Tahun 2041
Lee Jinwoo sudah bersiap-siap mengajak keempat sahabatnya untuk bermain baseball di taman kota yang begitu bersih dengan udaranya yang segar. Semangatnya membara karena akhirnya memiliki waktu bersama sahabatnya.
"Ayo kita mulai bermain." Seru Jinwoo yang kala itu memakai celana pendek putih, kacamata hitam dan sweater yang lumayan tebal karna hari ini cukup berangin, berjalan menghampiri Choi Seungyoon sambil mengenakan sarung tangan dan memegang bola baseball di tangan kanannya. Senyumnya yang riang seketika hilang saat menemukan hanya ada Seungyoon.
"Cuma kau yang datang?" Tanya Jinwoo. Seungyoon mengerucutkan bibirnya dengan tatapan mata yang kesal.
"Dong Mino?" Tanya Jinwoo ingin tahu alasannya.
"Sedang membaca buku medis yang berhubungan dengan bedah saraf." jawab Seungyoon.
Jinwoo menghela napas mendengar jawaban Seungyoon, "Kwon Taehyun?"
Jinwoo bertanya lagi karena masih penasaran dengan yang lain. Ekspresi wajah Seungyoon tak berubah, "Sedang membaca novel yang dia beli di bandara kemarin."
"Apa? Lalu, Kang Seunghoon?" Ia masih penasaran dengan sahabatnya yang terakhir, apa yang ia lakukan hingga tak muncul di hadapannya.
"Memeriksa dan menandatangani dokumen yang dia bawa dari Korea." jawab Seungyoon dengan alur bicara yang perlahan.
"Aigoo!" seru Jinwoo tercengang dan lagi-lagi dia menghela napasnya.
Jinwoo dan Seungyoon pun kembali masuk ke dalam villa mereka. Villa ini memang telah lama menjadi kediaman mereka jika mereka sedang berkunjung ke California. Selain udaranya yang sejuk, panorama danau yang terbentang luas di belakang villa ini mampu membius mereka berlama-lama untuk tinggal.
Jinwoo berjalan dengan langkah yang cukup luas, membuat Seungyoon kewalahan mengikutinya. Sesampainya di ruang utama dimana dua orang sedang tenggelam dalam bacaannya. Jinwoo langsung berjalan ke sofa panjang dan tanpa ragu tangan kirinya merampas buku yang dibaca Mino yang duduk di sebelah kiri dan tangan kanannya merampas novel yang dibaca Taehyun yang duduk di sebelah kanan. Lalu Jinwoo pun berdiri di depan perapian tepat di hadapan mereka berdua. Mino terkejut dengan yang terjadi barusan sementara Taehyun menatap Jinwoo dengan pandangan yang tajam.
"Hyung!" protes Mino.
"Berdiri. Ayo kita bermain baseball!" perintah Jinwoo menegaskan.
"Aku harus membacanya sampai selesai, ini ada hubungannya dengan Aeri, Hyung." Jelas Mino
"Sejak kapan sakit Aeri bisa disembuhkan dengan membedah kepalanya?" Tanya Jinwoo, Mino tak berkutik mendengar ucapan Jinwoo.
"Itu hanya alasanmu saja." Lanjut Jinwoo yang membuat Seungyoon terkikik dan tawa kecil Seungyoon berhasil menambah kekesalan Mino.
"Dan kau, Kwon Taehyun! Kenapa harus jauh-jauh ke California jika yang kau lakukan sama dengan yang kau lakukan di Seoul?" teriak Jinwoo.
"Aigoo, kenapa kalian berisik sekali. Suara kalian sampai terdengar ke ruanganku?" Seunghoon masuk ke ruangan dimana Jinwoo sedang mengomel dengan membawa beberapa lembar kertas. Jinwoo mengisyaratkan Seungyoon untuk merampas kertas-kertas itu. Seungyoon yang mengerti pun melakukannya, ia merampas kertas yang dibawa Seunghoon dan segera berlari ke belakang tubuh Jinwoo untuk bersembunyi.
"Hei! Choi Seungyoon, kembalikan! itu dokumen penting." teriak Seunghoon yang panik.
"Kenapa tidak kau bawa saja sekalian sekretaris dan gedung kantormu ke sini, Kang Seunghoon?" balas teriak Jinwoo.
"Aku mengajak kalian ke sini karena di sana kalian terlalu fokus pada apa yang kalian lakukan. Setidaknya cobalah untuk menenangkan diri selama berada jauh dari Korea. Kalian bisa gila jika terus menerus seperti ini." lanjut Jinwoo.
"Bukankah itu pekerjaanmu untuk menyembuhkan kami?" celetuk Taehyun. Kali ini Seunghoon yang tertawa geli mendengar celetukan Taehyun.
"KWON TAEHYUN!!" Teriak Jinwoo ketiga temannya pun diam.
"Aku tanya sekali lagi. Kalian akan pergi berolahraga dengan kami atau tidak?" tanya Jinwoo dengan nada yang tegas.
"Hyung, aku benar-benar harus mempelajari buku itu." rengek Mino.
"Kembalikan dokumennya, hyung. Aku harus mengirimnya malam ini juga." Pinta Seunghoon.
"Aku bisa beli novel baru lagi nanti." Ucap Taehyun santai, membuat keempat sahabatnya menghela napas bersamaan.
"Hyung, mereka tidak akan menurut. Mereka hanya menurut pada buku ini. Kiss Note." Bisik Seungyoon menunjukkan sebuah buku bersampul merah muda menyala ke Jinwoo.
Seketika Seunghoon menarik napas panjang melihat buku yang ditunjukkan Seungyoon, Mino tidak percaya dengan yang dilihatnya sekarang, dan Taehyun yang tadinya memejamkan mata sambil melipat tangan di dada sembari menyandarkan bahunya pada sofa, kini ikut menarik nafasnya lalu menegang.
"KAU! CHOI SEUNGYOON! JANGAN BERANI COBA-COBA MEMBUATKU—" teriak Mino menunjuk-nunjuk Seungyoon. Teriakannya berhenti kala ada suara pena yang bergesekan dengan kertas, karena Seungyoon menuliskan sesuatu pada Kiss Note itu.
"Aku… Ingin… Mereka bertiga… Ikut… bersamaku dan Jinwoo hyung…. Berolahraga… Di pagi ini." ucap Seungyoon sambil menulis di buku yang ia sebut Kiss Note itu.
"Emosi." Ucap mino yang meneruskan kata-katanya yang terpotong tadi sambil menggertakkan gigi kali ini.
"CHOI SEUNGYOOON!" Teriakan mereka bertiga bersama-sama.
"Hehe, sorry." Ucap Seungyoon singkat sambil cengengesan di balik tubuh Jinwoo yang tinggi.
Terlahir sebagai pewaris tahta membuat mereka tidak mampu menjadi diri mereka sendiri. Sikap dan sifat alami mereka terhimpit hanya dengan sebuah kalimat saja, 'Aku seorang pewaris tahta'.
Namun kedatangan Kiss Note di kehidupan kelima pemuda itu mampu membuat mereka berontak melakukan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak bisa menolak apapun yang ditulis di Kiss Note. Jika mereka melanggar, mereka akan mendapat kesialan yang beruntun, atau kesialan besar yang tak terkendali.
Mereka menemukan Kiss Note itu di sebuah taman kota, di atas kursi taman. tujuh tahun yang lalu, Kiss Note itu tak sengaja tertinggal oleh para ayah mereka. Ya, Kiss Note yang mereka pegang sekarang pernah menjadi saksi hidup kisah ayah-ayah mereka, 2014 lalu.
Kiss Note adalah sebuah buku catatan yang mempunyai kekuatan magis tak terkendali, bahkan jika buku ini dianggap enteng, bisa mengambil nyawa seseorang. Namun, jika semua yang ditulis di Kiss Note sanggup dilakukan oleh orang yang ditantang, maka orang itu akan mendapatkan keberuntungan yang berlimpah. Kekuatan magisnya tidak pernah meleset, selalu tertuju pada orang yang ia tentukan. Mereka bahkan bisa berkomunikasi dengan Kiss Note. Mereka bisa bertanya tentang apapun pada Kiss Note dan jawabannya selalu akurat 99,99% benar. Tetapi, Kiss Note tidak bisa menjawab pertanyaan satu detik di masa depan. Kiss Note hanya mampu membedakan, benar atau salah, iya atau tidak. Tentu saja Kiss Note tidak bisa bicara. Tetapi dalam lembaran, Kiss Note mampu menulis sendiri jawaban yang dipertanyakan.
Awalnya mereka tidak percaya dengan apa yang harus mereka yakini akan kekuatan magis Kiss note ini, karena sudah berganti menjadi era termutakhir, 2034. Tetapi, Semua memang terbukti.
Lee Jinwoo pernah bernasib sial karena tidak melaksanakan tulisan Mino di Kiss Note itu, Dimana Mino menulis,
"Berkencanlah dengan satu wanita saja."
Lalu apa yang terjadi?
Orang tua Jinwoo ribut besar dan hampir saja bercerai saat itu. Jinwoo memang tidak menganggap itu sebuah pengaruh dari sebuah buku, tetapi itu hanyalah masalah waktu kapan rahasia itu akan terbongkar.
Lalu, Choi Seungyoon. Akibat dari dia tidak mau melaksanakan tantangan Taehyun, Seungyoon mendapat sebuah berita besar yang sampai sekarang masih menjadi beban hidupnya.
"Mino-ya. Lempar bolanya!" Pinta Jinwoo.
"Kalian benar-benar menjengkelkan. Huh!" dengus Mino.
"Ey, Jangan terlalu sensitif begitu. Lempar bolanya padaku saja!" Sahut Seunghoon yang siap dengan gayanya menangkap bola.
"Mereka benar. Kita tidak akan bisa melakukan ini jika berada di Seoul. Kau dan Jinwoo sibuk menghadapi orang sakit, aku dan Taehyun sibuk dengan urusan perusahaan, sementara Seungyoon sibuk dengan kegiatan keartisannya. Kau yang dokter masa kau tidak mengerti betapa mahalnya kesehatan?" Ujar seunghoon panjang lebar sambil menghampiri Mino lalu merampas bola di tangannya. Mino jadi mentertawakan dirinya sendiri.
"Biar aku yang lempar kau yang tangkap." Seunghoon tersenyum, ia melepaskan dan memberikan sarung tangannya.
"Aku akan mentraktirmu makan jika kau bisa menangkap bolanya." Ucap Seunghoon lagi sambil melangkah mundur.
"Kau harus memegang ucapanmu, Seunghoon. Mereka saksinya." jawab Mino menunjuk ketiga sahabatnya yang lain.
"Aku mengerti." Jawab Seunghoon bersama tawa yang terdengar renyah. Jinwoo dan Seungyoon yang melihat tingkah Seunghoon dan Mino menahan senyum mereka. Pemandangan yang tidak mereka dapatkan di Seoul.
Mino dan Seunghoon telah mengambil jarak dan bersiap untuk memulai permainan. Seunghoon memulai permainan dengan melempar bola yang ada padanya. Mino menyamakan posisi agar bisa menangkap bola yang telah dilemparkan Seunghoon menggunakan sarung baseball yang membungkus tangan kirinya. Namun, Mino tak berhasil menangkapnya bahkan langkahnya untuk menyamakan posisi dengan bola malah menyebabkannya terjatuh. Ketiga orang yang tak terlibat permainan menatapnya khawatir.
"Kau baik-baik saja, Mino?" tanya Jinwoo. Mino membetulkan posisi jatuhnya dan menghela napas.
"Dasar bodoh!" sinis Taehyun membuat yang lain terdiam, kemudian gelak tawa pun pecah diantara mereka termasuk dari orang yang disebut bodoh oleh Taehyun.
Tawa renyah seperti ini sangat jarang menggaung di Seoul. Ketegangan di ruang operasi, ketegangan di ruang rapat dan ketegangan saat berada diantara ayah-ayah mereka, mendominasi kehidupan mereka saat ini. Hanya Lee Jinwoo yang memahami tekanan itu dan membantu keempat sahabatnya tanpa diminta langsung, seolah itu menjadi tanggung jawabnya.
Setiap hari, waktu demi waktu selalu mereka hargai untuk hari seperti ini. Jika saja. Jika saja Lee Jinwoo bukan bagian dari mereka, seperti yang dikatakannya. Mereka bisa saja gila jika terus-menerus menjalani hidup yang penuh tekanan.
* * *
-Jinwoo-
Senang rasanya melihat mereka tertawa bersama seperti ini. Mereka begitu berarti untukku. Mereka mengajarkan banyak hal, meski mereka jauh lebih muda dariku.
Mino. Dia selalu mengajarkanku bagaimana pentingnya melatih kesabaran, seperti dirinya yang terlatih sabar menghadapi sakit yang diderita kekasihnya.
Seunghoon. Dia mengajarkanku betapa sulitnya meraih mimpi jika kau hanya berdiam diri saja. Kegigihannya mengajarkanku apa yang harus kau lakukan jika ingin mimpimu menjadi nyata.
Taehyun, meski dia yang paling muda tapi dialah satu-satunya yang bisa mengajarkanku berkata sejujur mungkin. Mungkin ia terdengar kasar dari nada bicara dan pemilihan kata yang dipakai untuk mengungkapkan pikirannya tapi justru terdengar paling murni.
Dan Seungyoon. Kesederhanaannya mampu membuka mataku bahwa di dunia ini ada banyak hal yang tidak mampu dibeli menggunakan kekuasaan, sebanyak hal yang dengan mudah dibeli jika memiliki kekuasaan. Bocah kesayanganku ini bahkan menuntunku untuk menjadi seorang psikiater seperti sekarang.
Karena hal itulah, aku menganggap mereka sangat berharga. Jika dipikir-pikir, meski aku adalah yang paling tua diantara mereka tapi mereka menjagaku lebih banyak daripada aku menjaga mereka. Memikirkan itu kadang membuatku tertawa dalam hati. Ini lucu kan?
Hal lucu lainnya adalah ketidak-mengertianku pada sikap para ayah yang bersikeras melarang kami untuk bersahabat padahal mereka bersahabat jauh sebelum kami dilahirkan.
Aku, Lee Jinwoo. Aku yang paling tua tetapi ayahku adalah yang termuda diantara sahabatnya. Ayahku adalah Lee Seungri dan ibuku, Park Minyoung. Apakah kalian akan merasa heran bahwa aku lahir lebih dulu meskipun ayah Seungyoon dan ayah Seunghoon menikah lebih dulu?
Semua akan jelas jika kalian tahu perilaku ayahku, presdir Lee saat muda dulu. Dia adalah seorang playboy, ia bahkan mampu mengencani lebih dari dua wanita dalam satu waktu. Ibuku adalah salah satu dari sekian banyak wanita yang dikencaninya, ia bahkan mengandung aku sebelum mereka resmi menikah. Jadi, tidak heran jika aku lahir lebih dulu dari mereka.
Beberapa orang berkata aku orang yang tidak bisa marah. Mustahil, aku juga sama seperti mereka. Aku manusia, aku juga bisa marah. Hanya saja, sebelum aku melampiaskan kemarahanku ada tiga hal yang menjadi dasar pertimbanganku.
Pertama. Untuk apa aku marah?
Kedua. Setelah marah, apa yang kudapatkan?
Ketiga. Apa akan selesai jika melampiaskan kemarahanku?
Jika tidak ada hal berguna yang kudapat setelah melampiaskan amarahku, lalu untuk apa aku marah?
Semua masalah bisa diselesaikan dengan kepala dingin, jangan panik dan jangan terburu-buru. Begitulah caraku mengendalikan diriku.
Senyum?
Aku senang sekali tersenyum. Tersenyum bukan hanya mampu membuat seseorang merasa nyaman tapi senyum juga mampu membuat seseorang menggigil ketakutan. Akan kuambil sebuah contoh senyum yang mampu membuat orang takut, sebuah senyum dari seorang psikopat. Kita tidak bisa benar-benar menebak arti dari senyuman seorang psikopat, karena apapun yang kita pikirkan hampir tidak pernah mendekati jalan pikirannya yang cerdik dan tak biasa.
Alasanku memilih psikiater sebagai pekerjaanku adalah karena aku ingin memahami kebencian Seungyoon terhadap ayahnya dan hubungan kebencian itu dengan ayahku. Juga karena aku ingin mengerti maksud ucapan ibuku, "Dengan memaafkan semua kesalahannya, bukan hanya membuat diri menjadi lebih baik tetapi juga sekaligus menghukumnya dengan perasaan bersalah dan malu seumur hidupnya, Jinwoo-ah."
Dulu, aku tidak mengerti kenapa ibu berkata seperti itu atas apa yang telah dilakukan ayahku. Sekarang setelah mempelajari semuanya aku mengerti. Ibuku benar, menghukum seseorang yang bersalah tidak selalu menggunakan kekerasan. Jika si pelaku berhasil memahami itu, dia akan menjadi lebih baik setiap harinya, dan aku bangga ayahku menjadi salah satu yang memahami itu.
Sekarang hanya tinggal rasa bersalahku pada Seungyoon yang masih membenci ayahnya sampai saat ini. Anak itu memang keras kepala, dia tidak pernah mau mendengar pendapat orang lain. Aku menyayanginya lebih dari yang lain karena dirinya penuh dengan misteri. IQ-nya yang tinggi disembunyikan dengan tingkahnya yang bodoh, dan aku masih penasaran dengan jawaban yang dia berikan saat aku bertanya, "kau cukup jenius untuk meneruskan perusahaan ayahmu, lalu kenapa kau malah terjun kedunia hiburan seperti ini?"
"Pasti akan tiba waktunya saat semua tanggung jawab perusahaan dilimpahkan padaku, hyung."
Aku benar-benar tidak mampu menebak yang ada dikepalanya. Jika Seungyoon seorang psikopat, dia tidak akan mudah tertangkap dan disembuhkan. Hanya aku yang tahu, IQ-nya berada di atas Kwon Taehyun.
* * *
-Seungyoon-
Setelah tiba di bandara Incheon pun tingkah kami tak berubah, masih seperti ABG yang bercanda dengan fisik –memukul dan mendorong- dan menertawakan tingkah konyol yang dilakukan satu sama lain. Kami benar-benar menjadi diri kami saat bersama. Namun, saat kami menemukan orang dari para ayah berdiri menunggu kedatangan kami seperti robot, semua perasaan gembira kami menghilang berganti pribadi yang dingin dan arogan seperti yang ditanamkan mereka sejak kami masih kecil.
Hidup seperti ini sangat melelahkan. Sangat. Kehidupan dimana kami tak diizinkan menunjukkan keinginan kami, bahkan kami tidak diperbolehkan saling menghubungi apalagi bersahabat oleh kelima ajeossi manja –sebutan kami untuk mereka- tanpa memberikan alasan yang jelas. Mereka membesarkan kami layaknya membesarkan putra mahkota dengan segala aturan yang membatasi langkah kaki kami.
Sampai suatu hari seorang wanita mampu membuat Mino-hyung memilih jalan yang sangat jauh berbeda dengan ayahnya. Dong Mino memutar kemudi hidupnya dengan menjadi seorang ahli bedah saraf dan beberapa spesialis lainnya karena Jung Aeri –wanita yang membuat Mino-hyung mengubah kehidupannya-, hebat bukan?
Jinwoo-hyung juga memutar kemudi hidupnya, ia mempelajari ilmu kejiwaan dan menjadi seorang psikiater, bahkan ia memimpin sebuah rumah sakit yang sengaja dibangun ayahnya di usia muda dan tanpa pengalaman banyak karena ia memimpin rumah sakit itu setahun setelah ia menyelesaikan pendidikan spesialisnya. Tentu saja rumah sakit itu dibuat hanya agar Jinwoo-hyung tetap berada dalam pengawasan ayahnya, dan agar Jinwoo-hyung tak memberi keuntungan bagi rumah sakit lain.
Lalu aku? Aku tak jauh berbeda dengan kedua sahabatku, sekarang aku adalah seorang bintang rock. Aku melakukannya –bernyanyi dan membuat lagu- untuk menyalurkan hobiku saja dan bentuk pemberontakan kepada ayahku. Benar, sebuah pemberontakan karena sebenarnya mimpiku adalah menjadikan BWC (Bigbang World Corporation) sebagai perusahaan berskala internasional. Namun saat ini, aku menahan mimpiku karena rasa kesal setengah mati untuk suatu hal yang dilakukan oleh ayahku.
Ayahku menjadi penyebab utama aku menahan diri untuk mewujudkan mimpiku. Meski terkadang dadaku terasa sesak karena ini tapi aku melakukannya untuk menghukumnya. Sebuah hukuman karena melakukan hal fatal yang sulit kumaafkan, sebuah hukuman dengan menjadikan diriku pribadi yang bertolak belakang dengan harapannya bahkan ia tak pernah membayangkan aku menjadi seperti sekarang.
Satu-satunya yang bisa membuatku kembali adalah perkataan jujur dari ayahku, sayangnya meski enam tahun telah berlalu, aku tak mendapatkan itu darinya. Seolah dia sengaja melakukan itu untuk melihat selama apa aku bertahan, padahal ia tahu dengan pasti ia tak bisa selalu tepat membaca pikiranku. Tidak heran Taehyun menyebut mereka ajeossi-ajeossi manja.
"Kau sudah sampai? Bagaimana liburannya?" ibu bertanya saat melihatku masuk ke ruang utama, ia bahkan merentangkan kedua tangannya bersiap memelukku.
"Kami tidak dalam kondisi yang tepat untuk disebut 'berlibur', hanya menyediakan waktu untuk merencanakan hal-hal yang akan membuat para orang tua semakin kewalahan." Jawabku dingin sambil terus berjalan melewatinya dan kedua tangan yang merentang untuk memelukku.
"Choi Seungyoon!"
Suara berat yang memanggil namaku berhasil menghentikan langkahku. Aku sangat hafal pemiliknya, aku sudah mendengar suara itu seumur hidup.
"Kau juga bersikap dingin pada ibumu?" tanyanya.
Pertanyaannya membuatku membalikkan tubuh dan menatapnya, "Apa kalian lupa, kalian yang membesarkanku menjadi pribadi yang dingin. Kenapa kalian protes? Aku hanya menunjukkan seberapa berhasil didikan kalian padaku."
"Choi Seungyoon! Kata-katamu—"
"Ah, hyung!" sosok yang kukenal muncul di waktu yang tepat. Kulangkahkan kakiku menghampirinya, melewati ayah dan ibu. Tak peduli dengan mereka, aku menarik hyung berjalan meninggalkan ruang utama.
"Kenapa kau tidak ikut? Ah, di sana benar-benar menyenangkan. Kau tahu kan, berburu menjadi agenda yang tak mungkin kami lewati. Kami mencoba hutan baru, perjalanannya memakan waktu seharian. Kita harus ke sana lain kali. Oh! Kwon Taehyun berhasil menembak rusa, rusa incaran Seunghoon-hyung. aku bisa melihat dengan jelas kekesalan Seunghoon-hyung. Hahaha."
Pengalihanku tampak berhasil, Cho Jiho –hyungku- melupakan lanjutan kalimatnya tadi.
"Kau tahu apa yang dikatakan Taehyun setelah berhasil menembak rusa itu?" lanjutku.
"Apa?" tanyanya penasaran.
"'Kau terlalu lamban, hyung. Rusa itu akan menghilang tepat saat kau mengarahkan tembakanmu.'" Aku yakin aku berhasil meniru cara Taehyun bicara lengkap dengan mimic wajahnya karena hyung tertawa lepas mendengar ceritaku.
Jiho-hyung adalah satu-satunya yang orang yang kuhargai keberadaan dan pendapatnya karena hanya dia yang bersikap jujur padaku. Dia juga satu-satunya orang yang menganggapku manusia biasa di rumah ini, memperlakukanku seperti seharusnya sampai sebuah bencana datang. Nanti.
Aku Choi Seungyoon. Putra kedua Choi group yang dipimpin Choi Jiho, hyungku. Orang tuaku adalah Choi Seunghyun dan Jang Sohee, orang tua yang sangat pintar menyembunyikan kebenaran. Orang-orang bilang bahwa aku terlahir dengan sendok emas tapi mereka salah, aku terlahir dengan sendok kayu yang lapuk berlapis emas. Meski memiliki segalanya karena orang tuaku tapi tidak satupun yang bisa kunikmati dengan baik.
* * *
-Mino-
Aku menjatuhkan tubuhku di atas ranjang, tubuhku merasa lelah padahal hanya bermain dengan keempat anak arogan itu saja. Menatap langit-langit kamar membuat ingatanku kembali ke saat pertama kami menemukan buku berwarna pink yang membawa banyak perubahan dalam hidup kami.
Tujuh tahun yang lalu.
Saat itu musim semi, kelima pemuda berseragam sekolah berkumpul di taman yang dekat dengan gedung tua tak terpakai. Kelima pemuda itu memakai seragam yang berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka duduk mengelilingi sebuah batu panjang yang lebih terlihat seperti meja dimana di atas batu itu tergeletak buku catatan bersampul merah muda.
"Sebenarnya buku apa ini? Tidak ada goresan pena atau pensil tapi aku bisa merasakan buku ini menyimpan banyak cerita." Kang Seunghoon –terlihat dari name tag pada seragam sekolah- membuka buku catatan itu sambil membolak-balikkan lembar kertas buku itu.
"Entahlah. Buku ini mengeluarkan cahaya bahkan cahayanya semakin terang setelah kita memegangnya satu persatu, kan?" Pemuda tampan dengan nama Lee Jinwoo –name tag di seragam sekolah- terlihat sama bingungnya dengan Seunghoon.
"Mungkin itu hanya buku diary biasa, tapi siapa yang masih menulis diary di zaman seperti ini saat perangkat pintar bisa menuliskan semua sendiri persis sama dengan yang kita ucapkan dan menyimpannya?" Dong Mino meledek orang yang dia sendiri tidak tahu siapa karena buku catatan bersampul merah muda.
"Bahkan saat kita mengembalikan buku itu ke tempat kita menemukanya, keesokannya buku itu akan ada di salah satu dari kita. Ini aneh! Haruskah kita tanyakan pada ayah-ayah kita?" Choi Seungyoon, pemuda dengan wajah seperti anak anjing menggemaskan itu tak kalah bingung.
"Taehyun, bagaimana menurutmu?" Tanya Jinwoo.
Satu-satunya orang yang duduk cukup jauh dari buku itu menghela napas, ia sama bingungnya tapi tak tahu harus berbuat apa. "Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak ingin terlibat dengan ini dan para ayah."
Menyekolahkan kelima pemuda itu di tempat yang berbeda tak mewujudkan apa yang para ayah mereka harapkan. Persahabatan mereka tetap terjalin tanpa campur tangan siapapun seolah hubungan mereka telah ditakdirkan jauh sebelum mereka lahir.
Sudut bibirku tertarik ke atas, aku tersenyum mengingat awal pertemuan kami dengan Kiss Note. Sampai saat ini tidak ada yang tahu tentang keberadaan Kiss Note selain kami berlima. Kiss Note menjadi rahasia kami berlima.
Aku, Dong Mino. Anak pertama pasangan Dong Youngbae dan Kwon Ailee. Tidak banyak yang bisa kuceritakan karena memang tidak ada yang menarik. Hanya beberapa perdebatan antara ayah dan anak karena pandangan yang tak sama, dan seorang wanita cantik yang memenuhi kepalaku yang ingin kujaga setiap waktu.
Demi untuk bisa mendapatkan waktu lebih lama dengannya, aku melanjutkan beberapa sekolah kedokteran spesialis dalam satu waktu. Spesialis bedah toraks dan kardiovaskular, spesialis jantung dan pembuluh darah, spesialis bedah orthopaedi dan traumatologi, spesialis saraf. Semua kulakukan hanya untuk menemukan cara penyembuhan bagi wanitaku, Jung Aeri. Saat ini, aku tengah mengumpulkan kasus-kasus yang berhubungan dengan bedah saraf. Setelah mengetahui sumber masalahnya ada di otak kecil, semangatku menggebu dengan harapan semua usahaku membuahkan hasil yang sangat baik. Aeri memiliki kesempatan hidup yang lama tanpa mengkhawatirkan apapun dan aku memiliki kesempatan untuk terus melihatnya tersenyum sepanjang hidupku. Aku benar-benar takut bila suatu hari takdir berkata lain.
"Bertahanlah, sayang. Aku akan menyembuhkanmu."
Sebelum akhirnya aku memejamkan mata, kuhela napas panjang berharap semua bebanku terbawa jauh dariku.
* * *
Ketiga pria itu memiliki beban yang berbeda, tidak seperti dua lainnya yang hanya memiliki satu fokus, menjadi raja di dunia bisnis. Dua pria yang fokus dengan perusahaannya adalah mereka yang tidak peduli dengan keadaan di sekitar –kecuali yang terjadi dengan sahabatnya-
Kwon Taehyun, membuat dirinya bekerja sangat keras karena dia ingin dan melakukannya untuk sang ibu.
Dan Kang Seunghoon. Ia memaksa dirinya bekerja sangat keras untuk melindungi sesuatu. Tidak ada yang tahu apa atau siapa yang dilindungnya.
Lalu, apa yang menjadi alasan Kwon Taehyun begitu peduli dengan ibunya?
Bersambung .....