Setelah makan siang, Zahira kembali ke kamar Dina, ia melanjutkan rutinitas yang belum selesai. Dina yang sudah tau tabiat sahabatnya tersebut hanya mampu diam sebab dia paham, sedekat apapun kita dengan seseorang, kita harus tetap menghargai satu sama lain. Dan salah satu caranya adalah dengan menghargai pirvasi.
Setelah dia menuntaskan urusannya dengan laptop kesayangannya itu, dia berjalan menuju balkon kamar Dina sambil menghirup udara bebas, setidaknya disini dia bisa sedikit menenangkan hati yang sedang berkecamuk penuh rasa kecewa dan amarah.
Disini dia bisa menunjukkan sifat aslinya, disini dia bisa menangis walau tak bisa sangat lepas seperti apa yang dia inginkan selama ini.
Disini dia juga bisa bernafas lega tanpa bayang-bayang mimpi buruk itu, setidaknya disinilah dia menemukan setitik ketenangan. Dan itulah yang saat ini dirasakan oleh Zahira.
Beberapa jam kemudian,,
" Zahira, ada ibu kamu tuh dibawah nyariin,". Ujar Dina.
"Oke, aku pulang dulu ya, terima kasih sudah ngizinin aku main kesini". Lirih Zahira sambil tersenyum.
"Iya, santai aja kali. Rumah ini selalu terbuka lebar buat kamu. Zahir semangat ya, ingat Allah tak akan memberi ujian diluar batas kemampuan makhluknya". Timpal Dina sambil mengelus bahu Zahira.
Zahira tersenyum membalas ucapan Dina.
Zahira dan Dina turun dari lantai atas tempat kamar Dina.
Dan dari atas Zahira sudah melihat sang Ibu yang sedang berbincang dengan Tante Risa.
Sampai di ruang tamu, Zahira dan Dina langsung disambut oleh kedua ibu mereka. Ibu Zahira tersenyum, namun Zahira tau kalau itu bukanlah senyum bahagia karena bertemu sang anak, melainkan senyum penuh amarah yang menghantarkan ribuan rasa takut pada diri Zahira.
Sesampainya dirumah, Zahira hanya bisa menunduk takut melihat sang ibu berbicara dengan nada penuh amarah.
"Ibu tidak habis pikir sama kamu, bisa-bisanya kamu selesai kuliah nggak langsung pulang malah enak-enakan di rumah orang. Kamu tau sendiri kalau ibu kerja banting tulang memenuhi kebutuhan kalian".
"Ya tuhan! kenapa harus seperti ini? kenapa tidak ada satu orangpun yang peduli denganku dan mengerti keadaanku?". Keluh ibu Zahira.
Zahira hanya bisa diam mematung di tempat, menunduk dengan air mata tercekat. Setelah sang ibu beranjak pergi dari ruang tamu, barulah Zahira bergegas melangkahkan kaki menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, Zahira sudah tak mampu lagi untuk menahan air mata yang dari tadi sudah memenuhi sudut matanya, dia menangis tertahan, isakannya tercekat di tenggorokan.
Dia ingin selalu kuat namun dia merasa tak sanggup.
Dia merasa lelah namun tak bisa untuk berhenti.
Ditengah isak tangisnya, ia melihat ponselnya yang tergeletak di meja belajar menyala. Setelah dilihat ternyata Dina, sahabat karibnya.
"Assalamu'alaikum Din."
"Wa'alaikum salam, Zahir, kamu nggak papa kan?" Tanya Dina.
"Emangnya aku kenapa?" Zahira balik bertanya.
"Ya nggak papa sih, cuma tadi aku lihat ekspresi ibu kamu kayak gimana gitu." Ujar Dina.
"Ibu aku baik-baik saja kok, Cuma tadi memang katanya agak kurang enak badan." Balas Zahira sambil tertawa miris.
"Oh, yasudah kalau nggak papa, udah dulu ya aku dipanggil Mama nih, Assalamu'alaikum,,". Kata Dina.
"oke Wa'alaikum salam". Jawab Zahira.
Zahira menutup panggilan dari Dina dengan disertai napas panjang. Sebenarnya Zahira merasa tidak enak hati jika harus berbohong mengenai keadaan keluarganya, namun setelah dipikir-pikir tidak seharusnya dia menceritakan masalah keluarganya kepada orang lain termasuk sahabatnya sendiri.
Di lain tempat, di rumah Dina,,
Di dalam kamar Dina terus melamun memikirkan sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Zahira. Sejak dulu awal mereka kenalan, Dina sudah merasa ada yang aneh dengan kehidupan Zahira, terlebih Zahira sangat jarang bahkan hampir tidak pernah bercerita tentang keluarganya kepada Dina, hal itu membuat Dina berspekulasi bahwa ada yang tidak beres dalam keluarga sahabatnya tersebut.
Apalagi tadi ditambah dengan senyum juga tatapan dari Ibu Zahira menunjukkan aura kemarahan kepada Zahira.
Sudah ribuan kali Dina menawarkan diri untuk menjadi tempat curhat Zahira, namun Zahira tetap dengan pendiriannya, dia selalu berkata bahwa semua baik-baik saja. "Zahira, apapun yang terjadi, kamu harap kamu tetap kuat, ". Monolognya dalam hati.
Satu jam berada di kamar tanpa melakukan apapun. Sebab tadi dia berbohong pada Zahira perihal dia mendapatkan panggilan dari sang Mama.
Dina terus-terusan memikirkan Zahira, dia merasa bahwa selama ini Zahira banyak menyimpan rahasia yang ia simpan dengan rapat. Tak jarang Dina memergoki Zahira dengan wajah sendu dan penuh pikiran. yah walaupun dia sendiri tidak tau apa yang ada difikiran Zahira.
Dina memutuskan untuk melangkah keluar kamar untuk mencari keberadaan sang Mama, ia sudah kelewat resah saat memikirkan Zahira.
Dina menghampiri Resa dengan memeluk boneka kesayangannya. "Ma, Dina mau Tanya boleh?". Tanya Dina tiba-tiba.
Resa yang menyadari kedatangan sang anak segera menoleh dan menunjukkan senyum khasnya. Senyum yang selalu dirindukan oleh setiap anggota keluarga Hernando.
"Boleh, mau tanya apa? Serius amat!" Jwab Risa disertai kekehan ringan.
"Ma, kira-kira Zahira kenapa ya? Dina ngerasa ada yang tidak beres dengan kelurga Zahira. Apalagi Zahira akhir-akhir ini Zahira semakin sering melamun. Aku bahkan sering memergokinya melamun dengan wajah penuh tekanan. Apalagi dia sama sekali nggak mau cerita apapun ke aku." Dina mengeluh. Meluapkan seluruh uneg-unegnya.
"Iya, Mama juga sepemikiran sama kamu sayang, hanya saja menurut Mama kita nggak baik kalau ikut campur urusan orang lain. Kecuali kalau Zahira sendiri yang cerita ke kamu dan meminta pendapat dari kamu. Jadi sekarag lebih baik kamu usaha aja untuk tetap berada disampingnya, sebab terkadang seseorang membutuhkan orang lain bukan sebagai pemberi nasehat ataupun solusi, namun sebagai teman yang selalu siap berdiri berada di sampingnya dalam keadaan apapun tanpa perlu banyak bicara." Jelas Risa. "Oh ya, hubungi Kak Aldo ya, tadi Kak Aldo ngehubungi Mama, dia bilang kangen sama kamu. Dan satu lagi, Mama mendukung apapun yang kamu lakukan asal itu menuju kebaikan sayang." Sambung Risa.
"Siap Ma!" Jawab Dina dengan mantap. "Ma, kalau seandainya Dina pakai hijab kayak Zahira gitu gimana?"
Risa yang sebelumnya sudah kembali menatap TV, kini ia berbalik dan kembali menatap sang anak dengan pandangan teduh. "Dina sudah besar, sudah umur 22 tahun kan? sudah bisa bedakan mana yang baik dan mana yang buruk buat Dina, kalau menurut Mama, itu sebuah kemajuan bagus kalau Dina ingin merubah penampilan menjadi lebih baik, tapi ingat agama bukan mainan, mantapkan hati kamu terlebih dahulu." Jelas mama Dina.
Dina memeluk sang mama cukup erat, merasa sangat beruntung mempunya mama seperti Risa.
"Sudah-sudah sholat sana minta petunjuk sama Allah, minta yang terbaik, terus belajar setelah itu istirahat ya Mama nggak mau kesehatanmu terganggu sayang."
"Siap Ma." Jawab Dina.
*****
Zahira terus menangis didalam kamar dengan mata lurus memandang foto keluarganya. Foto yang diambil tujuh tahun yang lalu saat keluarganya masih baik-baik saja. Keadaan yang sangat jauh berbeda dengan sekarang. Entah apa yang mampu merubah semuanya menjadi semengenaskan ini.
JERITAN HATI
Bagai hantaman tombak panjang yang menusuk
Menusuk hati yang sedang berkecamuk
Berkecamuk tak menentu
Berontak,,
Aku ingin berontak
Berontak atas ketidak adilan hidup ini
Berontak atas pengekangan yang aku alami
Aku muak,,
Aku muak dengan semua drama yang mereka buat
Seolah-olah mereka adalah penguasa
Yaa,, mereka memang penguasa
Penguasa terhadap diriku
Penguasa pengatur semua inginku
Penguasa pembatas semua gerakku
Penguasa pengekang kehidupanku
Dunia bagai jeruji besi yang mengurung diriku
Bagai api neraka yang siap melahap apapun yang ada didekatnya.