"Mama dan anak anakku, papa sayang kalian semua. Kalian harus selalu hidup bersama bagaimanapun keadaannya."
"Paa..tidak. Papa pasti akan sehat kembali kan ya..papa kan sudah sadar. Kita akan berkumpul bersama ya kan?"
"Maa.."
"Sayang, Aya hiks hiks dengarkan papamu dulu ya. Biarkan papa menyelesaikannya."
Aya terdiam dalam tangisannya menatap sang papa yang berusaha tersenyum meski semua orang tengah menangis melihatnya.
"Mama, terima kasih banyak untuk selama ini telah menjadi istri dan mama yang luar biasa. Aya, putri kecil mama teruslah menjadi putri kebanggaan yang luar biasa, bagikan kepada semua orang cinta yang telah kamu miliki. Ray, anakku tumbuhlah menjadi pria dewasa yang kuat, jagalah keluarga kita dan anak anakku semuanya kalian harus saling mencintai dan saling menjaga dalam keadaan apapun. Tumbuhan menjadi anak anak kuat kebanggaan papa. Papaa..sangat mencintai kalian. Aya, sampaikan terima kasih pada seseorang yang membiayai perawatan papa, balaslah kebaikannya dengan apapun. Papa rasa, ia memiliki kebaikan yang jauh lebih dari perkiraan. Papa sayang kalian, jangan bersedih dan menangis. Papa tidak ingin melihat air..ma..ta kalian terus menetes. Pa..pa ingin istirahat.."
Papanya Aya melemas dan tangan yang dipegang sang mama pun terjatuh begitu saja. Sang mama terus saja mencium dahi papanya dan memeluk sambil menangis. Termasuk semua orang ikutan menangis karena ketidak berdayaannya untuk menahan air mata, setelah melihat monitor yang membuat mereka makin takut mendengar jawaban dari dokter.
Tim dokter yang melihat itu langsung bergegas masuk, setelah sebelumnya menunggu diluar. Salah satu dokter mengatakan bahwa papanya, Enji tidak terselamatkan dan dinyatakan sudah meninggal. Sontak itu membuat tangisan mereka lebih keras dan pecah.
Mama Sara, mamanya Aya terus mengatakan tidak pada dokter dan meminta papanya untuk bangun kembali. Ray adiknya bahkan terus menantang para dokter untuk memeriksa dan mengancam akan memukul para dokter. Ke 20 adik angkatnya terus menangi histeris sampai berteriak teriak. Aya sendiri tidak tahu harus bagaimana, ia seperti sudah kehilangan dirinya. Bahkan air matanya pun kini sudah habis, ia terjatuh lemas, dadanya sesak, ia bagaikan disambar petir yang ingin membunuhnya. Sosok yang begitu ia cintai, kini benar benar pergi. Aya melihat keluarganya yang saat ini tengah kacau, tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak bisa berfikir jernih seperti biasanya. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Aya yang biasanya sangat cerdas dalam menghadapi apapun, kini hanya terduduk lemas tak berdaya menahan air matanya, tatapannya kosong melihat para perawat yang menutup wajah papanya dengan kain.
Aya bangkit dan mendekati tubuh papanya. Ia meminta perawat untuk berhenti sebentar dan seketika itu juga, mama dan adik adiknya berhenti berteriak menangis menjadi memperhatikan Aya.
"Tunggu sebentar."
Aya mencium dahi pipi papanya dan memeluknya sesaat. Lalu ia berbicara dengan gemetaran pada semua dan masih terus menatap papanya.
"Papa, istirahatlah dengan tenang. Aya akan ja..ga mama dan adik semua. Aya akan bagikan cinta dan wujudkan segala permintaan dan mimpi papa.. Ray berikan ciuman dan pelukanmu untuk papa sekarang dan kalian semua ikuti."
Ray menatap Aya dengan air mata yang masih terus mengalir, namun ia tetap mengikuti perintah sang kakak. Begitupun adik yang lainnya, saat semua selesai Aya meminta sang mama untuk melakukannya juga. Mamanya masih menggelengkan kepala tidak percaya, namun Aya berusaha tersenyum sambil mengangguk. Ia menarik tangan mamanya dan meletakkannya di dada papanya yang terbaring. Akhirnya sang mama melakukannya juga cukup lama, Aya yang melihat itu hanya bisa menutup mulutnya menahan teriakan untuk tangisannya.
"Maaf nyonya, kami.."
"Tunggu. Maa...kita pulang ya. Kita persiapkan pemakaman terbaik untuk papa. Ray, kita pulang ya, ajak adik yang lain. Biarkan Aya yang mengurus disini, nanti Aya akan datang bersama papa ke rumah."
"Baiklah nak huhu."
"Oh ya, jangan lupa dik. Sampaikan terima kasih banyak pada lama dokter dan bibi perawat yang telah merawat papa selama ini. Ingat cara yang diajarkan papa ya."
Aya mengatakan itu semua dengan tersenyum namun masih tetap dalam air mata yang terus menetes. Ray dan ke 20 adiknya membungkukkan badan cukup lama sambil mengucapkan, "Terima kasih banyak atas bantuannya, kami mencintai kalian." Mendengar itu semua, tim dokter dan perawat tersentak kagum, ternyata sosok tuan Enji begitu luar biasa mendidik anak anaknya sekalipun anak angkat. Lalu Aya dan Mamanya yang giliran mengucapkan terima kasih pada mereka. Setelah itu, mereka keluar dari ruangan dan membiarkan para dokter dan perawat yang mengurus papanya terlebih dahulu.
Aya menelpon Kim untuk dimintai tolong mengantarkan mama dan adik adiknya, ia tidak mungkin membiarkan mamanya Sara dan adiknya Ray mengemudi mobil dalam keadaan seperti ini.
Kim yang sedari tadi menemani Kenzo melihat semua kejadian keluarga Aya yang menangis histeris setelah Enji meninggal Kim hanya menunggu perintah selanjutnya dari tuannya. Kenzo hanya menunggu di ujung koridor ruang ruang VVIP.
"Tuan Muda, apa yang anda tunggu? Perkiraan anda sudah benar dan mereka akan pulang mempersiapkan untuk pemakaman."
"Tunggu sebentar. 1, 2, 3..angkat!"
Suara dering handphone Kim berbunyi bersamaan dengan selesainya perkataan Kenzo. Kim tergagap karena terkejut akan perkiraan yang selalu benar dari tuan mudanya. Ia mengangkat telepon yang datang dari Aya.
"Halo nona!"
"Pak Kim, saya perlu bantuan anda. Bisakah anda mengirim teman anda untuk mengantar mama dan semua adik saya. Kami bawa dua mobil namun, saya tidak akan membiarkan mama dan adik saya mengemudi. Tolong..pak Kim..saya mohon..papa saya sudah.."
Suara Aya kini berubah menjadi nafas nafas dbalik tangisannya. Kim melirik pada Kenzo dan ternyata Kenzo sudah mendengarkannya. Kenzo menganggukan kepalanya tanda menyetujui.
"Nona Takahashi tenanglah. Saya sendiri akan mengantarkan mereka. Saya akan membawa dua teman saya dan membawa satu mobil lagi. Kami akan segera menghampiri anda. Mohon tenang dan tunggu. Saya turut berduka cita juga."
"Terima kasih Pak Kim."
Telepon dimatikan, Kenzo segera memintanya untuk segera menghampiri Aya. Tanpa bertanya lagi Kim langsung bergegas pergi dan meminta teman lainnya yang menunggu diluar untuk datang juga ke tempat Aya dan keluarganya sedang menunggu.
***
Aya sudah mengurus prosedur rumah sakit atas nama papanya. Kini papanya akan di antar kan ke rumahnya dengan ambulans.
"Nona Takahashi, apakah anda ingin ikut bersama kami?"
"Tidak, saya akan pulang sendirian nanti. Tidak apa, tolong antar kan papa saya sampai rumah ya. Tolong sampaikan pada keluarga saya juga, saya akan segera pulang. Terima kasih banyak atas bantuannya."
"Baik nona, nona berhati hatilah."
Aya tersenyum dibalik kesedihannya yang mendalam. Rasanya ia ingin meluapkan segal emosinya. Petugas ambulans berlalu pergi meninggalkan Aya.
Aya berjalan sendirian ke luar area rumah sakit. Ia merasa seperti kehilangan dirinya. Ia hanya terus melangkahkan kakinya dengan air mata yang terus mengalir. Ia tidak merasakan kelelahan, ketakutan atau kedinginan sedikit pun meski kini sudah pukul 2 dini hari.
Aya menghentikan langkah kakinya saat di trotoar jalan raya. Ia menghadap ke arah sungai yang mengalir dibawah jembatan tempat ia berdiri. Ia menatap jauh ke arah sungai dihadapannya. Muncul pikiran bodoh dalam otaknya, apakah kalau ia terjun akan bertemu sang papa? Akan berkumpul dengan papa? Namun bayang bayang tawa bahagia keluarganya menghantui dirinya dan membuatnya menghapus pikiran bodoh itu. Air matanya makin menjadi deras, ia menatap langit yang hanya dihiasi bulan tanpa bintang. Aya mengatakan dengan lirih, apakah langit juga berduka? Aya makin tak bisa mengendalikan dirinya. Dadanya sesak dan kepalanya terasa berat, ia memukul dadanya berulang kali dan memukul kepalanya berulang kali hingga rambut panjangnya pun turut menutupi wajah mungilnya.
Saat Aya semakin keras berteriak dalam tangisannya dan hendak memukul kepala dengan tangan mungilnya, tiba tiba saja ada tangan seseorang yang menghentikannya.
Aya menundukkan kepalanya sesaat, lalu menoleh pada seseorang yang masih memegang tangannya. Samar samar Aya berusaha melihat wajah orang itu dibalik rambutnya yang sangat acak acak kan dan dibawah sinar bulan serta hanya dibantu cahaya lampu yang remang remang.
Aya bisa memastikan bahwa itu seorang pria ber jaz rapi. Pria itu melepaskan pegangannya, dan mendekati Aya lebih dekat. Namun Aya mundur dengan langkah gontai.
"Sii..apa kamu?"
"Aya.."
"Kamu..kamu tahu namaku? Siapa kamu? Huhu..untuk apa kamu kemari..?"
Entah mengapa Aya kembali menangis begitu mendengar suara lembut namun terlihat tegas seperti suara papanya memanggil saat ia masih kecil. Pria itu mendekati Aya hingga jaraknya sangat dekat dan hanya berjarak 30 cm. Pria itu merapikan rambut Aya yang menutupi matanya sambil memegang salah satu bahu Aya agar tidak bergerak. Sedikit demi sedikit, Aya bisa melihat wajah seseorang yang ada dihadapannya. Namun, Aya tidak ingin melihat wajah seseorang itu. Aya memejamkan matanya sebelum rambutnya selesai dirapikan. Ia berusaha melepaskan diri namun ia tidak memilki tenaga.
"Cukup Aya! Aya, jangan memukuli dirimu lagi. Jangan menyiksa dirimu lagi. Buka matamu dan lihat aku."
Aya menggelengkan kepalanya sambil terpejam dan berusaha melepaskan dirnya. Meski mata Aya terpejam namun air matanya masih terus menetes. Pria itu langsung memeluk Aya dalam dekapannya sehingga Aya benar benar tidak bisa bergerak.
Pria itu membelai rambut Aya dan membisikan dengan lembut ditelinga Aya.
"Maaf Aya, maaf baru saat ini aku bisa menemui mu. Maaf untuk waktu yang kamu habiskan mencari ku. Maaf, jangan menangis lagi."
Aya yang mendengar itu sangat terkejut dan membuka matanya dalam dekapan pelukan pria itu. Pria yang memeluknya tahu bahwa selama ini Aya mencarinya. Lalu Aya mencium parfum yang sepertinya familiar dengannya, ia ingat ini parfum yang sama di jaket hoodie. Jaket yang menurutnya mungkin saja milik CEO perusahaannya. Mungkinkah ini tuan yang selam ini ia cari? Mungkinkan ini CEO? Mungkinkah mereka orang yang sama? Semua pertanyaan berterbangan di pikiran Aya. Aya pikir mungkin ini kesempatan untuk tahu akan semuanya dan mungkin ini apa yang dikatakan Kim bahwa tuannya sendiri yang akan menemui Aya disaat yang tepat.
"Apa..apakah kamu...?"
Aya tidak bisa melanjutkan perkataannya, sampai pria itu mencium kepalanya dan berkata lembut pada Aya.
"Ada apa Aya? Aku yakin kamu sudah tau siapa aku? Kamu hanya ingin memastikan bukan? Tapi bagaimanapun jawabanmu, aku tidak akan pernah melepaskan dan membiarkan air mata kesedihanmu terus bermunculan. Apa yang aku lakukan untukmu tidak ada alasan untuk itu, karena aku telah memilihmu dan ingin mendapatkanmu, Aya Sheinafia Takahashi."
"Kamu..."
"Kamu boleh melihat wajahku, jika kamu siap dan tidak seperti tadi yang memejamkan mata."
Aya terpana mendengar perkataanya, ia tak habis pikir bila ini CEO yang kabarnya sangat dingin dan ada sikap manis sedikitpun bahkan untuk berkata banyak tidak akan selain urusan bisnis. Tapi...bagaimana dengan sekarang? Apakah ini kepribadian aslinya? Ataukah ini orang lain? Aya harus memastikannya.
"Aku..ingin melihat siap dirimu."
Pria itu mencium kepala Aya dan melepaskan pelukannya. Aya menundukkan kepalanya sambil menghembuskan nafasnya dengan sangat dalam. Ia menepuk nepuk pipi dan mengusap matanya, yang ternyata air matanya sudah berhenti sejak Aya dipeluk sosok pria di hadapannya. Aya melangkah mundur selangkah dan perlahan mengangkat kepalanya.
Aya sangat terkejut dan tak bisa berkata kata. Matanya berkaca kaca, Aya terus mundur menjauh dan hingga mengalihkan pandangannya. Pria itu masih diam ditempat sambil tersenyum dan memanggil namanya dengan marga, tepat seperti saat ia meminta izin ke pulang. Suara dan senyuman lembutnya membuat Aya masih tak percaya. Apa yang ia pikirkan dan apa yang ia perkirakan, benar semua. Selama ini, ia hanya berjalan ditempat, ini salahnya karena tidak pernah berani mengambil keputusan yang lebih lebih berani.
"Nona Takahashi ada apa? Bukankah kamu ingin melihatku? Aya, ini Aku Kenzo Shaquille Dietrich."
Aya berusaha berdamai dengan jiwa dan pikirannya. Ia berusaha berdiri tegap dan mendekat ke Kenzo lalu menundukkan kepalanya.
"Maaf CEO Ken."
Kenzo yang melihat itu menunjukkan ekpresi tidak suka. Ia mendekat ke telinga Aya dan membisikkan sesuatu.
"Diluar perusahaan, panggil aku Kenzo, Ken. Tidak perlu formalitas seperti itu."
Aya masih menundukkan kepalanya saat mendengar itu. Ia masih belum bisa menerima situasi apa ini. Ia mengangkat kepalanya dan melihat tepat wajah Kenzo yang mendekat pada wajahnya. Aya berteriak spontan dan membuat Kenzo menepuk kepala Aya sambil tersenyum.
"Sudah, sudah. Aku tau banyak yang ingin kamu tanyakan padaku. Kita masih akan memiliki banyak waktu. Kali ini, aku tidak akan sering pergi untuk perjalanan bisnis dan aku akan menjawab semua pertanyaanmu. Sekarang kita harus pulang ke rumah. Semua tengah menunggu kita, termasuk papamu. Ayo.."
Kenzo merangkul Aya untuk masuk ke mobilnya. Ia membukakan pintu untuk Aya dan memasangkan sabuk pengaman sambil tersenyum menghadap Aya. Aya yang merasa sangat dekat seperti itu sejujurnya sangat gugup. Ia benar benar tidak mengerti apa yang terjadi saat ini. Ini mimpi, ilusi ataukah kenyataan. Kenzo yang melihat Aya memejamkan mata dengan menahan nafas dan ekspresinya tertawa kecil. Ia membisikan sesuatu ditelinga Aya, "Pengendalian dirimu cukup kuat ya gadis kecil." Setelah itu Kenzo menutup pintu Aya dan kembali ke tempat duduknya dan mengemudi ke arah rumah Aya.