Chereads / Albina / Chapter 2 - meet you

Chapter 2 - meet you

Cowok berponi itu memasuki cafe. Dia memesan secangkir kopi dan bergabung dengan temannya. Jika dihitung temannya berjumlah dua orang. Topik hangat dimulai ketika kopi pesanan cowok berponi itu datang.

"Gimana besok? Jadi kah?" tanya cowo berponi itu sambil meneguk kopinya.

"Jadi lah." Temannya yang bertubuh pendek itu berkomentar.

"Lu bawa mobil, Bin?" tanya temanya yang lebih tinggi dari Bina. Ya, cowo berponi itu memiliki nama lengkap Albina Ferielalda. Biasa dipanggil Bina. Dia adalah anak yang super cuek. Malas. Tidak peduli sekitar dan pastinya super dingin. Tapi, coba kamu kenal dia, telaah dirinya pasti kamu akan menemukan keunikan di dalamnya. Tahukan bahwa setiap manusia punya keunikan masing masing?

Bina mengangguk pelan. Mereka merencanakan untuk wisata ke Bogor pekan ini. Bukan sekedar wisata biasa melainkan untuk mengunjungi museum yang ada di sana yang natinya akan dibuat laporan. Itu tugas mata pelajaran IPS mereka. Guru IPS mereka mengasih tugas ini sebelum libur semester ganjil sehingga awal masuk semester genap, mereka harus segera mengumpulkan tugas itu. Tugas nya pun berkelompok dan kebetulan mereka sekelompok—itu adalah keberuntungan terbesar bagi mereka.

Mengapa begitu? Karena mereka sudah kenal dekat saat awal masuk kelas 10 dan sekarang mereka sudah duduk di kelas 11. Saat itu mereka juga beruntung, mereka mendapati kelas yang sama. Sungguh kebahagian yang sederhana. Tau kok, kalian rada jijik mendengarnya karena mereka cowok. Ya, jarang jarang ada trio cowok seperti mereka.

"Oke, jadi sudah jelas kan? Gue mau balik kalau begitu." Bina meninggalkan cafe lebih dulu.

"Emang dia seperti itu, Jun." Temannya yang pendek menggeleng.

"Iya, kalau datang cuman seperlunya saja. Orangnya sangat menghemat waktu. Iya kan, Nan?" Temannya yang tinggi itu ikut menggeleng.

Kalian bertanya tanya bukan siapa nama temannya Bina? Kalian bisa memanggilnya Jinan untuk yang pendek dan yang tinggi kalian bisa memanggilnya Jun. Mereka tahu kalau Bina orang nya super cuek. Tapi anehnya mengapa mereka mau berteman dengan tipe orang seperti dia? Sungguh ajaib bukan?

■■■

Pagi pagi buta Bina sudah mengemas barang—biasanya jam segini dia masih tidur dan bakal susah untuk dibangunkan tapi dia tahu akan perjalanan hari ini sehingga semalam pukul 8 Bina sudah tidur. Dia berharap perjalanannya selama dua hari ini lancar. Dia tahu kok, ini sangat mepet karena senin depan sudah masuk sekolah. Selesai mengemas barang dia segera beranjak ke kamar mandi. Menyegarkan dirinya disetiap tetesan air yang dipancurkan dari shower. Rasanya sejuk sekali!

Selesai mandi, dia beranjak untuk pergi sarapan dengan keluarganya. Di meja makan sudah tersedia beberapa hidangan yang telah disediakan oleh mamanya. Aroma nya begitu lezat dan rasanya sepertinya meyakinkan.

"Papa mana?" Bina duduk di kursi yang berada di tengah tengah.

"Masih dikamar." Mama nya itu masih tergesa gesa membawa beberapa hidangan yang lainnya dan seteko susu—maklum asistem rumah tangga mereka sedang pulang kampung. Kalian pasti bertanya kenapa Bina tidak ikut membantu mamanya? Itu hal yang mustahil! Bina orangnya super cuek dan jarang peduli dengan orang lain termasuk mamanya saat ini.

15 menit melesat cepat. Sekeluarga lengkap sudah mengumpul di meja makan saatnya untuk menyantap sarapannya. Albina dalam keluarga ini adalah anak tunggal jadi sangat disayang oleh kedua orang tuanya sehingga membuatnya merasa sedikit manja dan serba ada karena selalu dilayani dengan fasilitas orang tuanya.

"Ma, Pa. Bina berangkat dulu ya." Albina menyalami kedua orang tuanya.

"Hati hati ya, nak." Mamanya itu mengusap pelan rambutnya Bina.

"Bawa mobil nya pelan pelan," pesan papa nya.

Albina mengangguk dan segera beranjak ke mobil. Dia membawa tas ransel yang digandeng di punggungnya. Baginya lumayan berat karena isinya keperluannya selama dua hari di sana.

Albina memakirkan mobilnya dengan mulus di halaman Jun. Jinan juga sudah berada di sana. Dia segera turun dari mobilnya dan melihat wajah temannya dengan datar.

"Tumben, Bina gak telat. Biasanya masih tidur dan susah dibangunin," ucap Jinan dengan wajah sinis.

"Mungkin DNA koalanya sudah hilang." Jun menanggapinya. Keduanya menertawakan Bina. "Lu sendiri juga biasanya kalau maskeran lama kan?" Bina menyindirnya balik. "Mungkin maskernya habis." Jun mengangkat bahunya

"Jadi jalannya nggak? Keburu macet nih." Jinan gak terima dirinya selalu jadi bahan olokan temannya karena dia sering maskeran. Bukan cuman sekarang tapi emang sudah dari awal mereka ketemu pasti selalu Jinan yang terbully. Sungguh mengenaskan! Padahal dia hanya menjaga wajahnya dari jerawat.

"Iya, pendek. Cepet masuk. Oh, ya Jun lu yang nyetir mobil ya. Gue males." Bina dengan rasa tak bersalah melemparkan kunci mobilnya ke Jun lalu masuk begitu saja ke dalam mobilnya yang bewarna hitam itu.

"Kebiasaan pasti gue yang disuruh bawa. Nan, cepet bisa belajar mobil supaya gue ngga disuruh bawa lagi." Jun beranjak masuk ke dalam mobil. Meninggalkan Jinan yang masih berdiri di halamannya.

"Pagi pagi udah bikin mood gue jelek aja. Hadeh, untung temen." Jinan segera ikut masuk ke mobil temannya itu.

Mobil hitam itu melesat cepat. Tentu saja mereka tidak ingin kena macet. Sungguh membosankan jika itu terjadi. Ah lupakan ini liburan semester pasti akan terkena macet. Lihatlah! Mobil hitam itu berada di tengah tengah puluhan kendaraan lainnya.

"Macetnya gak kira kira sumpah!" Jun merasa jengkel. Merasa bising dengan suara klakson kendaraan lain yang susul menyusul dan itu sangat memekakkan telinga baginya. Jun menghembuskan nafas kasar. Berusaha sabar. Lalu dia menatap ke arah kaca. Dia melihat Bina sedang tidur dan kawan gilanya itu sedang bertengkar dengan jerawat yang ada di wajahnya.

"Padahal semalam gue udah pakai masker tapi tetap saja jerawat ini tidak hilang," gerutu Jinan sambil menatap pantulannya di cermin kecil yang ia bawa.

"Eh, Nan. Memangnya lu gensi sama siapa? Kalau wajah lu jerawatan seperti itu. Lagian hanya satu kan, jerawatnya?" Jun menoleh ke belakang lalu kembali fokus menatap ke depan.

"Ya gak gengsi si cuman malu aja." Jinan menaruh cerminnya di sakunya. Sekarang dia mengambil ponselnya untuk menyetel lagu dan mendengarkannya lewat headset yang sudah tersambung oleh ponselnya.

Macet sudah mereda sekarang mobil hitam itu bisa melanjutkan perjalanannya. Untung nya kedepannya mobil itu bisa berajalan dengan mulus tanpa hambatan sehingga bisa sampai jam 10 pagi di hotel yang sudah mereka pesan.

"Woi, Bina! Bangun udah sampai." Jinan teriak tepat dikuping cowok berponi itu. Sungguh seperti koala! Susah sekali untuk menyadarkan dia dari tidurnya.

"Belum bangun juga?" tanya Jun dari samping. Dia sudah keluar dari mobil milik temannya yang sekarang masih tertidur.

"Belum. Emang ini anak kalau udah tidur bikin susah kita aja." Jinan tampak kesal—sudah berapa kali Jinan teriak di telinga Bina tapi dia tak kunjung bangun.

"Biar gue aja." Jun membuka pintu mobil dati sebalah kanan lalu meneriakinya dati telinga kanan Bina. "Woi! Koala berponi! Bangun, bodoh!" teriak Jun kesal.

Manjur sekali teriakan Jun. Lihatlah! Bina langsung terbangun. "Bisa gak si biasa aja kalau bangunin gue." Bina memukul pelan kepala Jun. Dia segera meregangkan badannya, nyawanya itu belum sempurna kumpul.

"Udah dibangunin gue ditabok lagi. Setan memang." Jun meringis kesakitan.

■■■

Jun membuka pintu hotel. Mereka memasuki kamar tersebut, kamar nomor 36. Jika dilihat, kamarnya lumayan bagus. Kamar itu memiliki dinding bewarna putih dan terdapat dua ranjang di sana juga terdapat satu sofa bewarna putih yang berdiri gagah di ujung kamar. Jun langsung berbaring di ranjang yang sebelah kiri. Dia meregangkan tangannya—baginya menyupir sampai Bogor itu melelahkan karena baru pertama kali dia seperti ini.

"Hei! Kalian ini kenapa pada langsung tidur dan main handphone. Mending kita berenang mumpung masih jam setengah 11." Jinan berbicara dengan antusias—memang hobi Jinan selain mengurus jerawatnya itu adalah berenang.

"Males, Nan. Nanti sore aja kenapa?" balas Bina tanpa menoleh. Dia sibuk dengan ponselnya.

Jinan menghembuskan nafas kasarnya, "Punya teman kok seperti ini." Dia membuka tas ranselnya untuk mengambil masker jerawatnya itu, "Mending gue maskeran aja dah."

"Jinan tolong jangan berisik gue mau tidur." Jun menutup dirinya dengan selimut—dia tahu kalau sedang berurusan dengan jerawatnya itu, Jinan lah yang paling berisik. Jinan tak mengubris ucapan Jun tadi.

"Eh, kita ke museumnya mau entar sore atau besok?" tanya Bina. Kali ini dia mengalihkan pandangannya dari ponselnya.

"Besok aja. Sore gue mau berenang." Jinan mulai menempelkan maskernya pada wajahnya. Terasa dingin saat masker itu menyentuh wajahnya.

"Kalau lu Jun?" Bina menoleh kearah Jun yang tertutupi oleh selimut dan sebagai jawabannya Jun hanya mendengkur.

"Astaga! Dia sudah tidur. Cepat sekali," kaget Bina. Padahal dirinya sendiri juga tukang tidur.

"Kayak lu gak aja, Bin. Lu juga paling cepat tidur kan? Apalagi kalau sudah terlelap tidur susah tau gak bangunin lu nya," celetuk Jinan yang masih sibuk dengam maskernya itu.

"Tapi gue heran sama lu, Nan?"

"Heran kenapa?"

"Lu hobi berenang tapi kok paling pendek diantara kita?" Bina tersenyum sinis.

"Gak nyambung! Lagi bahas soal tidur malah jadi berenang." wajah Jinan terlihat jengkel.

Bina hanya tertawa pelan karena puas meledek sahabatnya itu. Setelah itu dia kembali fokus dengan ponselnya.

Jinan membuka maskernya lalu menatap ke cermin. "Perfect! Lihat saja lu jerawat tidak akan gue biarkan lu tinggal lama lama di wajah tanpan ku ini." Jinan kembali merogoh tasnya mencari sesuatau. "Ah! Pasti ketinggalan."

"Bina, tolong ambilkan tisu di mobil donk!" Jinan menoleh ke arah temannya itu yang masih sibuk dengan ponselnya.

Bina menatap Jinan, "Memangnya tidak bisa dilap dengan handuk?"

"Gak bisa. Rasanya beda."

Bina memutarkan bola matanya. Dia merasa jengkel terjadap temannya itu. Perasaan sama aja. Dasar! Kalau bukan teman dekat sudah gue pukul, seenaknya saja nyuruh nyuruh. Mungkin begitulah isi hati Bina saat ini. "Baiklah!" Bina benar benar pasrah. Dia keluar dari kamar dan segera menuju tempat parkir hanya untuk mengambil sebuah tisu.

Bina membuka pintu mobilnya dan mencari tisu yang dimaksud Jinan. Setelah menemukannya dia menutup kembali pintu mobilnya. Baru saja langkah ke-enam yang Bina ambil untuk menuju kamarnya, ia melihat seorang gadis yang berdiri di unjung parkiran sambil menatap ke bawah—memang letak parkiran ini berada di lantai 4. Bina segera menghampirinya dia menyimpulkan gadis itu hendak bunuh diri.

"Hei! Lu mau ngapain,?" Bina menarik gadis itu ke tengah.

Wajah gadis itu tampak sedih dengan rambut yang agak berantakan. "Semua orang sama aja!" Gadis itu melepaskan tangan Bina dari lengannya lalu beranjak pergi meninggalkan Bina yang masih dilanda kebingungan.

"Memang semua orang sama. Sama sama terbuat dari tanah kan?" gumam Bina pelan lalu kembali melangkah menuju kamarnya.

Langit mulai menunjukan warna jingga. Sementara itu di kamar nomor 36, terlihat Jinan yang tampak bersemangat saat ini. Dia sudah memakai baju renang favoritnya yang ia bawa dari rumah.

"Lu pada lelet banget sih." Jinan sudah bosan menunggu dua temannya itu yang masih bersiap siap. Apalagi Jun yang baru bangun dari tidurnya.

"Ribet ya punya teman yang hobi berenang sampai stadium 4," ucap Jun sebelum menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya yang masih setengah sadar itu.

"Lah? Gue hobi berenag supaya badan gue tinggi." Jinan terlihat jengkel.

"Buktinya badan lu gak tinggi tinggi, Nan. Masih tetap 165 cm." Bina tertawa.

"Iya, Nan. Gue saranin lu beli obat peninggi badan dah," teriak Jun dari toilet.

"Males gue nyari di toko onlinenya." Jinan melambaikan tangan tak peduli. Dia sudah biasa jadi bahan bully-an teman temannya karena tinggi badannya itu.

"Gak perlu nyari, Nan. Komenan ig lu kan akun bisnis penggi badan semua," ujar Bina seraya tersenyum sinis. Tapi, itu fakta. Jika bisa melihat instagram Jinan, kalian akan langsung menemukan banyak akun bisnis yang menawarkan obat herbal peninggi badan.

Jinan tak menjawabnya lagi. Dia hanya menggerutu tidak jelas dengan volume suara kecil. Pelan pelan dia kembali tersenyum kecil. Mencoba terlihat baik baik saja—walaupun rasanya sedikit sakit karena sering dihina seperti itu.

Bina yang seolah mengerti isi hatinya Jinan, beranjak menuju sahabatnya itu yang kini sedang duduk di sofa kamar, "badan lu memang pedek, Nan. Tapi tekad lu tinggi, Nan. Walaupun lu sering dibilang pendek tapi tetap saja lu hobi berenang. Itu keistimewaan lu, Nan. Tidak mudah terpengaruh omomgan orang lain." Bina mengusap pelan kepalanya Jinan seraya tersenyum hangat ke arahnya.

Jinan meneguk liurnya dengan suah payah. Dia tau Bina orang nya menjengkelkan tapi kalau rasa pedulinya itu muncul dalam dirinya. Uh! Pasti kata katanya sangat memotivasi. "Makasih, tapi jangan ngusap kepala gue juga donk." Jinan menepis pelan tangan Bina dari kepalanya.

Bina hanya menyengir tak berdosa ketika Jinan menatapnya. Jun sudah keluar dari toilet dengan baju oblong dan celana pendek. "Gue udah siap. Jadi kan?" Semua mengangguk lalu beranjak menuju kolam renang yang berada di lantai dasar.

Setelah selesai berenang mereka ke toilet untuk membersihkan dirinya masing masing. Tepat matahari benar benar tenggelam dari langit, mereka bertiga selesai mandi dan beranjak kembali ke kamar.

"Weh, Bina beliin gue makan donk di bawah." Jinan memegangi perutnya—tentu saja karena dia belum ada makanan yang masuk ke mulutnya dari pagi kecuali makanan kecil seperti snak dan kue.

"Gue juga sama," tambah Jun. Mengingat mereka semua belum makan.

"Yaudah, gue beli di kantin samping hotel ya. Mumpung belum tutup." Bina mengambil jaketnya—memang setiap urusan yang berhubungan dengan pesan memesan selalu Bina yang kerjakan di dalam pertemanan ini. Memang Bina orangnya manja dan malas tapi kalau dalam pertemanan, itu lain cerita. Entah kenapa bisa begitu?

"Gue ikut deh," ucap Jun.

"Apa?"

"Gue ikut, Bina." Jun mengulanginya lagi.

"Tumben," Jinan bingung, "biasanya kan lu orangnya mageran."

"Males gue bareng lu." Jun bangkit dari ranjangnya. Meraih jaketnya yang di gantung di dinding kamar.

"Yaudah, jangan lama lama." Jinan tak peduli—kalau soal ditinggal sendirian dia sudah terbiasa karena di rumahnya memang seperti itu selalu dia yang ditinggal oleh orang tuanya pergi bersama adik kecilnya.

"Uang lu mana, Nan." Jun mengulurkan tangan. Menagih uang ke temannya itu.

Jinan merogoh sakunya, "Nih." Jinan memberi uangnya ke Jun.

Sebelum menutup pintu kamar, Bina berbicara, "Jinan, kami pergi dulu." Setelah itu mereka pergi meninggalkan Jinan dengan memakai jaket mengingat udara malam di Bogor yang lumayan dingin.

Kaki mereka sudah menginjak kantin di samping hotel. Jika kalian bisa melihatnya, kantin ini cukup luas dan ada beberapa toko yang sudah tutup mengingat sudah pukul 7 malam. Alih alih dari toko yang sudah tutup, toko yang masih buka terbilang masih banyak mengingat masih banyak pengunjung yang datang untuk mengisi perutnya. Setiap mereka menelusuri lorong kantin ada saja suara promosi dari pemilik toko ketika mereka lewat di depannya.

"Mie ramen!" Jun teriak bersemangat ketika melihat ada makanan favoritnya yang sebelumnya ia tak menyangkanya.

"Lu kalau teriak jangan di tepat kuping gue juga," protes Bina, "memangnya si Jinan suka?"

"Ya gak tau. Tapi lu jangan coba coba menghalangi gue untuk membeli mie ramen." Jun berjalan menuju toko ramen itu. Meninggalkan Bina sendirian.

"Kan gue nanya Juna Setiawan. Aduh bodohnya kumat lagi nih." Bina menepuk dahinya lalu menghampiri Jun.

Saat beberapa langkah dia ingin memasuki toko ramen itu. Pandangan dia teralihkan dengan sosok gadis yang dia kenal. Gadis itu sedang menikmati baksonya di malam yang cukup dingin ini. Sekejap dia melupakan Jun dan lebih tertarik makan di sana. Dia memesan 1 porsi bakso dan air mineral, sebenarnya ia juga mau menghangatkan tubuhnya dengan makanan hangat. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi toko bakso ini tapi sepi tidak ada pelanggan sama sekali selain dirinya dan gadis itu.