Sang pengingkar dan sang relawan
"Bagaimana diriku pada saat itu? Hancur. Kamu berniat baik. Tapi hati tetap berkata sakit. Diri mencoba menetralisir rasa. Semoga saja menerima"
*-*-*-*
Ya, usahaku membuahkan hasil. Dan buah itu membuah buah. Sangat banyak, sampai aku tak bisa mengutarakan bagaimana perasaan ini.
Ya, aku telah melupakannya. Aku telah membasmi rasa ini. Aku telah mengubur hidup-hidup rasa ini. Aku telah melenyapkannya dengan hati-hati.
Bulan-bulan itu, aku disibukkan oleh program kerja dan kinerja organisasi. Aku sangat ingin belajar banyak. Sampai aku lupa membangunkan rasa ini. Dan rasa ini tertidur pulas. Bukannya tidak tega membangunkan rasa ini yang tertidur. Tapi, aku juga tak mau ia bangun. Sudahlah, mati saja.
Di organisasi itu, aku belajar banyak. Banyak sekali. Membuatku semakin berambisi untuk menjadi lebih baik dari siapapun.
Masih ingat kah kalian dengan temanku?
Temanku sang pengingkar janji. Mungkin aneh jika di bilang teman. Tapi benar, dia temanku.
Ego berkata, kata teman lebih cocok untuk muka ku yang ke sekian. Lebih tepatnya yang ke dua.
Aku bermuka dua?
Ya, aku tidak munafik. Jika benar adanya, aku akan mengakuinya.
Ya, itu benar adanya. Aku mengaku.
Nah, temanku sang pengingkar berulah lagi. Aku di buat geram dan kesal olehnya. Selalu membohongiku, dia menomer dua kan aku. Padahal aku percaya padanya.
Aku menunggu dia selesai. Memang dia telah menyuruhku pulang terlebih dahulu. Tapi mana mungkin aku meninggalkannya. Dia tetanggaku, rumah kita searah. Dan aku memutuskan untuk menunggunya.
Menunggunya mengikuti agenda acara selanjutnya. Padahal aku tau, Bunda pasti sangat marah jika aku pulang lebih sore lagi. Tapi demi dia, aku menunggunya.
Mengikuti seluruh agenda bukan untuk meraih eksistensi atau memikat pengakuan. Tapi karena aku menunggu temanku. Jika tak menunggu temanku. Pasti aku akan pulang.
Setelah seluruh agenda selesai, saatnya pulang. Dia membawa galon, memang dia mengajukan diri menjadi relawan galon kosong, maksudnya untuk meminjamkan galon saat acara berlangsung.
Lanjut, ketika pulang. Aku membantunya mengambil galon dam pompa air. Temanku mengembalikan pompa air milik temanku yang lain. Sementara aku membawa galon.
Setelah dia kembali, dia mengambil galon yang ada di tanganku. Aku menyerahkannya. Temanku yang lain sedang lewat dengan menaiki sepeda motornya. Dan tiba-tiba, dia berkata kepada temanku yang bersepeda itu untuk mengantarkannya pulang.
What? Gimana-gimana?.
Lalu aku? Dia tak peduli. Tetap naik ke atas sepeda motor tanpa memedulikan aku. Lalu berkata 'ehh, aku pulang dulu ya'. Aku tak menjawabnya.
Sudah, tak ada dialog lagi antara kita. Aku diam membisu dan mematung di tempat. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kenapa aku punya teman macam itu. Dasar, inginku berkata kasar.
Akhirnya aku memutuskan pulang dengan keadaan mood yang sangat minim. Mengomel dalam hati kepada temanku sang pengingkar dan sang relawan galon itu. Terkadang juga menyalahkan diri sendiri kenapa terlalu peduli padanya. Dia saja tak peduli padaku.
Disitulah awalan terjadinya sidang. Sejak saat itu, aku berubah banyak pada sang relawan. Aku sebal, terkadang juga melirik tajam kearahnya.
Masalah bertambah, ketika teman dekat sang relawan terpilih menjadi bendahara. Hal itu memicu konflik. Banyak pro dan kontra. Banyak juga yang nethink. Ada yang senang juga.
Mengapa bisa terpilih?
Karena dia paling dekat dengan para cowok-cowok. Jika dia menyarankan seseorang. Teman-teman yang lain pasti juga memilihnya. Dasar mereka.
Dan aku juga terganggu akan hal itu. Bercampur aduk. Overthingking, iri, benci, tak terima, negatif thinking, dan yang lainnya.
Bodohnya aku, mengirim pesan kepada temanku yang lain. Aku bilang kalau aku agak kurang setuju dengan pemilihan temannya si relawan. (Hehe, relawan aja ya namanya).
Ehh ternyata seseorang yang aku jadikan teman curhat ini mengadukan pada si dia. Iya, si dia. Si d. Dan segala hal yang ku katakan itu, temanku adukan pada dia.
Memang, mbak pengadu (namanya mbak pengadu aja ya) dekat sekali dengan teman-teman yang lainnya di bandingkan aku. Dia malah sangat dekat. Dan mau menyelesaikan masalahku dan sang relawan dalam forum tertutup.
Aku pun di suruh datang pada forum itu. Ekspektasi ku bicara kalau aku yang akan di jadikan bendahara. Ketika realita tak sama dengan ekspektasi, aku langsung down.
Bagaimana realitanya?
Aku dimintai alasan mengapa aku berlaku begitu kepada sang relawan.
Karena aku cengeng. Mana mungkin aku biasa saja selama wawancara. Beberapa menit berlangsung saja. Mata ini berkaca-kaca dan menjadi merah. Lalu mengeluarkan air mata. Berbicara sambil terisak. Dan mereka, tetap mendengarkan.
Aku sangat malu, sungguh malu. Lebih tepatnya malu terhadapnya. Aku memikirkan imageku. Tapi karena kata-katanya, perasaanku menjadi lumayan membaik.
Sebelum pulang, aku berkata bahwa nanti malam akan menelfonnya. Dan dia mau.
*-*-*-*
Edisi aku dan kamu
Setelah sampai rumah, dan masuk kamar. Aku mulai introspeksi diri. Dan menyiapkan mental untuk menceritakan semua perasaanku selama wawancara tadi.
Setelah aku telah memutuskan, aku langsung menelfonnya. Otak ini telah menyimpan banyak kata-kata yang akan aku berikan.
Telfonnya memanggil, lalu berdering. Dan dia menerima panggilanku. Dengan suara masih terisak aku menyebut namamu ingin berkeluh kesah. Tapi kamu tiba-tiba saja bicara kamu sedang sibuk. Akhirnya aku memutuskan pamggilan. Aku sungguh kecewa. Lalu moodku turun karena itu.
Dan tak beberapa lama, aku mendapat info, bahwa ibu temanku yang lain telah meninggal dunia. Dan dia sedang sibuk menyiapkan apapun untuk membantu temannya yang sedang berduka itu.
*-*-*-*
Dialog hati
"Jika ditanya,
Bagaimana diriku pada saat itu? Hancur. Kamu berniat baik. Tapi hati tetap berkata sakit. Diri mencoba menetralisir rasa. Semoga saja menerima.
Bukannya aku egois, tapi hati yang meminta sakit. Bukan aku tak peduli pada temanmu.
Kesempatan itu. Telah berlalu.
Ya sudahlah, lupakan saja.
Aku ingin menenangkan hatiku yang rapuh ini.
Aku ingin berdamai dengan diriku sendiri. Aku ingin mengajak perasaan dan logika untuk bersatu mengeluarkan perasaanku padanya yang saat ini sedang melekat di hati.
-suara hati
- jika kamu tau keadaan hatiku, mungkin kamu akan menutup mata. Karena melihat begitu berantakannya hatiku.
- jika kamu mendengar isi hatiku, mungkin kamu akan menutup telinga. Karena mendengar teriakan sakit yang aku rasakan.
- jika kamu merasakan hatiku. Mungkin kamu akan pergi keluar. Karena rasa hati ini di penuhi lara ketika aku mencintaimu. dipenuhi rasa perih ketika aku melihatmu dengannya. dipenuhi rasa benci ketika kamu menjauh dariku. Dan di penuhi rasa sesal, ketika sikapmu tak seperti dulu.
- dan jika kamu menjadi aku. Apakah mungkin kamu sekuat aku, atau lebih lemah dariku?.
-ysmn
SURABAYA
3 NOVEMBER 2020
----------------------------------------------------------------------