Kin duduk bersama sekelompok orang, membahas bisnis gabungan yang baru akan di jalankan.
"Pak, bu Dira mana? Saya pikir beliau bersama anda, kami di sini membutuhkan ide briliannya," salah satu kolega Kin bertanya.
"Dira sedang kurang sehat, kemarin terjadi kecelakaan jadi harus istirahat di kamar," jawab Kin terlihat sedih.
"Mohon ma'af pak, semoga lekas sembuh," kolega bisnis Kin tersenyum kepada Kin, jadi merasa tidak enak.
Pembicaraan bisnis berlangsung cukup lama sampai makan siang, tapi Kin tidak ikut makan siang. Kin memilih kembali kekamar Kin.
Kin melihat Dira tiduran di sofa dan terlihat baik - baik saja, hatinya merasa lega.
"Sudah makan siang?" tanya Kin sambil membelai rambut Dira, Dira menggeleng.
"Kita makan bareng! Mau di luar apa di sini saja?" Kin bertanya lagi, Dira terdiam sejenak, memikirkan kejadian kemarin membuatnya bergidik ngeri.
"Aku takut ketemu macan ngamuk lagi," celetuk Dira, Kin bengong sejenak mencerna kata - kata Dira dan berakhir tertawa karena mengerti maksud perkataan Dira.
"Masih bisa bercanda?" Kin meledek, Dira mencubit pinggang Kin dan berakhir memeluk tubuh Kin.
"Aku ganti baju dulu, kita jalan!" Kin bangun dan berganti baju, mengenakan celana panjang dan kaos pas badan, sedangkan Dira memakai Dress tanpa lengan yang warnanya sama dengan kaos Kin.
Keduanya keluar dan makan di salah satu tempat makan seafood.
Dira tertawa melihat kin kebingungan mau makan apa, akhirnya yang Kin pesan adalah mie goreng.
"Kenpa enggak ke Cafe cake aja, atau ke rumah steak Kin?" Dira merasa kasihan kepada Kin yang bergidik melihat olahan seafood.
"Bukannya kamu suka?" tanya Kin menatap Dira.
"Aku mulai suka apa yang kamu makan," jawab Dira, lalu memesan apa yang Kin pesan. Setelah itu mengajak Kin ketempat yang lebih sepi, keduanya makan dengan lahap dan terakhir jalan- jalan sampai senja.
"Aku sangat beruntung memiliki kamu Dira," Kin memeluk Dira dari belakang, mencium aroma tubuh Dira yang Kin sangat sukai.
"Tapi aku bukanlah yang terbaik untukmu Kin, kamu sempurna, tidak ada yang cacat darimu, semua ada dalam dirimu," Dira memeluk tangan Kin yang melingkar di pinggangnya.
"Tapi dimataku kamu sempurna, kamu segalanya bagiku, kamu hidupku Dira," Kin semakin mempererat pelukannya.
"Kalian kakak adik kenapa seperti ini?" entah sejak kapan Rey sudah berada didekat Kin dan dia tersenyum sinis.
"Kami tidak peduli apapun, kami saling mencintai," jawab Kin tegas.
"Dia telah berkorban banyak untukku jadi, dia lebih mencintaiku," Rey tersenyum memprovokasi Kin.
"Itu semata- mata demi kemanusiaan," jawab Kin mencoba tenang,
"Tidak ada seorang istri yang mau mengorbankan dirinya sendiri untuk suaminya kalau dia tidak mencintainya," ucap Rey sangat percaya diri, Rey sangat bahagia ketika mendengar kebenaran itu dari Lina adiknya.
"Itu dulu Rey, sejak kamu menamparku untuk pertama kalinya aku sudah mulai mengerti jika di hatimu sudah tidak lagi ada aku, dan kata- kata mengerikan yang keluar dari mulutmu membuatku sadar, kalau aku sudah tidak berharga lagi di hatimu. Andai aku egois waktu itu, aku akan memanfaatkan semuanya. Lepas darimu aku akan memanfaatkan Ezza seperti yang di katakan ibumu itu, tapi aku hanya ingin cinta bukan belas kasihan, dan sejauh ini hanya Kin yang tulus mencintaiku. Untuk uang yang 2 M itu, aku sudah mengembalikannya kepada mama Maya jadi, aku tidak lagi berhutang kepadanya,"
Dira berbicara dengan suara pelan, terdengar penuh dengan rasa sakit, dan Rey sangat merasakannya, mendengar itu Rey seakan menjadi orang yang paling terjahat sedunia mengabaikan orang sebaik Anindira.
Anindira yang sama seperti waktu dirinya pertama mengenalnya, Anindira yang tulus selalu membantu tanpa pamrih, Anindira yang selalu memberi motivasi untuknya dan Anindira yang mencintainya tulus tanpa melihat materi.
"Dira, ma'af untuk semuanya! Aku memang pria tolol yang mengabaikanmu dan menyakitimu berulang kali, ku mohon kembali! Aku akan meninggalkan Mala, karena jujur aku masih mencintaimu," tanpa rasa malu di depan Kin dan Dira, Rey memohon. Tangan Kin sudah mengepal menahan marah, namun Dira masih memeluk tangannya dengan erat.
"Aku sudah melupakannya, dan ma'af rasaku sudah tak lagi sama, hanya Kin dan tidak akan berubah," Dira menyandarkan tubuhnya di tubuh kekar Kin.
"Tapi, setatusmu? Dan Kin telah menikah," Rey menatap Dira minta penjelasan.
"Aku dan Kin tidak peduli status, soal Kin telah menikah, hanya kami yang tahu situasinya, rasaku tidak akan berubah padanya," jawab Dira tegas. Senyum mengembang dari bibir Kin, tapi tidak untuk Rey, wajahnya berubah datar.
"Baiklah, tapi kamu ingat Dira! Suatu saat aku akan membawamu kembali kepelukanku," setelah mengucapkan itu, Rey pergi meninggalkan Kin dan Dira.
Kin membalikkan tubuh Dira dan mencium bibir Dira dengan lembut, Dira tidak menolaknya membalas ciuman Kin dan mengalungkan tangannya di leher Kin, keduanya saling berpagut cukup lama sampai keduanya berhenti karena hasrat mereka mulai tidak terkendali.
"Terimakasih telah mempertahankanku," Kin tersenyum bangga menatap Dira.
"Karena kamu memang pantas untuk di pertahankan, aku mencintaimu Kin, kamu separuh nafasku," ucap Dira berkata sejujurnya.
Keduanya kembali ke Hotel dengan perasahan bahagia. Apalagi Kin, Kin yang semula ragu dengan cinta Dira, sekarang yakin seratus persen kalau cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, Dira selama ini selalu memperlakukannya yang terbaik itu semua karena cinta.
"Kepalamu masih sakit beb?" tanya Kin, Kin mengusap kepala Dira,
"Tidak apa- apa, tadi kata Dokter baik- baik saja, karena aku tidak mengalami pusing berlebihan dan mual atau muntah," jawaban Dira membuat Kin sedikit lega.
Sementara Lena sedang bersembunyi di suatu tempat, karena berita Lena mencuat di beberapa media, tentang kebersamaannya dengan beberapa pria berbeda telah menyebar, dengan berita itu sudah di pastikan namanya akan hancur dan lebih sialnya lagi kontrak dengan Kin otomatis gugur Lena tidak akan mendapatkan apapun dari Kin.
"Bodoh... Kenapa aku seceroboh ini?" Lena memaki dirinya sendiri, dan memikirkan uang yang di janjikan Kin membuat kepalanya sakit. Lena berakhir mabuk dan menikmati malam bersama laki- laki sewaannya.
❣
"Kin kenapa aku harus memakai pakaian terbuka seperti ini? Seingatku kamu tidak menyukainya?" Dira bertanya dengan menatap heran ke arah Kin yang sedang merapikan setelan jasnya yang warnanya sama dengan Dress yang sedang di pakai Dira.
"Perancang baju sialan, dia mengirimkan baju kurang bahan semua, yang kamu kenakan itu sudah lebih baik dibandingkan yang lainnya." Kin menatap Dress yang di kenakan Dira dengan tidak rela, bagaimana tidak tubuh indah Dira terekspos dan pastinya mengundang tatapan pria lain.
"Kamu harus berada di dekatku terus, tidak boleh jauh- jauh!" Kin mengingatkan Dira sebelum keluar dari kamar Hotel, Dira hanya mengangguk.
Keduanya masuk kedalam ruangan pesta, acara bisnis telah selesai, ini acara penutupnya.
Benar saja, pandangan mata tertuju pada Kin dan Dira, untung saja Dira sudah terbiasa menerima tatapan seperti itu, hingga wajahnya terlihat santai.
Kin berjabat tangan dengan beberapa kolega bisnisnya begitupun dengan Dira,
"Bu Dira selamat malam, senang sekali bisa bertatap muka dengan anda malam ini," Dira hanya tersenyum dan menerima uluran tangannya dan saling berjabat tangan.
"Kalau ibu berminat lain kali saya berkunjung ke kantor ibu untuk menawarkan kontrak kerjasama, bagaimana?" mendengar itu Kin terbelalak, perusahaan besar mau bekerja sama dengan perusahaan Dira yang tergolong baru.
"Giandra," Giandra tersenyum manis menatap Dira, Dira mengangguk.
"Anda sudah tau namaku bukan, Kita atur waktunya," jawab Dira sopan.
Dira dan Kin mengambil minum yang di berikan pelayan yang lalu lalang melayani tamu pesta.
"Wanitaku sangat terkenal rupanya," Kin membuka suaranya dengan nada menyindir. Dira menatap Kin sekilas sambil menggoyang- goyangkan minumannya,
"Aku juga tidak tahu, karena baru bertemu dengannya hari ini," jawab Dira.
Dira melihat wajah Kin cemberut, membuat Dira gemas.