Chapter 7 - BAB 5

Seungyoon mengerahkan semua pengawal untuk mencari Jiho, tak terkecuali keempat sahabatnya yang lain, namun sudah satu minggu berlalu tapi jejak Jiho hilang bagai ditelan bumi. Sementara kursi CEO perusahaan grup Choi tidak bisa terus-terusan dibiarkan kosong. Mau tidak mau, suka tidak suka, Seungyoon harus naik ke puncak untuk duduk di kursi CEO demi menstabilkan saham perusahaan juga mengamankan posisi CEO sampai Jiho kembali.

Hari ini adalah hari pertama Seungyoon di perusahaan setelah selama tiga hari ia diminta mempelajari kondisi perusahaan. Dalam tiga hari juga, Seungyoon mengumpulkan orang-orang baru yang ia pilih sendiri untuk menjalankan perusahaan sesuai dengan rencananya. 15 orang terpilih itu kini tengah mengikuti Seungyoon berjalan masuk ke dalam perusahaan.

Para petinggi perusahaan dan beberapa staff setara manager tengah menyambut kedatangannya, namun ditengah sambutan itu terselip gunjingan diantara pegawai yang meragukan kepemimpinannya dan kemampuannya dalam menjalankan perusahaan. Bahkan mereka tak segan membandingkan kinerjanya yang belum dimulai dengan Jiho yang sudah memimpin perusahaan lima tahun terakhir. Gunjingan itu bukan kali pertama didengarnya, ia bahkan sudah mendengarnya sebelum Seungyoon setuju masuk ke perusahaan.

"Hentikan semua aktifitas dan kumpulkan semua pegawai tanpa terkecuali di aula utama."

"Maaf?"

Seungyoon baru masuk ke dalam ruangannya dan seorang pria yang mengikutinya terkejut mendengar perintah pertama Seungyoon.

"Kau jelas mendengarnya, sekretaris Hong." Seungyoon tak menoleh, ia masih berdiri menatap sekeliling ruangan yang sudah lama tak didatanginya. Dulu, ia cukup sering ke sini hanya untuk mengganggu Jiho.

Sekretaris Hong keluar setelah membungkuk kecil ke Seungyoon. Sekretaris Hong adalah putra dari kepala sekretaris Hong Jae. Ayahnya sudah bekerja untuk Bigbang Corporation selama 40 tahun dan sekarang Hong Junsoo –sekretaris Hong- bekerja untuk perusahaan grup Choi yang dipimpin Jiho hyung.

Kurang dari 30 menit seluruh pegawai perusahaan beserta petinggi lainnya sudah berkumpul di aula utama gedung ini. Seungyoon berjalan masuk dan naik ke atas panggung lalu berdiri di belakang podium.

"Pertama. Perkenalkan namaku Choi Seungyoon, putra kedua keluarga Choi. Mulai hari ini aku akan memimpin perusahaan sampai Choi Jiho kembali dari perjalanan bisnis. Aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik."

Seungyoon mundur selangkah dari podium dan membungkukkan badannya 90° di hadapan seluruh karyawannya. Para karyawan mulai saling memandang, mereka kembali berbisik mengenai sikap Seungyoon saat ini. Seungyoon kembali maju ke podium dan memandang lekat seluruh karyawan.

"Kedua…" Seungyoon melirik ke sekretaris Hong dan sekretaris Hong yang mengerti segera meminta petugas yang berada di pintu untuk membuka dan membiarkan orang-orang yang sudah menunggu untuk masuk.

15 orang yang berjalan di belakang Seungyoon tadi pagi masuk dan berjejer membelakangi Seungyoon. Kembali, para karyawan berbisik tentang sikap Seungyoon yang ini. Siapa mereka? Untuk apa mereka di sini? Kenapa mereka ada di sini?

"Mereka yang berdiri di hadapan kalian adalah orang-orang yang akan mengisi posisi pengawas untuk tiap divisi. Mereka berada di atas kepala divisi dan langsung berhubungan denganku. Mereka akan mengawasi kinerja kalian dan melaporkannya padaku. Mungkin ini terlihat kejam, tapi tujuanku di sini bukan untuk melihat perusahaan merosot atau hanya bersenang-senang sampai Jiho hyung kembali, aku di sini untuk menstabilkan perusahaan dan memperbaikinya. Jadi, aku harap kalian bisa bekerjasama dengan baik." Sambung Seungyoon.

Secara tiba-tiba suasana terasa mencekam karena ucapan Seungyoon. Tidak ada karyawan yang menunjukkan ekspresi wajah selain wajah tegang dan terkejut, termasuk para petinggi perusahaan yang berdiri di belakang Seungyoon. Mereka saling memandang karena hal ini tidak ada dalam pembicaraan dengan presdir Choi sebelumnya.

"Aku akhiri pertemuan ini. Terimakasih. Selamat pagi."

Seungyoon keluar diikuti sekretaris Hong dan para petinggi perusahaan. Di tengah perjalanan kembali ke ruangannya, Seungyoon berhenti dan memalingkan sedikit wajahnya untuk berbicara dengan sekretaris Hong.

"Aku ingin mereka melaporkan semuanya padaku satu bulan sekali. Ah, terlalu lama. Laporkan semua padaku seminggu sekali. Semuanya. Berikan surat pemecatan bagi karyawan yang memberikan kontribusi paling sedikit ke perusahaan, bergabung dengan perusahaan ini bukan hal yang mudah dan aku tidak mau mereka menganggap setelah bergabung di sini lalu bisa bersantai. Ini berlaku untuk semua karyawan tanpa terkecuali, itu artinya semua orang berada dalam posisi yang tidak aman. Jika ingin mengamankan posisi maka mereka harus bekerja dan memberikan keuntungan untuk perusahaan." Seungyoon kembali melanjutkan langkahnya.

Sejak itu, keadaan perusahaan grup Choi menjadi kaku. Semua pegawai hanya berbicara seperlunya dan menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Tidak ada yang berani melakukan pelanggaran kecuali mereka yang tidak tahan dengan aturan baru dari Seungyoon. Di minggu pertama, tiga orang dipecat. Di minggu kedua, lima orang mengundurkan diri dengan alasan peraturan perusahaan yang tidak rasional.

Seungyoon tidak peduli karena ia masih melihat minat pelamar yang ingin bergabung dengan perusahaannya masih banyak, jadi ia dengan senang hati melakukan seleksi dengan pelamar baru yang lebih berkompetensi dari karyawan yang keluar.

Baiknya, kinerja karyawan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Jika sebelumnya sebuah persiapan proyek dilakukan lebih dari satu bulan, maka saat ini persiapan proyek hanya dilakukan dalam satu sampai dua minggu.

Suatu pagi,

"Rapat selesai. Perbaiki hitunganmu, besok jam 8 pagi lakukan presentasimu lagi." Seungyoon berdiri dan bersiap untuk keluar dari ruang rapat, namun langkahnya tertahan setelah mendengar ucapan pegawainya.

"Maaf, sajangnim. Aku sudah menghitungnya dengan benar. Aku yakin."

Seungyoon menatap karyawannya, "Kau mengurangi 0,8% dari perhitungan yang sebenarnya. Apa kau pikir aku akan membiarkannya? Kau tahu berapa kerugian perusahaan dari 0,8% itu?"

"1,4 milyar. Bagaimana kau akan menutupi kerugian perusahaan jika aku membiarkan 0,8% itu? Aku menyuruh kalian bekerja dengan cepat, bekerja dengan cepat bukan berarti ketelitian harus diabaikan." Seungyoon menatap semua wajah peserta rapat yang hadir, lalu keluar dari ruang rapat.

"Aku sudah bilang kau harus teliti, biar dia masih muda tapi dia jauh lebih gila dari Jiho sajang." Celetuk teman dari karyawan yang melakukan presentasi tadi.

Meski terus bekerja di perusahaan, Seungyoon tetap mengerahkan orang untuk mencari Jiho. Ia tak bisa terus-terusan berbohong soal Jiho.

"Sajangnim, anda belum menandatangani dokumen penjualan wine grup Choi." Sekretaris Hong membuka map yang berisi kumpulan kertas penting.

"Aku tidak lupa. Dokumen itu sengaja tidak kutanda tangani." Jawab Seungyoon.

"Ke-kenapa, sajang? Produksi wine kita sudah berada di tahap pengemasan. Tidak mungkin kita menuang kembali seluruh wine ke tempatnya. Sajangnim…"

Seungyoon tak menyauti ucapan sekretaris Hong.

*            *              *

Seunghoon tengah bersiap meluncurkan produksi wine perusahaan grup Kang. Bila setiap tahunnya perusahaan grup Kang berada di urutan kedua dalam penjualan wine –di bawah perusahaan grup Choi-, tahun ini perusahaan grup Kang berada di puncak. Permintaan pasar meningkat selama tiga bulan terakhir yang membuat Seunghoon mulai meremehkan kemampuan Seungyoon.

Media bisnis mulai membicarakan kemampuan Seungyoon. Berbagai komentar buruk tentangnya pun bermunculan, perbandingan antara dirinya dan Jiho dibeberkan secara luas. grup Choi merasakan kerugian karena petani anggur melakukan protes atas wine yang dikembalikan.

*                 *           *

"Aku ada operasi satu jam lagi. Kau akan kubunuh jika ini tidak penting, Choi Seungyoon!" Mino mencibir, ia masuk ke dalam ruang kerja Seungyoon bersama Taehyun dan Jinwoo.

"Ini penting. Duduk dan rasakan wine yang ada di atas meja itu." Seungyoon menunjuk sekretaris Hong untuk menuangkan wine dalam botol ke tiga gelas yang ada di atas meja.

"Kenapa tumben sekali." Taehyun mengambil gelas yang berisi wine lalu meneguknya.

"Bagaimana?" tanya Seungyoon penasaran.

"Ini jelas produksi Madrid tahun 2013. Kau bisa merasakannya tepat di ujung lidahmu." Jawab Mino disambut anggukan setuju Jinwoo.

"Bukan. Rasanya lebih kuat dari Madrid 2013." Sanggah Taehyun.

"Memang bukan Madrid 2013. Ini adalah produksi grup Choi." Seungyoon memberikan smirk sombongnya.

"Jangan bercanda, Seungyoon-ah. Wine produksi kalian tidak seperti ini." Mino meneguk kembali wine itu dan merasakannya.

"Tunjukkan pada mereka, sekretaris Hong." Kata Seungyoon santai. Sekretaris Hong mengambil botol wine dan mulai membuka label kertas yang mengalung di leher botol. Label CG tertulis jelas di sana membuat ketiga orang tadi terkejut.

"Woah, bagaimana bisa?" tanya Mino penasaran.

"Apa mungkin kau menambah waktu penyimpanannya?" tebak Taehyun yang dijawab dengan anggukan oleh Seungyoon.

"Jadi ini alasanmu tidak menjual anhi menunda penjualan wine produksi grup Choi?" gantian Mino yang menebak.

"Benar." Singkat Seungyoon, ia mengambil gelasnya dan menerima tuangan wine dari sekretaris Hong.

"Kau sengaja melakukannya untuk membuat wine grup Choi menjadi Limited Edition?" Timpal Taehyun.

"Kau memang pintar, Taehyun." Puji Seungyoon.

"Kau akan menjualnya meski persediaannya sedikit dengan harga yang jauh di atas rata-rata, karena rasa wine produksimu lebih enak dari wine di pasaran." Jelas Jinwoo.

"Kau benar, hyung!" Seungyoon tersenyum.

"Karena barang dengan jumlah terbatas memiliki pangsa pasar sendiri, karena itulah kau tidak masalah jika harus rugi di awal." Tambah Taehyun.

"BINGO!" Seungyoon menjentikkan jarinya sambil menunjuk ke arah Taehyun.

"Kau mengerikan, Choi Seungyoon." Mino mengangkat gelas wine untuk Seungyoon.

"Tapi, untuk menambah nilai jual wine grup Choi. Kau memerlukan bintang terkenal dalam iklanmu." Saran Taehyun.

"Aku sudah mendapatkannya." Jawab Seungyoon.

"Siapa? WINNER? Aku dengar mereka adalah grup penyanyi dengan penampilan yang classy, atau Super Junior, grup legend selalu sukses memberikan angka penjualan yang tinggi." Mino mulai menebak-nebak bintang hallyu yang cocok untuk mengiklankan produk ini.

"Bukan mereka, tapi kalian." Seungyoon menjawab singkat.

"APA?" Ketiganya terkejut dengan ucapan Seungyoon.

"Tidak ada yang lebih bisa menjual wine limited edition selain anak-anak dari grup Bigbang Corporation. Mereka yang ingin memiliki kehidupan seperti kita, mengikuti semua yang kita lakukan. Memakai kalian sebagai bintang iklan adalah hal yang paling tepat." Jelas Seungyoon.

Ketiganya hanya diam dan kembali menikmati wine sebelum akhirnya Mino pamit kembali ke rumah sakit dan Taehyun kembali ke rumah. Jinwoo juga berpamitan namun ia memandang lekat Seungyoon terlebih dahulu.

Jadi ini yang dia maksud tentang waktu yang akan datang dimana ia akan mengambil seluruh tanggung jawab yang sebelumnya berada di tangan Jiho. Ia akan melakukannya sampai Jiho kembali. Batin Jinwoo.

Syuting dan photoshoot untuk pemasaran CG wine sudah selesai dilaksanakan. Hasilnya sesuai dengan prediksi mereka, penjualan CG wine melonjak naik dan perusahaan mendapatkan untung yang besar. Seungyoon memberikan bonus kepada karyawan yang terlibat proyek ini termasuk petani anggur yang sempat melayangkan protes.

Media berbondong-bondong membuat artikel pujian untuk Seungyoon. "CEO muda Choi mulai menunjukkan taringnya", "Generasi baru di dunia bisnis lahir dari perusahaan grup Choi", Artikel lainnya berbunyi "Choi Seungyoon, perpaduan yang pas dari Dewi Analisis Jang Sohee dan Dewa Prediksi Choi Seunghyun".

Diketahui sebelum menikah dengan Choi Seunghyun, Jang Sohee adalahs seorang desainer yang mampu menganalisis masa depan dunia fashion. Analisis yang dituangkan dalam bentuk busana tak pernah meleset, ia selalu membuat tren dari busana yang diciptakannya.

Presdir Choi terlihat puas dengan kinerja Seungyoon. Dalam kurun waktu kurang dari enam bulan, Seungyoon sudah menghasilkan keuntungan lebih dari satu kali keuntungan perusahaan. Meski mengalami beberapa kali perombakan dalam susunan karyawan karena peraturan baru yang Seungyoon buat, pada akhirnya jumlah karyawan yang dipecat dan mengundurkan diri semakin berkurang. Para karyawan mulai bisa mengimbangi ritme kerja yang Seungyoon ciptakan.

Pesta penyambutan Seungyoon sebagai CEO perusahaan grup Choi yang baru sedang diselenggarakan, Presdir Choi sangat bangga akan anaknya. Ia tersenyum melihat Seungyoon yang membaur dengan kolega-kolega perusahaan dan senyuman presdir Choi tertangkap oleh Seungyoon. Seungyoon berjalan ke arahnya dengan wajah penuh tanya.

"Kenapa kau tersenyum, Ayah? Apakah kau tersenyum karena kau berhasil membuatku melompat ke duniamu atau kau tersenyum karena yang bukan anakmu akhirnya meninggalkan posisi yang kau siapkan untukku? Ah, sepertinya kau tersenyum untuk keduanya."

Seungyoon kembali berjalan. Presdir Choi terdiam mendengar ucapan Seungyoon namun ia membuat Seungyoon berhenti dan menatapnya tegang saat ia mengatakan, "Aku sudah menemukan hyungmu."

"Aku tahu dimana dia, Seungyoon-ah." lanjutnya.

*                  *             *

Seungyoon tengah menunggu seseorang dari dalam mobil yang terparkir di depan jalan masuk ke rumah tahanan yang berada di Incheon. Setelah diberitahu presdir Choi tentang keberadaan hyungnya, Seungyoon langsung meninggalkan pesta dan berangkat langsung ke Incheon seorang diri. Ia tiba pagi ini untuk melihat Jiho langsung.

Seungyoon akhirnya melihat Jiho yang berjalan menuju pintu masuk rumah tahanan. Jiho memakai hoodie warna hitam, celana jeans yang robek di bagian lutut, sepatu kets, terlihat seperti bukan gayanya.

Seungyoon sudah bersiap membuka pintu untuk berlari memeluk Jiho dan menanyainya semua pertanyaan yang memenuhi kepalanya selama ini, jika saja ia tak ingat apa yang dikatakan presdi Choi semalam.

"Dia tinggal di pinggiran Incheon untuk bisa menemui ibunya setiap hari di penjara. Aku dan ibumu sudah menemui dan membujuknya untuk pulang tapi ia menolak. Jiho ingin tinggal agak lama di sana, ia ingin membangun kenangan dengan ibunya juga ingin mengembalikan apa yang harusnya kau miliki. Jiho tahu kau menjadi idola karena memberontak untuk melindunginya tapi mulai saat ini dia yang akan melindungimu. Aku diminta untuk melihat perubahan yang terjadi jika kau memimpin perusahaan. Ketika saat itu tiba, ia sudah siap kembali ke rumah. Sementara ini biarlah ia menikmati setiap detik bersama ibunya, kau pasti lebih mengerti perasaan hyungmu itu."

Setengah jam berlalu dan Seungyoon melihat Jiho keluar dari rumah tahanan. Terlihat jelas sebuah senyum terukir di wajah Jiho, sebuah senyum yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Air mata langsung jatuh kala Seungyoon melihat senyum Jiho.

Semua perjalanan waktu yang mereka lewati terputar rapi dalam kepalanya, seketika rasa bersalah menyergap, "terima kasih dan maafkan aku, hyung."

Seungyoon menjalankan mobilnya, melewati Jiho. Tanpa mencoba menyapa, Seungyoon hanya melihat Jiho dari kaca spion mobil yang semakin kecil dan menjauh. Jiho menyadari mobil yang baru melewatinya, senyum kecil dan langkah yang berhenti dari Jiho saat memandang mobil yang sudah menjauh.

"Oraenmaniya, Seungyoon-ah."

*                 *                *

"Eh? Seungyoon?" Jinwoo terkejut melihat Seungyoon masuk dan langsung merebahkan dirinya di atas sofa panjang ruang kerjanya, persis seperti yang biasa Mino lakukan. Seungyoon benar-benar tidur. Bunyi ponsel dan getarnya di genggaman tangan tak membuat Seungyoon bangun.

"Aigoo, jika kau ceritakan semua lebih cepat, kau tidak akan selelah ini. Pabo." Omel Jinwoo pada Seungyoon yang tak bergerak. Ia mengambil ponsel dari genggaman Seungyoon dan menjawab panggilan yang masuk.

"Ya, Jiho-ssi?" jawab Jinwoo.

"Kau dimana?" Tanya Jiho yang tak menyadari hal itu.

"Aku Jinwoo. Seungyoon sedang tidur di tempat praktekku."

"Lee Jinwoo? Oh, apa Seungyoon baik-baik saja?" Suara Jiho terdengar khawatir.

"Ya, Seungyoon baik-baik saja. Kau ingin bicara dengannya?" tanya Jinwoo.

"Tidak. Aku akan segera ke sana. Hanya, tolong tahan dia sebentar." Pinta Jiho.

*               *                 *

Perusahaan grup Kang.

Seunghoon terlihat kesal dengan laporan penjualan wine perusahaannya bila dibandingkan dengan penjualan milik perusahaan grup Choi. Kesal karena usahanya membuat ayahnya puas semakin jauh dan mungkin orang yang sedang dilindunginya saat ini tidak akan bisa keluar dari sana.

Enam tahun ia mencoba menjadi yang terbaik tapi selalu saja dikalahkan oleh Kwon Taehyun, sekarang satu orang lagi muncul menunjukkan kepintarannya, Choi Seungyoon membuatnya semakin frustrasi terhadap keadaan yang dihadapinya.

*                     *                 *

"Kau sudah datang?" Jinwoo menyambut kedatangan Jiho. Ia sedikit terkejut melihat penampilan Jiho tapi Jinwoo segera mengerti keadaannya.

Jiho memberi senyuman pada Jinwoo, ia tak berbicara tapi Jinwoo mengerti ia sedang mencari Seungyoon. Jinwoo menunjuk sofa dimana Seungyoon tengah tertidur. Jiho mendatangi sofa itu, ia bisa melihat wajah lelah Seungyoon.

"Dia terlihat lelah juga kurus." Lirihnya.

"Seungyoon menyimpan semuanya sendirian, bahkan ia menolak tawaranku untuk membantunya." Jinwoo mendengar lirihan Jiho. Ia berjalan ke sisi mini pantry untuk membuat minuman bagi tamunya.

"Harusnya aku tidak berkata kasar padanya waktu itu. Hyung macam apa aku ini." sesal Jiho.

"Jangan menyalahkan diri sendiri, Jiho-ssi. Kau sedang emosi saat itu." Jinwoo memberikan teh yang dibuatnya tadi kepada Jiho.

"Seharusnya aku bersyukur, mereka mau merawatku dan menganggapku seperti anaknya sendiri. Aku malah marah karena kenyataan itu dan anak ini terlalu memaksakan dirinya untuk melindungiku. Harusnya dia tahu, hidupnya jauh lebih penting dari sekedar menyembunyikan kenyataan pahit ini." Jiho menyentuh rambut Seungyoon dan mengusapnya perlahan.

Ikatan kalian benar-benar kuat. Batin Jinwoo.

"Ah, sudah berapa lama dia tidur?" tanya Jiho.

"Sejak kau telepon sampai kau di sini, mungkin sekitar tiga jam." Jawab Jinwoo enteng. Seperti merasa tahu yang terjadi selanjutnya, Jinwoo mulai membereskan berkas pasien yang ada di atas mejanya. Ia berencana memberikan ruang untuk kedua saudara itu melepaskan semua perasaan yang tertahan.

"Seungyoon-ah, bangunlah." Jiho mulai membangunkan Seungyoon dengan menggerakkan tubuh adiknya tapi tidak ada gerakan yang diharapkan.

"Yak! Choi Seungyoon! Bagaimana bisa seorang CEO tidur panjang, bisa rugi perusahaanmu, bodoh." Jiho menggoyangkan tubuh Seungyoon semakin keras dari sebelumnya. Mulai terlihat gerakan dari Seungyoon.

"Choi! Seungyoon! Bangun!" Jiho mengerahkan tenaganya untuk membangunkan Seungyoon dan usahanya berhasil. Seungyoon bangun dan menatapnya dengan mata yang setengah terbuka.

"Hyung?" ucapnya pelan seperti sedang bermimpi. Jiho diam dan memandangnya.

"HYUNG!!!" Suaranya meninggi, kesadarannya bercampur dengan keterkejutan melihat hyung yang beberapa jam lalu hanya dilewatinya sekarang berada di hadapannya.

"Hyung~" Nada suaranya berubah, tubuhnya yang tadi menegang terlihat mulai lemas. Seungyoon benar-benar melihat Jiho ada di hadapannya.

"Hei, kenapa kau malah menangis? Kau tahu mata media ada dimana-mana, apa kau mau membiarkan mereka menulis artikel, 'CEO grup Choi—"

"Hyung~" Seungyoon tak membiarkan Jiho menyelesaikan kalimatnya, ia langsung memeluk Jiho sambil terisak menangis.

Tiga menit. Lima menit. Sepuluh menit. Jiho dan Seungyoon tak melepas pelukan satu sama lain. Hanya isak tangis Seungyoon yang terdengar menggema di ruangan. Mereka saling melepas rindu juga melepas sesak dalam dada yang tertahan selama beberapa bulan terakhir.

"Berhentilah menangis. Ayo kita pulang, ayah dan ibu sudah menunggu." Jiho menepuk punggung Seungyoon sekali untuk membuat adiknya berhenti menangis.

Tanpa berpamitan langsung dengan Jinwoo, keduanya meninggalkan ruang praktek Jinwoo menuju parkiran. Jinwoo yang keluar dari ruangan lain melihat kedua kakak beradik itu sudah saling menjahili.

"Ck. Setelah menemukan hyung yang asli, hyung yang ini ditinggalkan."

Meski Jinwoo mengatakan itu, tidak ada raut wajah kesal atau marah terhadap Seungyoon. Ia justru menarik kedua ujung bibirnya sampai sebuah senyuman terukir di wajahnya.

*                   *                 *

Dong Mino sedang memeriksa dokumen hasil CT-SCAN beberapa pasien sore ini sampai tiba-tiba seorang dokter magang dengan napas tersengal masuk menemuinya.

"Profehhsorhh kehhnapa ponselmu haaaah tidak aktifhhgfgh?"

"Ada apa? Kenapa kau berlari— Jangan-jangan?!" Mino telah beranjak dari kursinya, ia bergegas keluar dari ruangannya, disusul oleh dokter magang tadi.

"Apa lagi kali ini?" tanya Mino dalam pelariannya.

"Cehhhhgukhhhan." Jawab dokter magang tadi.

"Cegukan?"

Larinya semakin kencang begitu mendengar penyebabnya.

Cegukan. Mungkin hal yang biasa dan tidak dihiraukan bagi kita yang memiliki kondisi yang baik. Mengobatinya bisa dengan minum air atau dikejutkan orang lain maka cegukan akan hilang, tapi cegukan berubah menjadi momok yang menakutkan bila yang mengalaminya seseorang yang memiliki ataxia.

"Sudah berapa lama cegukannya dimulai dari kau berlari?" tanya Mino dalam pelariannya menuju ruang rawat Aeri.

"Sejak aku lari? Mungkin sekitar… tiga menit." Jawab dokter magang itu sambil tetap berusaha menyamakan langkah dengan Mino.

"Kau membiarkan dokter Aeri cegukan selama itu? Aiish!" desisnya kesal.

"Maaf, prof. Aku terkejut melihat dokter Aeri tiba-tiba cegukan, aku ingat kata-kata anda tentang cegukan dan panik saat mencoba menghubungi anda tapi tak bisa, karena itulah aku berlari ke tempat anda berada."

Mino pernah memperingatkan semua dokter jaga yang bertugas di bangsal tempat Aeri dirawat, ia juga memperingatkan mengenai cegukan. Penderita Ataxia tidak bisa langsung diberi minum untuk mengatasi cegukannya karena hal itu bisa memicu syaraf motoriknya berhenti, juga tak bisa diberikan shock therapy dengan cara mengejutkannya karena bisa saja jantungnya berhenti memompa darah dan menyebabkan serangan jantung.

Mino sudah tiba di depan ruang rawat Aeri dan langsung menerobos masuk ke dalam kamar.

"Bukankah dengan menerobos begitu dia mengagetkannya?" celetuk dokter magang tadi.

"Heuk." Suara cegukan Aeri masih terdengar.

"Heuk."

"Heuk."

Mino segera membantu Aeri duduk, ia terlihat sangat menderita apalagi tangannya sudah tidak bisa digerakkan lagi. Mino ikut duduk di pinggir ranjang menghadap Aeri, ia memegang erat pundak Aeri, lebih tepatnya ia mencubit bahu Aeri.

"Tarik napasmu perlahan, Aeri-ah. Perlahan. Lihat aku. Keluarkan perlahan juga." Mino membimbing Aeri. Perlahan Aeri mengikuti ucapan Mino. Ia menarik napas secara perlahan dan menghembuskannya saat Mino memintanya.

Setelah cegukan Aeri hilang, Mino membaringkannya kembali. Ia meminta Aeri untuk beristirahat lalu keluar dari ruangannya diikuti dokter magang yang terlihat terkejut dengan yang terjadi barusan, matanya tak lepas dari Mino. Bagaimana bisa cegukannya hilang dengan cepat?

"Aku menekan kulit atas otot deltoid bagian pundaknya agar cegukannya berhenti." Jelas Mino singkat.

"Otot deltoid?" ulang dokter magang.

Mino melihat wajah dokter magang dan menghela napas, "Untuk merangsang syaraf frenikus yang terhambat karena bulir udara yang menyangkut pada syaraf itu, kau tidak hanya bisa menghilangkannya dengan minum air hangat atau mengagektkan orang yang sedang cegukan. Kau bisa melakukan itu untuk mengindari keracunan pada pasien gagal ginjal yang tidak diperbolehkan minum air putih atau untuk menghindari serangan jantung pada pasien kelainan jantung." Jelas Mino.

"Aaaa~ itu sebabnya banyak lansia yang menepuk pundaknya ketika cegukan… aku pikir itu hanya kebiasaan mereka saja." dokter magang itu meniru sikap lansia, ia menepuk pundaknya sambil mengangguk.

"Mereka menepuk karena mereka harus mencari kulit atas otot deltoid yang tepat. Jika kau sudah tahu titiknya, kau hanya perlu mencubitnya sekali."

"Kau juga harus mempelajarinya. Coba dengan rekanmu." Sambungnya yang ditanggapi dengan anggukan dari dokter magang.

Mino terus berjalan sementara dokter magang membungkuk melepas Mino. Tadinya ia berpikir untuk berada di samping Aeri tapi membiarkan Aeri beristirahat setelah apa yang dialaminya adalah satu-satunya pilihan yang bisa diambil Mino.

Malamnya, setelah semua pekerjaannya selesai. Mino kembali ke ruang perawatan Aeri. Ia melihat Aeri tengah memejamkan matanya, mungkin sedang tidur. Mino mendekat ke ranjang dan menyentuh tangan Aeri perlahan.

"Aeri-ah…" panggilnya lembut.

"Sayang… Kau tidak apa-apa?" Mino mengusap kepala Aeri perlahan.

"Jung Aeri." Mino mulai panik, ia bingung kenapa Aeri tak menjawab panggilannya. Mungkinkah Aeri sudah tak bisa bicara? Dalam hatinya, Mino tak henti mengucap kata tidak dan tidak boleh.

"Aeri, apa yang terjadi? Kumohon, bicaralah sebelum kau tidak bisa bicara!" Suara Mino meninggi.

"Tinggalkan aku, oppa."

Aeri akhirnya menjawab panggilannya, Mino menghela napas, merasa lega karena yang dibayangkannya tidak terjadi. Mino merapikan selimut Aeri, memeriksa mesin pelembab udara yang diletakkan di meja dekat ranjang.

"Geurae, istirahatlah. Aku akan kembali lagi nanti, malam ini aku akan tidur di sini." ucap Mino.

"Tinggalkan aku selamanya, sudah saatnya kau mengenal wanita lain selain aku. Ayo kita putus, oppa." Aeri mengucapkannya dengan tenang.

"A-apa yang kau bicarakan, sayang? Hari ini cukup melelahkan untukmu, istirahatlah." Mino kembali merapikan selimut Aeri yang sudah rapi, seolah ia ingin berpura-pura tak mendengarkannya.

"Aku tidak akan sembuh, oppa. Ataxia tidak bisa disembuhkan." Aeri memberi penekanan di kalimat terakhirnya bersama dengan suaranya yang bergetar.

"Jangan percaya apapun yang dikatakan orang-orang rumah sakit ini. Tidurlah, sayang." Mino menenangkan Aeri.

"Apa kau lupa aku ini seorang dokter? AKU DOKTER!" Aeri berteriak histeris. Tangisnya pecah dan Mino segera menarik Aeri masuk ke dalam pelukannya. Tangisan Aeri terdengar kasar.

"Aku tahu kondisiku seperti apa. Aku mohon, jangan membuatku semakin menyiksamu dengan mempertahankan hubungan kita. Aku lebih ingin melihatmu bahagia daripada menangis saat aku pergi." sambung Aeri.

Ucapan Aeri terdengar menyakitkan bagi Mino hingga pria itu menitikkan air mata kala memeluk Aeri. Mino menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis yang mungkin bisa tumpah.

"Tunggulah, sayang. Aku akan menemukan obat untukmu." Mino mulai mengusap kepala belakang Aeri, membuat wanita itu menangis kembali.

"Akan kutemukan obatmu." Lirih Mino.

Tuhan tidak segera memberi jalan bukan karena dia ingin kita menyerah, tapi untuk menguji seberapa kuat kita bertahan. Jika dirimu saja sudah menyerah, lalu bagaimana denganku? bagaimana dengan Tuhan, Aeri-ah. batin Mino.

*                    *             *

"Ibu…" Jiho menghampiri wanita yang dipanggilnya ibu.

"Oh, Jiho. Kau sudah pulang, nak?" Sohee –wanita yang dipanggil Jiho ibu- merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Jiho.

"Aku merindukanmu. Apa aku masih boleh memanggilmu ibu?" tanya Jiho dalam pelukannya.

"Anak nakal. Tentu saja kau harus tetap memanggilku ibu, aku hidup untuk memiliki dua putra." Sohee mengeratkan pelukannya pada Jiho dan mulai terisak.

Seungyoon tak ingin hanya melihatnya, ia menghampiri keduanya dan ikut memeluk keduanya, "Dan aku terlahir untuk memiliki ibu seperti ibu dan hyung seperti hyung."

Presdir Choi tersenyum melihat ketiganya. Setelah melepas pelukannya, Jiho melihat ke Seungyoon untuk pergi ke presdir Choi. Awalnya Seungyoon enggan karena ia merasa malu juga canggung tapi Jiho mengancam Seungyoon dari tatapannya dan akhirnya, Seungyoon pergi mendekat kembali ke presdir Choi.

"Ehem... Mianhabnida, Abeoji." Seungyoon salah tingkah karena kecanggungannya.

"Aku juga salah padamu. Mianhae, Seungyoon-ah." presdir Choi balik meminta maaf pada Seungyoon.

Permintaan maaf presdir Choi terdengar tulus, tanpa harus menjelaskan keduanya mengerti untuk apa permintaan maaf mereka. Seungyoon langsung memeluk presdir Choi.

"Pergilah ke kantor bersama hyungmu." Perintah presdir Choi setelah melepas pelukannya.

*                  *                  *

Sesuatu yang ingin kau luruskan tidak akan pernah lurus jika kau masih mencampurkan egomu di dalamnya. Singkirkan dulu egomu, lalu kau pasti akan melihat jalan untuk meluruskannya. – Choi Jiho.

Bersambung ........