pintu yang mungkin bisa saja jebol olehnya.

Dengan bergegas kubuka pintu rumah itu. Detik berikutnya kusadari raut wajahku berubah tegang. Tiga orang dengan jas hitam berdiri tepat di depanku.

"Mau apa kalian?!" Nadaku meninggi karena aku mengenal mereka. Mereka adalah pengawal kakakku.

"Kami diperintah untuk segera membawa Agasshi..."

"Apa kalian ingin menyeretku? Apa Jaejoong oppa tidak berlebihan membawa kalian semua ke sini?"

"Sajangnim tidak sadarkan diri..."

"A..pa? Bagaimana bisa..." Kalimatku menggantung tak percaya. Kurasakan suara ini bergetar begitupun dengan tubuh ini.

"Beliau sekarang berada di ruang ICU..."

"Kalian jangan membuat lelucon yang tidak lucu. Kalian pikir aku akan percaya dengan kata-kata kalian!!" Aku berteriak cukup keras. Membuat mereka mundur satu langkah.

"Mohon anda terima telepon dari Jaejoong Doryeonnim...." Pinta salah satu dari mereka sembari menyerahkan sebuah ponsel yang sedang berdering.

Aku meraih ponsel itu dengan tangan bergetar, takut apa yang mereka katakan bukan bukanlah semua kebohongan.

"Yobeoseyo...." Jawabku.

"Dimana kau sekarang?!" Aku merasakan suaranya memburu.

"Aku di rumah Jaekyung?" Jawabku sedikit takut. Jaejoong oppa tidak pernah marah sampai seperti ini padaku.

"Cepat ke rumah sakit, kalau kau masih ingin melihat ayahmu!!" Perintah Jaejoong oppa keras sebelum ia memutuskan telepon.

Setelah itu aku tak lagi mempedulikan orang di sekitar yang meneriakkan namaku. Pikiranku seketika membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi pada Ayahku, penyesalan teramat dalam karena untuk pertama kalinya aku membentak Ayahku.

***

"Abeoji." Airmataku mengalir, nafasku memburu dan jantungku berdebar.

Dengan bergegas aku menuju mobilku, bisa ku rasakan orang-orang kakakku mengikutiku dari belakang mengawalku. Tak lagi kupedulikan mereka. Orang-orang di luar apartemen mulai melirikku, sebagian orang yang melihat berita mulai mengenaliku. Ada juga orang yang mengeluarkan ponsel dan mencoba untuk mengambil fotoku namun niat mereka diurungkan karena orang yang mengawalku mulai menutupi tubuhku. Inilah duniaku yang sebenarnya, dunia yang sekuat tenaga kuhindari, namun tetap saja aku tidak bisa menutupi identitasku.

Tibalah aku di sana, sebuah bangsal khusus untuk pasien VVIP yang sudah dijaga ketat oleh beberapa pengawal.

Pemandangan yang sudah biasa kulihat di duniaku. Mereka menunduk memberi hormat padaku saat mereka melihatku. Ketika masuk ke ruang itu, aku sudah disambut oleh sekretaris Ayahku di ruang khusus untuk tamu.

"Abeoji?"

Ketika aku bertanya padanya, mulutnya hanya terdiam namun tangannya mempersilahkanku untuk masuk. Membuat jantungku semakin berdebar. Apakah seserius ini?

"Ajusshi..." Orang tua yang berpostur tubuh agak bongkok, dengan kumis yang sudah agak memutih dan kerutan pada dahinya itu menoleh dan tersenyum samar padaku. Jang Young Mok, beliau adalah sosok pengganti Ayah bagiku, sahabat Ayah yang melihat bagaimana aku tumbuh. Sekaligus orang kepercayaan Ayahku. Beliau sudah berdiri di samping Ayahku.

"Raeka-ya..."

Aku berjalan mendekati ayahku yang berbaring di ranjangnya, aku bisa melihat sebuah alat yang membantu pernapasan terpasang menutupi mulut Ayahku dan juga benda yang bisa mengukur detak jantung ayahku. Semua alat-alat menyeramkan itu berada di sana.

"Abeoji..." Panggilku putus asa, tenagaku seperti terkuras. "Maafkan aku..." Kata maaf yang tak bisa kuucapkan pada saat itu akhirnya hanya bisa terhempas tanpa balasan.

"Oppa di mana...." Kalimatku menggantung saat aku tak mendapati sosok kakakku di sana.

"Jaejoong pulang bersama ibumu, mereka akan kembali..."

"Jaekwon?"

"Ia akan segera datang..."

Ku genggam tangan Ayahku, penyesalan demi penyesalan semakin menghinggapiku. Aku bukanlah anak yang patuh, dibandingkan kakak dan adikku. Akulah yang paling membangkang.

"Jangan khawatir..." kata Young Mok ajusshi mencoba menghiburku.

"Ini salahku, tak seharusnya aku berkata kejam seperti itu." Ucapku. Airmataku tiba-tiba mengalir dengan sendirinya saat teringat kalimat tak pantas yang sempat terucap dari mulutku untuk Ayahku.

"Ayahmu hanya ingin menjagamu, dan cara yang tepat adalah menyuruhmu untuk menikah."

Aku hanya terdiam, mencari jalan keluar yang terbaik. Namun tetap saja buntu. Mereka tidak akan berhenti mengejarku sebelum mendapat jawabannya. Jika aku jujur bahwa apa yang kulakukan adalah sebuah kebohongan. Itu akan berimbas pada saham perusahaan. Namun jika aku meneruskan semua kebohongan ini, itu berarti aku mengorbankan perasaanku.

"Jika aku bersedia untuk menikah, apakah Abeoji akan sehat kembali?" Tanyaku berandai.

"Entahlah..."

"Kalau memang dengan cara menikah bisa membuat Abeoji sehat, aku akan melakukannya. Apapun perintahnya, akan kulakukan." Inilah yang akhirnya menjadi jawabanku. Mungkin aku akan menyesal, namun jika hal ini bisa membuat Ayahku sembuh. Aku tak akan menyesal.

"Pengacara Jang, Direktur Lee sudah datang."

Direktur Lee?

Kepala ini seakan tergoda untuk menengok ke belakang saat sekretaris Ayahku menyebut marga Lee. Entah apakah orang yang bermarga Lee itu adalah orang yang sekarang sedang ada di dalam pikiranku.

benar saja, pria yang bermarga Lee itu adalah pria yang ku maksud.

"Anda sudah datang Direktur Lee..."

Apa Young Mok ajusshi yang menyuruhnya datang ke sini??

"Ne..." Ucapnya singkat, ia sadar bahwa aku sedang menatapnya sekarang.

"Nona Kim juga ada di sini rupanya..." Ucapnya lagi sambil tersenyum kecil kearahku, entah apa maksud dari senyumnya itu. Aku hanya diam tak ingin menjawab.

"Aku akan meninggalkan kalian berdua di sini..."

"Tidak usah..." Ucapku cepat, memotong ucapan Young Mok ajusshi sambil diriku bangkit dari tempat duduk. "Kami yang akan keluar." Lanjutku, aku bergegas menarik tangan Lee Donghae untuk keluar dari kamar tersebut.

"Yaaa... Apa yang kau lakukan??" Tanyanya protes namun ia tak mencoba untuk melepaskan genggamanku dari tangannya. Kami sakarang sudah berada di pojok lorong, aku melirik ke kanan, ke kiri dan ke belakang memastikan bahwa tak ada yang mengikuti kami. Setelah aman kulepaskan tangannya.

"Raeka-ssi..."

"Kalau aku menarik perkataanku kemarin, apakah pernyataanmu masih berlaku?"

"Apa?? Perkataanmu yang mana??"

"Perkataan bahwa aku tak ingin menikah denganmu, aku akan menariknya kembali." Sekarang ku tatap matanya lekat.

"Apa kau mulai jatuh cinta padaku??" kepercayaan dirinya terlalu berlebihan.

"Bukan begitu..." Jawabku tegas. "Lalu? Apa yang membuatmu menarik kata-katamu?" Tanyanya mulai dengan nada serius.

Aku berjalan dua langkah mendekatinya. Sedangkan pria ini sedikitpun tak bergeming.

"Aku ingin menyelamatkan perusahaan dan Ayahku."

Lee Donghae, ia menatapku. Mungkin ia seperti sedang menerawangku.

Namun, Kemudian ia tersenyum.

detik berikutnya ia tiba-tiba merengkuhku ke dalam pelukannya. Membuat jantungku sedikit tak terkendali.

"Baiklah... Aku akan membantumu."

Kuharap apa yang ku pilih bukanlah salah satu kesialan dalam hidupku. Aku tak mungkin mundur, apa lagi untuk menengok ke belakang. Yang bisa kulakukan adalah menghadapi apapun resikonya. Jika resiko itu adalah jatuh cinta pada pria ini. Mungkin aku akan akan menyimpannya. Ya mungkin....

To be Countinue....