Hari itu saat Riana sedang duduk di ruang tamu sebuah mobil mendekati rumah tempat ia tinggal. Seorang wanita turun, ada banyak gelang emas di tangannya, sebuah tas branded menghiasi pergelangannya. Wanita itu turun di dampingi seorang lelaki yang wajah nya sangat dikenali oleh Riana. Lelaki itu Amran, suami nya.
Riana berdiri, ia mempersilahkan Amran duduk. Seorang pembantu rumah tangga berdiri tepat di belakang Riana. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada majikannya.
Riana dan tamu tersebut terlibat sebuah perbincangan tentang uang Xenia, Riana mencoba menjelaskan namun sayang upayanya gagal.
Wanita tua yang tidak cantik itu memukul keras meja kaca milik Riana dengan telapak tangannya.
Riana tersenyum mengejek.
"Umik yang baik dan cantik jelita, anggap saja itu uang hibah seorang suami kepada istrinya." begitu kalimat Riana bernada menghina. Umik geram bukan kepalang.
"Eh pelakor, kamu nggak usah sok kecantikan ya, kamu itu lahir sudah dengan harga murah jadi ga usah sok." Umik mulai menghina.
Mereka terlibat perang mulut dan bodohnya Amran yang mantan pejabat itu hanya ternganga melihat ke dua istrinya bertengkar. Ia tidak mampu berkata-kata.
"Lho, impas kan ? dua tahun saya menikah namun saya tidak pernah minta jatah nafkah lalu sekarang umik datang minta uang yang ada pada saya. Umik nggak pa pa ?"
"Bajingan kamu, " wanita yang dipanggil umik melemparkan vas bunga hingga pecah. Untung Riana sempat menghindar.
"Sudah lah Ri, tolong kembalikan saja uang Xenia nya nanti mas akan ganti uang nafkah mu." Suara Amran bergetar. Ia bingung, jujur dihadapan Riana yang menawan ke lelakiannya sangat tertantang.
"Apa ?" suara umik bertanya keras.
"Maksud mas mau membohongi aku lagi ?" Amran makin gelisah, pengaruh guna-guna dan sihir yang di perbuat Riana benar-benar telah mengendalikannya.
"Saya punya penawaran, uang saya kembalikan tapi mas Amran tinggal di sini dan umik pulang atau mas Amran ikut umik uang untuk saya?"
Umik makin marah,
"kamu nantang ya,"
Umik mendekat, Riana berdiri. Kaki kecilnya terasa sakit akibat terkena tendangan kecil ujung sepatu lancip milik umik.
Riana marah, ia menyerang, umik makin kalap. Mereka saling menyerang. Umik mencengkram rambut Riana yang tertutup jilbab sedang Riana mengarahkan jemarinya pada wajah umik. Amran berusaha memisahkan namun gagal, sang pembantu Riana pun ikut berupaya memisahkan mereka berdua. Hingga umik menjerit keras. Sangat keras.
Jemari Riana berubah menjadi kuku panjang dan runcing yang menembus kulit pipi umik. Ada darah mengucur.
Amran berteriak-teriak, saat teriakan Amran makin keras Riana merubah posisi seolah ia yang ditindih. Umik berada diatas tubuhnya. Riana membenturkan kepala bagian depannya pada dagu umik hingga kepalanya lebam.
Orang-orang datang berusaha memisahkan. Aparat juga datang, karena rumah Riana dekat dengan pos.
"Wajah ibu ini berdarah," kata seorang yang melihat.
Orang yang berkerumun pun dibubarkan.
Dua polisi yang mengenal Riana dengan baik menanyakan duduk permasalahan. Riana menjelaskan beradu kata dengan umik.
"Tapi pipi ibu ini berdarah mbak," suara serda Agung.
"Iya mas, tapi coba mas lihat jemariku tak punya kuku panjang dan runcing."Riana menunjukkan jemarinya ke arah dua polisi tadi. Mereka mengamati dan benar jari Riana tak berkuku panjang.
"Polisi itu harus jeli, beliau datang kesini, merusak rumah saya, vas bunga saya pecah. Kepala saya lebam, ruang tamu saya berhamburan. Bisa jadi darah itu dari jari beliau sendiri. Mas lihat jari beliau berkuku panjang." Riana mengeluarkan Fitnah pada tamu tak diundangnya.
"Maksudmu apa ?" umik mulai geram. Riana tertawa terkekeh. Amran tahu itu bukan Riana tapi sekali lagi Amran hanya bisa diam.
"Biar pak polisi yang menentukan siapa yang salah siapa yang benar."Suara Riana makin menggila.
"Kita putuskan di kantor polisi saja pak,"
"Tidak pak," Amran menyela.
"Saya minta damai saja."
"Damai bagaimana ?" tanya umik.
"Sudahlah mik, kita damai saja umik ikuti saja saran abi."
"Bu Riana bagaimana ?" tanya serda Agung.
Riana menatap tajam wajah Amran. Amran tampak memohon.
"Saya minta ganti rugi untuk rasa malu ini pak, bila tidak maka sebaiknya di urus ke kantor polisi saja karena saya tidak bersalah." Suara Riana tegas.
"Saya minta dua puluh juta."
"Apa ? wanita gila."
"Sudah lah mik, turuti saja kemauannya mik agar kita tidak ada masalah."
Umik pun mentransfer uang dua puluh lima juta pada rekening yang diberikan oleh Riana.
Mereka pulang dengan kekalahan.
Dirumahnya Riana menangis, sungguh bukan inginnya berbuat begini. Ia hanya ingin membuat Amran jera. Ia hanya ingin Amran merasakan luka yang dideritanya.
Jangan dikira kehilangan yang dirasakan seorang wanita dengan predikat istri ke dua bisa ditebus dengan uang dua puluh juta. Andai boleh memilih maka semua istri tidak akan mau berpisah jarak dengan suaminya seburuk apapun dia.
Dua tahun telah membuktikan keikhlasan Riana diperlakukan apapun dan saat ini Riana tidak lagi bisa menahan hati juga dirinya hingga ia melakukan semuanya. Memutuskan untuk berperang dan melawan.
Dirinya terlampau terluka. Kedatangan tamu tak diundang di rumahnya telah meninggalkan sebuah cerita yang tidak akan ia lupakan.
Riana bangkit hendak menutup pintu ketika kakinya bertemu dengan sapu tangan milik Amran yang terjatuh di ujung kursi miliknya. Sapu tangan itu hadiah darinya untuk Amran beberapa waktu yang lalu.
Riana menarik nafas panjang sambil meraba perutnya yang mulai membuncit.