Chereads / Save Me ( The always ) / Chapter 5 - chapter 4

Chapter 5 - chapter 4

"Ada beberapa rahasia yang tidak semua orang harus tau, cukup dia dan tuhannya yang terlibat"

---

Happy reading ....

***

Bel istirahat sekolah telah berbunyi nyaring sedari tadi, sedangkan dua perempuan itu masih saja bergutik dengan praktik prakaryanya di meja.

Sesekali Momo mengumpat kesal, sehidup-hidup baru kali ini dia membenci bel istirahat.

"Aaahh cepet cepet tempelin disini Mo!"

Momo pun menempelkan beberapa stik es krim itu disana. Ingin rasanya ia mengumpati Gurunya.  bisa-bisanya dia membuat ujian praktek mendadak seperti ini, mana bahannya enggak banget lagi.

Masak bayar sekolah mahal-mahal sampai disini hanya disuruh buat asbak.

"Halo zeyengggg!!" tiba-tiba suara cempreng galon menggetkan mereka berdua, untung saja lem stik itu sudah sedikit kokoh, kalau tidak, mungkin sudah Momo lumuri lem itu ke wajah galon.

"Gua tampol terbang ya lo!" cetus Momo.

"Astagfirullah sahabat..." ucap Galon dramatis sambil mengelus-ngelus dadanya.

"Huahhhh!!! Sumpah!!"

Itu suara Ara, Galon melotot kaget, lagi-lagi ia hampir mati berdiri.

"Bisa nangis darah gue kalo gini caranya!"

Galon hanya geleng-geleng kepala menyimak.

"He gea, ni udah selesai punya gua sama Momo, lo yang kumpulin ya."

Cewek yang notabenya ketua kelas itu hanya patuh seraya menganggukan kepalanya.

"Capek gue Mo, ayo ngantin gue traktir" ucap Ara seraya menggandeng tangan Momo.

"Kuy lah tante"

"Nasib kakanda bagaimana?" Celutuk Galon.

"Mumpung gua lagi mood banget, gua traktir ye lu lu pada"

"Mood banget dari mananya, tadi aja lo jerit jerit kayak setan" itu suara Didot, laki-laki itu sadar juga ternyata, perasaan dia hanya tidur dari jam pertama.

"Masa bodo, yuk guys kita cabuytt" Ara berlalu dari sana bersama Galon dan Momo.

Tersadar, Didot pun berlari mengejarnya.

"Tunggu aku kang! ..."

Dikantin, mereka ber-empat memilih duduk di meja ujung—dekat jendela. Lumayan lah, biar bisa tebar-tebar pesona sama kakak kelas yang lagi main basket di lapangan.

Ara berjalan menghampiri mamang-mamang penjual soto, batagor dan bakwan disana, lalu kembali lagi duduk di tempat semula.

"Araaa...", tuh kan lihat, baru duduk sedetik aja sudah ada yang manggil, emang pada kurang ajar tu fakboi sekolah.

"Ra mundur dikit dong Ra.... "

Ia menoleh,"Sorry ya gua pejuang maju pantang mundur" cetus Ara yang mengundang tawa segerumbulan para lelaki itu.

Jujur saja, bukan karena Ara tidak mau meladeni para lelaki itu. Hanya saja, dia benar-benar sedang dalam mode buruk sekarang.

"Ga ada gosib baru ni?" celetuk Ara berusaha mencairkan suasana.

"Ada lah" jawab Galon Antusias, perlu di garis bawahi Galon itu memang gudangnya gosib.

"Si Arum anak 12 IPA 5 itu hamil beneran anjir"

Momo yang tadinya hendak menyeruput es tiba-tiba melotot, "Uhuk-uhuk"

"Batuk bu haji" celetuk Didot.

"Kan apa gue bilang!!" pekiknya tiba-tiba.

"Tu orang pasti hamil." lanjutnya.

Memang gosib ini bukanlah bahan obrolan baru di mereka, pasalnya dulu Momo juga pernah memprediksi demikian dan ternyata hasilnya benar.

"Kok lo bisa tau sih Mo?" ucap Didot.

"Jangan bilang live streaming lo Mo."

lanjut Galon.

"Wah kapan-kapan ikut dong gue Mo" itu suara Ara.

"Ngaco ya lo pada Anjir!" sangkal Momo.

Momo membenarkan posisi duduknya,

"Emang kalian pada gak ada feeling apa? Dia tu udah jarang banget ngebacot lagi kayak dulu, trus tu orang juga kemana-mana pakek hoodie terus, aneh gak sih?" jelasnya.

"Eh iya ya, kok gua jadi gak sadar gitu" ucap Galon.

"Gue kira tipes tu orang"

"Malaria kali"

"Kak Abe!"

Saat lagi hangat-hangatnya bergosib, tiba-tiba saja pandangan mata Ara jatuh pada sosok manusia titisan malaikat yang sedang berjalan menuju kantin.

Abe yang dari jauh mendengar namanya dipanggil, spontan menoleh ke asal suara.

"Disini kak!" Ara melambai-lambaikan tangannya.

Abe hanya tersenyum singkat, sedangkan Ara lagi lagi berteriak.

"Love you kak!"

Masa bodo sama sekitar, Ara benar-benar sudah putus urat malunya.

Momo yang menyadari itu pun hanya mampu menutup wajahnya dengan buku menu didepannya.

Memang kurang ajar si Ara.

"Kak—"

Ara hendak menghampiri Abe disana, jika saja tangan Momo tidak mencegahnya pergi.

"Apa sih Mo" ketusnya.

"Apa apa, lo pikir dunia ini milik kalian berdua, punya anak perempuan kelakuanmya kayak tarzan, bikin malu nenek tau gak lo" celoteh Momo.

"Apaan sih nenek moyang"

"Udah diem." lanjut Momo.

Ara pun menuruti, akhirnya ia pun diam, meski matanya masih tak luput dari Abe yang sekarang tengah duduk bersama Maria.

"Kok kak Abe kayak deket banget ya sama tu Mari" tukas Ara.

"Mana ku tempe, habis jadian kali" celetuk Galon.

Ara melotot, "Sembarangan lo, gua tiup cair lo"

"Eh tapi tumben ya, si Mari itu jadi pendiem gitu" ucap Momo.

"Kan temennya hamil, frustrasi kali dia" celetuk Didot yang refleks mengundang tawa temannya.

Mata Ara masih saja memperhatikan Abe, laki-laki itu berbeda. Entah mengapa, rasanya nyaman sekali berada di dekatnya. Entah mengapa juga, rasanya Ara yang tertarik kepadanya.

Dilihatnya sekarang Abe tiba-tiba berdiri dari duduknya tatkala Gibran menghampiri dan duduk bersama mereka. Abe berlalu dari sana meninggalkan Maria dan Gibran berdua.

Entah ini hanya kebetulan atau apa. Namun, Ara menyadari sesuatu, seperti ada yang aneh, tapi ia tidak tau itu apa.

***

Di depan toilet pria, Gibran melihat Abe baru saja keluar dari sana. Abe pun demikian, hanya saja ia sedang malas berhubungan dengan Gibran.

"Gue tau."

Mendengar dua kata itu, Abe yang tadinya hendak pergi sontak berhenti.

Ia berbalik, mengangkat satu alisnya seakan menantang.

"Jangan dia." lanjut Gibran.

Abe tersenyum remeh, "Gak peduli." sarkasnya seraya berlalu dari sana.

Sedangkan Gibran hanya bisa mematung, ia tak bisa diam saja, Abe bisa melakukan apapun dan akan banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika Abe benar-benar melakukannya.

"Kak Gibran"

Ia menoleh, "Eh Momo"

Gibran refleks kaget.

Momo menatap kepergian Abe heran, "Kakak kenal dia?" tanyanya.

"Siapa?"

"Kak Abe"

"Oh dia" Gibran menoleh ke arah perginya Abe tadi.

"Iya, emang kenapa?" lanjutnya lagi.

"Gak papa, kenal dimana emang?"

Gibran tersenyum, "Dasar perempuan, kepo banget."

Momo membulatkan matanya tak terima.

Gibran terkekeh, "Udah dari dulu Mo, kebetulan kita deket juga, udah ya gue duluan ke kelas." ucap gibran lalu berlalu dari sana. Sedangkan Momo hanya berdesis kesal.

"Untung lo ganteng ya kak" gumamnya emosi.

Gibran cepat-cepat berlalu dari sana. Pasalnya ia tidak mau Momo bertanya macam-macam lagi.

Di ujung koridor sana, tak sengaja Gibran melihat Ara sedang berdiri membaca mading di depannya, tanpa sadar Gibran menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya.

"Ra!"

Ara menoleh, Gibran berjalan menghampirinya.

"Hey Bran" sapa Ara.

Gibran berdiri didekatnya, "kok tumben sendirian?" godanya.

"Iya nih, lagi jones" jawab Ara sambil memegang dadanya—pura-pura menangis.

Gibran tertawa seraya mengacak-ngacak rambut Ara, " Lu emang ada-ada aja"

Ara cemberut, "Oh iya Bran,"

"Hm?"

"Bilang ya sama kak Rico, udah gua terima coklatnya" ucapnya seraya tersenyum manis.

"Tapi maaf, gua alergi coklat!" lanjutnya yang sontak membuat Gibran tertawa.

"Pengen gue tiup tu Rico, kalo aja dia gak ganteng sumpah!" omel Ara dan lagi-lagi membuat Gibran tertawa mendengarnya.

"Ketawa lu!"

"Mulut mulut gue, gigi gigi gue"

Kini giliran Ara yang tertawa.

"Eh, oh iya Bran"

"Apa lagi?!"

180 derajat tiba-tiba Ara merubah sikapnya.

Ia tiba-tiba berlagak manis di depan Gibran.

"Mau dong gue kenalan sama kak Abe"

"Gak!"

"Dih kok lo sewot sih! "

"Ayo lah Bran" lanjutnya sambil memasang puppy eyes padanya.

"Sekali gua bilang nggak ya enggak"

"Dih kok lo galak sih, gak usah-usah keburu jawab juga gak papa kok Bran. Pikirin dulu aja ya"

"Bodo amat."

Ara kembali kesal dan tanpa mereka berdua sadari, ternyata Abe juga datang membaca mading. Gibran menyadarinya, sedangkan Ara yang memunggunginya masih saja merayu-rayu Gibran untuk mendapatkan restu.

"Ayo dong, huh yaudah! Lagian, walaupun gak dari lo, gue juga masih bisa kok deketin dia, sok keren lu ah! males gue!" Ara membalikkan badannya kesal, dan saat itu juga kepalanya membentur lengan kokoh seseorang.

"Heh lu—" hampir saja Ara mengomeli laki-laki di depannya ini, jika saja matanya tak sengaja membaca name tag itu.

Merasa di panggil, Abe menunduk. Menolehkan kepalanya.

Ara mendongak, ia akui dia memang tinggi, tapi entah mengapa jika bersanding dengan Abe tingginya hanya sebatas dagunya saja.

Mata elangnya menatap Ara, Blushing, Tiba-tiba jantung Ara berdetak cepat, entah karena ketampanan pria ini atau tatapannya yang seakan menghipnotis jantungnya.

"E-eh kak Abe hehe"

Ara nyengir, Abe hanya tersenyum singkat, setelah itu dia kembali membaca mading.

Ara yang melihat itu pun mengikuti Arah pandang Abe. Ia membenarkan rambutnya yang sidikit kusut.

"Puisi ini manis lo kak, aku tadi sempet baca." ucapnya basa basi.

"Oh ya?" tanggap Abe.

"Iya, sama kayak kakak, sama-sama manis."

Cakeppp.....

Ara tersenyum, tapi Abe tidak, laki-laki itu tak terlalu memperdulikan.

"Apaan sih Ra" Gibran prostes, ia tidak suka melihat Ara seperti itu.

Ara tak menggubris itu, ia masih saja memandang Abe.

"Kak, boleh minta nomor HP?"

***

Tbc—

Terimakasih telah membaca

Jangan lupa votmen

Lov you😘