Pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini, mata ku sedetik pun tak bisa teralihkan dari pandangan nya. Jantung ku pun ikut berdebar-debar ketika wanita itu tersenyum menatap kearahku, lantunan musik serta tarian nya seakan-akan menghipnotis pikiran ku.
Ketika sebuah keramaian yang mengkrumuni nya yang berlenggak-lenggok dengan indah mengikuti lantunan musik. Aku pun semakin penasaran lalu mendekati kerumunan itu dan turut serta memperhatikan wanita itu.
Mata biru nya yang memancarkan cahaya, senyuman nya membuat hati ini sejuk. Helaian rambut pirang emas nya yang berterbangan serta gemericik suara gelang kaki sperti melody yang terdengar merdu, membuat mata ini tak bisa luput dari pandangan nya.
Cantik.
Satu kata yang cocok untuk wanita ini.
"Mayor van Ness?!"
Lamunan ku langsung terbuyarkan ketika seorang bawahan ku yang terus menerus memanggilku. Seketika aku pun langsung menatapnya tajam, ia sangat menggangu ku yang sedang asik melihat wanita yang menari dengan kain sutra emasnya.
"Kembali ke camp!"
Dengan berat hati akupun harus meninggalkan sosok bidadari yang telah membawa kebahagiaan di kota ini. Karena sedari awal aku yang terus menerus ikut turun tangan dalam perang ini, tak sedikit pun aku melihat para rakyat yang terlihat bahagia.
Namun hari ini, dia berhasil mengubah segalanya.
Bahkan lelaki tak berperasaan ini telah dibutakan oleh seorang wanita yang menari indah dengan senyuman manis.
Author Pov.
Eric Wagner van Ness, seorang Mayor yang memimpin pasukan utama Prajurit Ferdiantz dalam perang saudara Ferle. Perang yang telah terjadi dari seratus tahun yang lalu masih meninggalkan kesan yang sama seperti dulu.
Dahulu Lonia dan Ferdiantz adalah sebuah kerajaan dengan nama Londiantz. Namun karena terdapat dua kubu berbeda yang saling bertentangan membuat Londiantz terpecah menjadi dua, yang kini lebih sering didengar sebagai Lonia dan Ferdiantz.
Perdamaian yang telah dijanjikan seratus tahun yang lalu kini telah hancur ketika Lonia menyatakan perang dengan cara meluncurkan bom atom ke ibukota Denham dan kini menguasainya.
Lonia berhasil menguasai ibukota Denham, seluruh prajurit dan rakyat yang masih selamat pun mengungsi ke kota Glied yang tidak begitu jauh dari ibukota Denham. Kota Glied menjadi ibukota darurat bangsa Ferdiantz. Setelah tau tempat kelahiran nya di kuasai musuh, para rakyat pun kini sedang merenung.
Akibat pertempuran yang bangsa Lonia lakukan untuk menguasai Denham, separuh dari penduduk mati akibat bom atom yang di luncurkan Lonia pada malam hari ketika setengah dari para prajurit Ferdiantz tertidur karena mereka tak menyangka bahwa Lonia akan kembali menyerang.
Raja Carlos pun setelah tau ibukotanya diserang, ia langsung mengumpulkan semua prajuritnya. Karena bangsa Lonia telah menyatakan perang yang sama seperti seratus tahun yang lalu kepada bangsa Ferdiantz.
Perang saudara yang kini disebut Perang Ferle adalah sebuah medan pertempuran yang mungkin tak akan pernah terhentikan hingga tak ada dendam di dunia ini yang masih tersisa.
...
Seorang wanita bertudung hitam berlari terengah-engah ketika beberapa lelaki mengejarnya. Sudut-sudut gang kecil telah ia lewati dengan tujuan untuk mengelabui orang yang mengejarnya.
Namun ia telah kehilangan arah setelah menyadari jalan yang sudah ia lewati adalah jalan buntu.
"Sial!"
Didepan nya hanyalah sebuah tembok, ketika ia ingin kembali keluar dari sini. Langkahnya langsung terhenti mematung ketika para lelaki itu kini berada di hadapannya.
"Bagaimana nona Lily?"
Lelaki itu melihat Lily dari ujung kaki hingga kepala dengan tatapan mesumnya, Lily yang melihat itu hanya bisa mengepalkan tangan nya sembari tersenyum menatap lelaki brengsek yang ada dihadapannya.
"Apakah kau akan membayarnya dengan tubuhmu?"
Langkah demi langkah lelaki itu mendekati Lily, tangan nakal nya mengusap wajah cantik Lily perlahan. Sampai akhirnya Lily menepis tangan nya ketika lelaki itu ingin menyentuh tubuhnya.
"Tiga hari!"
"Dalam tiga hari aku akan melunaskan nya!"
Lelaki itu hanya memandangnya rendah dan mungkin tidak akan mempercayai ucapan wanita yang ada dihadapan nya. Memang Lily sangat terkenal sebagai wanita penghibur di kota Glied. Dan tak akan mungkin ada lelaki yang akan menghormati seorang wanita penghibur.
Dengan seringai di wajah tampannya lelaki berusia dua puluh tahunan dengan tubuh tegapnya itu menatap Lily intens.
"Baiklah nona Lily"
Sejenak Lily bisa bernafas lega.
"Tapi ingat Lilianna Forks, jika dalam tiga hari ini kau tidak segera melunasi hutang-hutang mu. Aku tidak yakin rumah bordil madam Forks akan ada lagi"
Tubuh Lily langsung terbeku.
"Dan tubuh mu akan jadi imbalan nya" ujar lelaki muda yang menarik dagu nya hingga Lily dapat melihat jelas mata dia.
Lily sendiri hanya bisa diam mendapatkan perlakuan itu, ia tak bisa mengelak jika ingin rumah bordil milik ibunya masih ada di kota ini.
"Terimakasih atas keringanan nya tuan Jean"
Tentu saja ucapan Jean tadi membuatnya langsung terdiam, walaupun sang ibu pemilik dari rumah bordil Forks. Namun tak pernah sekalipun Lily disentuh oleh lelaki, karena hanya dia satu-satunya wanita di rumah bordil yang mengikuti jejak sang ibu.
Tetapi sebagai gantinya, Lily menjadi seorang penari ia menghibur orang dengan tarian nya. Sedari kecil ibunya selalu mengajarkan nya menari, karena tak ingin anak gadisnya mengikuti jejaknya yang sebagai wanita penghibur.
Hanya ibunya satu-satunya harapan Lily, baginya sang ibu adalah pahlawan nya. Seseorang yang selalu ada di dekatnya dan selalu membuatnya tersenyum. Ibunya telah membesarkan dirinya seorang diri, terlahir tanpa ayah adalah hal yang biasa untuknya.
Tapi hal yang membuat Lily sedih ketika kini ibunya hanya bisa berbaring diatas kasur akibat penyakit yang dideritanya karena pekerjaan nya sebagai wanita penghibur dulu. Ibu Lily terkena Aids-Hiv.
Kini ia sedang berpikir bagaimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam kurun waktu tiga hari. Matanya pun menatap kosong langit biru, membiarkan rambut pirang emasnya tergerai oleh angin.
Lilianna atau sering dipanggil Lily, begitu membenci kehidupannya saat ini. Terlahir dari keluarga wanita penghibur memanglah bukan keinginannya, namun takdir begitu kejam hingga saat ini pun keluarganya terlilit hutang walaupun sang ibu telah membuka rumah bordil.
"Aku benci dunia ini" lirihnya.
.
.
"Bersyukurlah nona Lilianna Forks."
Dahi Lilianna langsung berkerut ketika seorang lelaki berpostur tinggi dengan tubuh ideal yang kini berdiri dihadapan nya lagi.
"Kau lagi?!"