"Di malam salju yang turun saat itu, aku tidak tau jika kamu datang membawa hembusan nafas musim semi untukku yang terjebak di musim dingin tanpa akhir"
.
.
.
Musim Semi. Tahun 1130.
Dinasti Song.
Bunga-bunga emas tumbuh dengan subur di tanah Song menandakan awal musim semi yang datang dengan penuh kehangatan dan keberuntungan. Musim dingin pergi membawa kesedihan yang telah membeku dalam waktu.
Tapi tak ada yang mengira jika ada satu sosok yang terus membawa gunung es dalam dirinya karena telah terjebak di musim dingin yang abadi. Ia membawa dendam masa lalu yang tak terlupakan. Pengkhianatan telah membuka matanya lebih lebar lagi. Walau begitu, ia juga tak lupa dengan sekuntum daffodil yang akan terus hidup di dalam es abadinya.
Itu adalah sosok yang membuatnya merasakan secercah kehangatan musim semi dan membuatnya lupa akan tubuhnya yang sedang meringkuk menggigil karena kedinginan yang terus mengikutinya.
Yue Fei membuka matanya dengan tergesa-gesa seolah-olah musuh sedang mengejarnya, namun apa yang ada di hadapannya hanyalah rimbunan bambu yang bergerak lembut tertiup angin musim semi. Suara kicauan burung berusaha menyadarkan Yue Fei akan kedamaian yang masih tersisa di dalam bayangan sekalipun.
"Mim-pi?" Gumam Yue Fei. Ia seperti orang linglung. Kepalanya berdenyut lalu secara refleks ia memegang dadanya yang tidak memiliki lubang atau darah sedikitpun akibat tusukan pedang yang dingin bilahnya masih dapat ia rasakan dengan jelas.
"Tidak. Itu bukan mimpi ..." gumamnya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi. Ia masih berfikir, "tidak mungkin aku terlahir kembali" meski kenyataannya takdir memberinya kesempatan lagi untuk membiarkan dirinya memberikan karma pada manusia-manusia busuk yang mencemari lingkungan di tanah Song.
Whuss---
Angin berhembus. Kali ini tak hanya menerpa pepohonan dan rimbunan bambu namun juga menerpa wajahnya yang sejak tadi terhias kerutan di berbagai sudut karena Yue Fei terus berfikir dan berusaha meyakinkan dirinya jika semua hal buruk yang terjadi hanyalah mimpi buruknya, tapi angin yang membelai wajahnya dengan lembut tadi benar-benar telah menyadarkannya jika ia sudah lama tak merasakan hal itu.
"Kapan terakhir kali aku menghirup udara yang damai ini?" Fikir Yue Fei. Ia tak lagi ingat. Yang ada di kepalanya hanyalah medan perang dan pertempuran tiada akhir. Sisa hidupnya ia habiskan untuk mengabdi kepada kerajaan seperti anjing yang sangat setia pada majikannya meski tidak diberi minum, namun ia tak menyangka akhir hidupnya cukup tragis.
Yue Fei meremas tangannya. Gelombang amarah mulai melilitnya satu persatu ketika ia ingat dengan semua jalan hidupnya dan akhir kehidupannya. Di cap sebagai pengkhianat dan dipaksa menjadi pemberontak oleh orang-orang yang mencemari udara Song.
"Dasar anak ini!. Aku menyuruhmu mengumpulkan kayu bakar tapi kenapa hanya bersantai-santai disini?!" Ucap seorang pria berusia lima puluh tahun lebih yang menghampiri Yue Fei lalu memukul kepala Yue Fei.
Yue Fei melihat wajah itu dan mendadak merasa tembok es yang mengelilinginya perlahan mencair. Tidak ada rasa kesal sama sekali ketika kepalanya dipukul oleh pria paruh baya itu. Yue Fei justru merasa bahagia dan lantas segera memeluknya.
"Ayah, aku sangat merindukanmu ..." bisik Yue Fei.
"Hah?. Alasan apa lagi yang ingin kau buat dasar bocah!. Jangan pura-pura mengigau!. Aku tau kau sudah bangun!. Cepat kumpulkan kayu bakar atau kita akan kedinginan nanti malam!" Tukas pria paruh baya itu pada Yue Fei.
"Kau benar. Aku sudah bangun ... dan aku harap ini bukan mimpi, ayah" ucap Yue Fei. Perasaan bahagia merasuki relung hatinya yang telah menjadi es selama ini.
"Aih. Bocah ini terlalu banyak tidur pasti ..." dumal tuan Yue yang bingung harus bereaksi seperti apa lagi dan akhirnya ia mengabaikannya tapi hal itu sama sekali bukan masalah bagi Yue Fei di banding kehidupan sebelumnya.
Ia masih ingat dengan kekejaman nyonya Wang, istri kanselir Qin di masa lalu yang kerap menyiksa keluarganya hanya agar Yue Fei mau mengatakan jika dirinya adalah pengkhianat dan pemberontak.
Pada akhirnya, ayah Yue Fei adalah orang yang keras kepala dan juga menjunjung tinggi keadilan sehingga ia membela putranya dan mendapatkan bayarannya. Kepala keluarga Yue pun meninggal dengan cara dipenggal.
Saat itu, Yue Fei yang hampir menyerah justru menjadi tambah keras kepala.
Mungkin karena ayahnya adalah kelemahannya sehingga Yue Fei hampir menuruti kemauan kanselir Qin, tapi ketika ayahnya meninggal, segala hal menjadi jelas bagi Yue Fei. Ia semakin teguh karena kelemahannya telah di hilangkan. Tak ada alasan lagi baginya untuk menyerah.
Itu adalah masa-masa dimana kedamaian telah hilang dalam hidup Yue Fei.
Ketika mengambil kayu dan ranting yang berjatuhan di tanah, Yue Fei sempat berfikir di kehidupannya saat ini ia ingin hidup normal tanpa perlu menyentuh dunia militer, senjata, ataupun menginjakkan kakinya di medan perang.
Tapi ia juga segera sadar jika kehidupan normal yang damai seperti itu tidak akan pernah ada tanpa ada yang membuatnya menjadi nyata. Ia bahkan masih harus menyingkirkan orang-orang yang mencemari udara di tanah Song. Selama mereka masih bernafas, ia dan keluarganya tidak akan pernah bisa hidup damai.
"Jika melihat kondisi, seharusnya sekarang aku berusia enam belas tahun dan sebentar lagi akan terjadi invansi di ibukota yang membuat sipil harus menjadi tentara relawan ..." gumam Yue Fei.
Yue Fei berusaha mengingat kenapa warga sipil harus turun tangan ketika invansi dari kerajaan Jin terjadi. Dulu, ia mempertanyakan hal itu dan mendapatkan jawabannya tiga tahun kemudian setelah ia di angkat menjadi komandan setelah berhasil memukul mundur pasukan pasukan Jin.
Ternyata di balik tembok benteng yang tebal ada begitu banyak panglima dan para bawahannya yang sedang bersantai dan menikmati pesta ketika invansi terjadi. Mereka justru menjadikan pertempuran rakyat sipil melawan tentara Jin yang terlatih sebagai bahan tontonan dan hiburan.
Semua posisi telah terbalik. Para prajurit dan kesatria yang seharusnya melindungi mereka yang lemah justru di lindungi oleh para amatir yang dengan mudahnya terbunuh hanya dengan sekali serangan. Akibatnya ada banyak korban berjatuhan kala itu di perbatasan ibu kota.
Yue Fei meremukkan semua ranting yang telah ia kumpulkan ketika ia ingat dengan beberapa kalimat yang tak sengaja ia dengar dari pembicaraan para panglima. Mereka membicarakan alasan membiarkan warga sipil bertarung.
"Jendral Zhang Jun, kau benar-benar jenius. Dengan strategimu, kita jadi tidak perlu melakukan dua tugas melindungi dan bertempur ..."
Kesimpulan yang Yue Fei dapat setelah mendengar hal itu adalah, para prajurit sebenarnya tidak mau bekerja lebih dan memilih menikmati gaji buta. Bagi mereka melindungi masyarakat adalah hal yang merepotkan jadi mereka membiarkan jumlah warga terus menurun karena dibunuh pasukan Jin. Setelah beban untuk melindungi itu berkurang barulah mereka bergerak untuk melawan pasukan Jin dan mengambil keuntungan pribadi.
Panglima-panglima pengecut itu berkata jika para warga yang meninggal adalah mereka yang telah membantu prajurit melawan.
Hasilnya, kaisar memerintahkan untuk memberikan uang kompensasi atas kehilangan keluarga setelah mereka membantu penyerangan. Tapi sayangnya uang-uang kompensasi itu hanya sampai dalam jumlah sedikit karena para petinggi yang culas itu mengambil keuntungan lagi dengan korupsi.
Petinggi istana dan petinggi militer yang bekerjasama adalah parasit yang harus dilenyapkan dari tanah Song. Begitu fikir Yue Fei.
Namun sebelum semua itu terjadi. Yue Fei berniat untuk menghancurkan kesenangan para parasit itu dan akan membuat para panglima itu turun tangan untuk melawan tentara Song sendiri.
"Pertama-tama. Aku harus mencegah agar warga sipil tidak turun tangan dan bertempur dengan pasukan Jin yang akan tiba di perbatasan ibukota seminggu lagi ..." gumam Yue Fei. Kepalanya dipenuhi oleh begitu banyak fikiran dan strategi. Untuk hal ini, ia tentu akan mengingat saudara laki-lakinya yang telah memutuskan bergabung dengan militer dan berniat meminta bantuannya tanpa perlu menunjukan niatnya.
"Da Ge sudah memiliki pangkat kapten, dan itu cukup ..." gumam Yue Fei. Ia telah selesai menyusun rencana. Ia berniat untuk meminjam sedikit pasukan milik kakaknya hanya untuk membantunya menyebarkan gosip.
Yue Fei pun bergegas mengantar semua kayu bakar yang telah ia dapat lalu pergi ke barak untuk menemui kakaknya dan meminjam tablet namanya agar bisa membawa sedikit pasukannya.
"Ayah, aku pergi dulu!"
"Hah?. Apa!. Mau kemana kau!" Teriak tuan Yue.
"Hanya sebentar!"
Yue Fei segera memacu kuda miliknya yang selalu menjadi tunggangannya kemanapun ia pergi di masa lalu.
"Haa!"
"Haa!"
Yue Fei tiba-tiba teringat dengan seorang prajurit yang ahli dalam pengobatan di masa lalu yang sudah berusaha untuk menyelamatkannya dan bahkan menerima permintaan egoisnya untuk merawat semua prajuritnya yang terluka padahal ia sama sekali tidak tau siapa prajurit itu.
Setidaknya, di kehidupan yang saat ini mungkin ia bisa berterimakasih padanya dengan melakukan sesuatu untuknya. Tapi tentu saja ia harus menemukan sosok itu dulu.
Yue Fei berusaha mengingat penampilan sosok itu.
"Jika tidak salah, tablet yang ada di pinggangnya itu adalah untuk identitas prajurit istana ..." gumam Yue Fei. Ia kembali mengingat apa saja yang dapat menjadi petunjuk untuk menemukan prajurit itu.
"Di pergelangan tangannya. Ada tanda lahir atau mungkin bekas luka?. Dan di tangan yang sama itu juga ada tahi lalat di bagian lengan dalamnya ..." fikir Yue Fei. Walau sedikit samar, namun ia ingat ketika prajurit itu merobek pakaiannya untuk ia gunakan untuk menghentikan pendarahannya.
"Tapi sepertinya ingatanku sedikit bermasalah. Tangan yang ku lihat itu sangatlah terlihat kecil dan halus seperti bukan tangan seorang prajurit. Tangan itu bahkan terlihat seperti tangan wanita ..."