Chereads / Sebesar Harapan Menggapai Cita-Cita / Chapter 5 - BAB 5 Perjuangan Awal Mengapai Mimpi

Chapter 5 - BAB 5 Perjuangan Awal Mengapai Mimpi

Juni, 2013

Selamat tinggal desaku. Rasa sedih sekaligus gembira turut mengikuti langkahku. Disatu sisi aku senang karena melanjutkan pendidikan di kota impianku. Tapi, disatu sisi aku merasa sedih karena akan meningalkan tanah kelahiranku.

Berbicara tentang tanah kelahiran, Meskipun terlalu banyak drama sekaligus kenangan pahit yang menyayat hati bahkan hingga kesendirian yang terus menghampiri diri. tanah kelahiran akan tetap tanah kelahiran yang selalu tersimpan di dalam ingatanku.

Setelah beberapa minggu. Akhirnya, aku tiba disebuah kota tempat aku melanjutkan pendidikan nanti, sebuah kota yang terbilang cukup jauh dari kampung halamanku.

disini aku tinggal berdua bersama saudaraku disebuah kontrakan sederhana bahkan sangat sederhana, hanya ada ruang depan, ruang tengah, dapur dan kamar mandi.

Ketika aku baru saja tiba di kota, aku sangat bahagia dengan keindahan dan suasananya yang gemerlap sekaligus ramai. suasana di kota sangat berbeda dengan suasana dikampung.

Perjalanan sekaligus perjuanganku mencari ilmu, ngga hanya sebatas di desa saja bahkan ketika aku berada di kota ini aku harus lebih sunguh-sunguh lagi dalam belajar. Persaingan sangat ketat, jumlah muridnya lebih banyak dibandingkan dikampung, teman-temanku kebanyakan les diluar, mulai dari les pelajaran bahasa ingris, matematika, dll.

Aku hanya seorang murid yang berasal dari kampung, aku baru saja mengenal keidupan di kota. aku ngga pernah belajar secara khusus apalagi les diluar seperti teman-teman sekelasku, aku hanya bermodalkan tekad dan memilki cita-cita tinggi.

Sekolahku cukup populer, sedari dulu ayahku memang mempunyai keinginan agar aku bisa menuntut ilmu disekolah ini. Aku bisa bersekolah disini atas kerja keras dari kedua orangtuaku namun dibalik ini aku dibantu oleh seorang nenek yang memiliki peran penting ditempat sekolahku sekarang.

Meskipun, orangtuaku hanya bekerja sebagai petani tapi mereka ngga terlalu memikirkan berapa banyak biaya yang harus mereka keluarkan untuk membiayai sekolahku karena melanjutkan pendidikan di kota biayanya jauh lebih besar dibandingkan sekolah dikampung.

Kedua orangtuaku selalu berkata selama aku sekolah dengan baik, pasti ada saja rezeki yang akan datang. Mereka berniat menyekolahkanku hingga ke perguruan tinggi, mereka menginginkan agar aku bisa memperoleh pendidikan tinggi sehingga hidupku lebih baik dimasa depan nanti.

Diawal-awal menjadi murid baru, aku masih diantar sekaligus dijemput oleh saudaraku. tapi lama-kelamaan aku membiasakan diri untuk mandiri, apalagi aku sudah terbiasa hidup sendiri selama aku tinggal di kampung.

Aku membiasakan diri berangkat sekolah jam 6:00 pagi dari kontrakan, kebetulan sekolahku masuk jam 6:40. Aku pulang sekitar jam 12 siang, ditengah terik matahari aku pun mulai memberanikan untuk pulang sendiri tanpa dijemput.

Setiap bulan, aku diberi uang hanya Rp. 50.000 hingga Rp. 100.000, uang ini sudah termasuk ongkos, sokongan, jajan dan keperluan tugas lainnya. Kalau dibilang kurang, bisa dikatakan kurang, ongkos pada saat itu 2000x30 hari =Rp. 60.000, belum lagi ditambah keperluan sokongan, uang kas dan keperluan tugas lainnya. Tapi, ah sudahlah, aku sangat menyadari kalau kedua orangtuaku bukanlah orang yang berada, aku harus mengatur uangku sebaik mungkin.

Jarak sekolahku ngga terlalu jauh dari kontrakan kurang lebih sekitar 10 menit kalau diantar, 20-30 menit kalau jalan kaki. Pernah, suatu hari ketika aku sekolah ngga bawah uang lebih. Eh, tiba-tiba ada keperluan sokongan. Alhasil, aku harus pulang berjalan kaki dari tempat sekolahku hingga ke kontrakan dalam keadaan hujan.

Sekolah dengan berjalan kaki bukanlah hal yang baru bagiku, hal ini sudah berulang-kali aku rasakan. Aku ngga pernah mengeluh kepada siapapun, termasuk sama saudaraku dan kedua orangtuaku. Lagi lagi dan lagi aku menyimpan kisah menyedihkanku sendiri.

"Ceis, kamu basah semua," tanya saudaraku.

"Iya mbak, tadi aku kehujanan ketika turun dari angkot," jawabku terpaksa berbohong ngga mau membuatnya khawatir

"Yaudah, Kamu langsung mandi sana," ucap saudaraku.

"Iya mbak," jawabku sembari menuju kamar mandi.

Aku terlalu pandai dalam menyimpan masalah atau aku sudah terbiasa dikelilingi oleh masalah hingga pahitnya perjalanan hidup pun harus aku telan sendirian.

Setelah sekitar empat bulan aku tinggal di Yogyakarta, orangtuaku memutuskan untuk membeli rumah, meskipun rumahnya terbilang sederhana yang paling penting aku bersama saudarku ngga tinggal di kontrakan kecil lagi.

Rumahnya cukup jauh dari sekolahku, kali ini aku harus naik angkot dua kali untuk sampai disekolahku. Pertama kali aku pindah di rumah yang baru, aku sempat nyasar ketika pulang sekolah. Ditengah terik matahari, aku bolak-balik mencari alamat rumahku tapi ngga bertemu juga, Untung saja aku bertemu dengan bapak-bapak yang mau menhantarkanku hingga sampai di rumah.

Pikirku rumah baru merupakan awal kebahagiaan untukku, ternyata sebaliknya. Dirumah yang baru, perjuangan sekolahku semakin bertambah berat, aku paling ngga suka yang namanya terlambat karena kalau terlambat urusannya ribet, harus dihukum dulu, dimarah, dll.

Perjuanganku kali ini berbeda dari biasanya karena jarak sekolahku yang sangat jauh membuatku harus bangun lebih awal dari biasanya. Aku mulai membiasakan diri untuk bangun jam 03:00 dini hari.

Seusai bangun aku mebiasakan diri untuk solat malam, mandi, solat subuh lalu bersiap-siap mengunakan seragam sekolah. Tepat jam 05:20 aku sudah keluar rumah untuk berangkat sekolah. Hal ini setiap hari aku lakukan.

Disaat semua teman-temanku masih tertidur lelap, aku sudah menelusuri perjalanan tanpa cahaya alias gelap. Semoga gelapnya subuh dan dinginnya angin subuh akan membawaku pada cahaya terang layaknya bulan purnama suatu hari nanti.

Jarak antara rumahku ke tempat angkot sekitar 10-15 menit tergantung kecepatan kaki saat berjalan. Hhe. Diawal-awal pindah aku menunggu angkot di depan lorong rumahku yang berjarak 10-15 menit. Tapi, aku takut terlambat karena angkotnya sangat sedikit dan angkotnya pun baru tiba di depan lorong rumahku sekitar jam 06:00 sedangkan aku masih harus naik angkot sekali lagi untuk tiba disekolahku. Alhasil, lebih baik aku langsung berjalan menuju tempat angkot yang kebdua Jaraknya hampir 30 menit dari rumahku, aku harus tiba sebelum jam 06:00 kalau tidak. Aku akan tertinggal. :-(

Kebiasaanku yang berbeda dari orang lain membuat sebagian tetangga bertanya-tanya. kamu berangkat sekolah pagi-pagi banget? Memangnya kamu sekolah dimana? Ngga ada yang mengantar?? Kamu kan perempuan. Pertanyaan seperti ini ngga terlalu aku hiraukan. Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan dari tetangga. Menurutku, kalau aku melakukan hal yan benar harus aku pertahankan.

Aku pernah dianter saudaraku. Tapi, hanya beberapa kali, aku ngga suka merepotkan orang lain, aku menyukai perjuangan sekaligus usahaku sendiri. Pulang sekolah pun demikian, ditengah panasnya terik matahari, aku berjalan dengan keringat bercucuran, kulit hitam berlapiskan debu, tampak dekil, bukan?? Ah, seperti itulah kehidupan putih biruku. Menurutku, aku sekolah bukan untuk bergaya, melainkan untuk mengapai mimpi sekaligus membahagiakan orangtua.

Walaupun aku sangat disiplin. Tapi, aku juga pernah merasakan terlambat. Hal ini terjadi ketika angkot yang biasa aku tumpangi ternyata sudah lewat. Alhasil, aku tertinggal angkutan kota (angkot).

"Ceis, kamu terlambat?," suara guru BK yang terkenal suka marah-marah terdengar sangat jelas ditelingaku.

"Iya bu,"jawabku tertunduk sembari menghampiri beliau dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kamu terlambat untuk yang pertama kali?? suaranya yang tegas berubah menjadi sangat ramah karena hari ini memang kali pertama aku terlambat.

"Iya bu,"jawabku sembari tertunduk dihadapnnya.

"Karena kamu sudah termbat, sekarang kamu bersikan rumpu-rumput yang ada disana," tunjuk beliau sembari mengarah kearah bunga-bunga yang ada disekeliling kolam kecil yang ada disekolah kami.

"Baik bu,"jawabku sembari mengikuti telunjuknya, alhamdulillah aku hanya disuru membersikan rumput-rumput, kalau aku di suru push up malu banget.

Sembari membersikan rumput-rumput dipingir kolam, airmataku bercucuran. beginikah perjuanganku dalam mencari ilmu di kota orang, beginikah perjuangan awalku mengapai mimpi. Tapi, ah sudahlah. Semuanya sudah terjadi. hari ini, cukup dijadikan pelajaran, jangan sampai terulang lagi. Gumamku dalam hati.

"Ceis, kamu kenapa nak? Kamu menangis?," tanya guru BK menghampiriku yang sedang membersikan rumput.

"Ngga bu, Ceis hanya menyesal kenapa Ceis bisa terlambat, karena aku ngga pernah terlambat sebelumnya bu," jawabku dengan nada yang tersedu-sedu.

"Maafkan ibu nak, ibu ngga bermaksud menghukum kamu. Tapi, inilah konsekuensinya kalau kamu terlambat, kamu usahakan jangan sampai terlambat lagi ya nak," ucapnya sembari melihat kearahku .

Aku tercenung sembari melihat kearah wajahnya yang membuatku sedikit teduh. Masyaallah, ternyata beliau yang terkenal cukup tegas disekolah kami mempunyai hati yang sangat lembut bahkan hatinya sangat tersentuh ketika melihat airmata bercucuran dipipiku.

"Ceis," pangil sang guru sembari mengusap kepalahku.

"Iya bu," jawabku dengan kaget.

"hukuman kamu sudah cukup. Silahkan kamu melanjutkan pembelajaran dikelas," ucapnya.

"Baik bu," jawabku sembari menyalami tanggannya.

Lagi lagi dan lagi, aku ngga bercerita kepada siapapun tentang segala hal yang terjadi padaku. Aku ngga punya tempat berkeluh kesah, aku dikelilingi oleh orang-orang. Tapi, aku selalu saja merasa sepi dan sendirian.

Selama aku duduk dibangku putih biruku, aku ngga pernah mengikuti organisasi, Meskipun pada dasarnya aku sangat ingin. Tapi, aku ngga percaya diri untuk berkumpul dengan teman-teman ditambah lagi aku belum memiliki pengalaman organisasi. disekolahku dulu ngga ada yang namanya organisasi bahkan ketika pulang sekolah aku harus membatu nenek berjualan. Alhasil, aku hanya sekolah tanpa mengikuti kegiatan apa pun. Teman-temanku sering kesana-kemari. Tapi, aku enggak. sikap anak desaku masih sangat kental di dalam diriku. Perjalanan putih biruku, bisa dikatakan sangat datar. Aku berbeda dengan teman-temanku yang memiliki kesibukan diorganisasi nya masing-masing.

Menjadi orang yang berbeda, memang sedikit menyedihkan bahkan terasingkan. Disaat semua orang masih larut dalam dekapan orangtua, kemana-mana diantar oleh orangtua bahkan ketika pulang sekolah ada orangtua yang menyambut, setiap mau berangkat sekolah ada tanggan orangtua yang bisa dicium sedangkan kehidupanku ngga seperti itu, aku sedari kecil sudah berbeda. Tapi, aku selalu berusaha untuk menikmati hidup dengan caraku sendiri.

# Jangan lupa kritik dan sarannya teman-temanπŸ˜‡πŸ™πŸ™