Telah sebulan papanya Aya dirawat di rumah sakit tanpa kepastian. Selama ini mereka bergantian menjenguknya, meski mereka tau Enji, sang papa tidak sadarkan diri selama ini. Keluarganya masih diliputi kesedihan karena kehilang tawa dan hadirnya orang yang di cintai di tengah tengah mereka.
Aya tidak jadi memutuskan pergi ke Inggris untuk kuliah S2 nya, ia telah memutuskan akan menemani mama dan adik-adiknya. Kini ia membantu mamanya mengelola restoran yang tidak terlalu ramai karena mereka tidak buka seperti saat ada papanya. Ia kini benar benar merasakan kehilangan dirinya, tak seperti dulu. Aya sekarang tak merencanakan segala yang ada di hidupnya secara detail. Ia hanya fokus bagaimana membahagiakan keluarganya, bagaimana ia harus membiayai mama dan adik adiknya, dan bagaimana ia harus melanjutkan permintaan papanya. Setiap mengingat hal itu, Aya hanya bisa memejamkan mata dengan tetesan air mata keluar dan menghela nafas berulang kali.
Adiknya, Ray mengetuk pintu kamarnya yang terbuka. Setelah Aya mengizinkan untuk masuk, ia mulai masuk dan bicara pada Aya.
"Kak, I need your help. Boleh bicara sebentar?"
"Bicaralah, kakak akan mendengarkan"
"Jadi, Ray perlu tambahan uang untuk kuliah kak. Kakak kan tau sendiri bagaimana kuliahnya Ray. Ray ngga berani bilang ke mama."
Aya tersenyum memandang adiknya yang sangat dewasa ini, yang tengah kuliah di tingkat dua. Ia mengelus kepala adiknya sambil menenangkan adiknya.
.
"I know that so well, don't worry. Kakak akan cari caranya supaya kamu kuliah dengan lancar ya. Sekarang istirahatlah ke kamarmu."
Adiknya mengangguk tersenyum lebar dan langsung memeluk Aya dengan erat. Lalu adiknya kembali ke kamar dan setelahnya ia menyandarkan dirinya ke sofa di kamarnya.
Aya merenungkan apa yang dibicarakan adiknya. Memang pendapatan keluarga Aya jauh menurun setelah kepergian papanya, mereka kini lebih memfokuskan pada keluarga daripada berlama lama di luar, jadi dalam sebulan ini mereka hanya bergantung pada pendapatan restoran, tabungan mama papa, dan harus rela menjual satu mobil milik mereka. Aya bersyukur ia tidak perlu memikirkan perawatan papanya, meski begitu ia merasa berhutang pada perusahaan itu. Sekarang, Aya lah yang mengatur semua keuangan kini, termasuk untuk mengurus adik adik adopsi keluarganya.
"Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Baru sebulan papa tidak disini, kami harus seperti ini. Ternyata benar kata mama papa, tidak semua berada di jangkauan kita. Maaf paa.."
Aya memejamkan matanya sesekali lalu bangkit membuka lemari pakaiannya dan mengambil salah satu kartu berisi tabungan pribadinya hasil dari beasiswa, lomba atau penghargaan lainnya. Ia tersenyum dan berkata sepertinya rencana dalam hidupnya akan berubah lagi dan mengharuskannya untuk menggunakan uang ini.
***
Pagi hari, Aya masuk ke kamar mamanya untuk berbicara serius. Ia melihat sang mama tengah duduk di balkon kamar, tempat biasanya sang papa duduk. Terlihat sekali ekspresi mamanya seperti kehilangan jiwanya, namun saat Aya mengetuk pintu dan memanggilnya sang mama berusaha untuk tersenyum lebar. Aya yang melihat itu, merasakan sakit di hatinya dan ia tidak bisa menunjukkan pada mamanya.
"Ma, I want to tell you something"
"Okay, bicaralah nak"
"Aya akan pergi melamar pekerjaan"
"Hah? Apa? Nak, kamu bercanda?"
"No, aku serius ma. Aya tau apa yang mama khawatirkan, mama jangan lupa. Aya masih Aya yang kuat dan cerdas tentunya."
Aya mengangkat telapak tangannya sambil tersenyum lebar hingga membuat mamanya tersenyum sambil membelai rambut putrinya yang masih berusia 20 tahun. Ia lebih dewasa dibanding teman sebayanya.
"Baik, baiklah sayang, mama tau itu. Jadi, mengapa begitu mendadak? Apa keuangan kita tidak cukup?"
"Aya sudah memikirkan ini sejak lama ma. Kini Ray sudah kuliah dan adik lainnya semakin besar dan butuh keperluannya yang banyak juga. Selain itu, Aya tidak ingin mama khawatir tentang adik adik dan Aya. Itulah mengapa Aya memutuskan untuk bekerja, kita mulai tabung lagi ya ma untuk kehidupan kita nantinya. Mama harus sehat menemani papa sampai akhirnya nanti papa akan bangun, kita akan berkumpul lagi. Jadi, saat papa bangun kita akan bersenang senang lagi."
Mamanya tersenyum menatap dalam Aya dalam diamnya yang sesaat. Mamanya menggenggam tangan kecil putrinya ini.
"Sayang, mama tau kamu sangat peduli dengan keluarga kita. Tapi apa kamu akan sanggup menjalani ini semua? Kamu masih sangat muda, nikmatilah waktumu nak. Oh ya, dan setelah sebelumnya semua tawaran kamu tolak, apa kamu bisa melaluinya?"
"Dengan doa mama dan harapan papa, Aya pasti akan sanggup ma. Aya akan sangat menyukai apa yang akan Aya jalani. Percayalah ma, Aya tidak akan membuat khawatir mama akan diri Aya, karena ini semua datang dari keinginan Aya sendiri."
Mamanya masih terdiam menatap putri kecilnya yang berusaha untuk terus menjadi dewasa. Ia tidak mengira, kepribadian Aya yang sebelumnya hanya fokus pada dirinya sendiri sehingga membuat dirinya selalu serius dan tanpa cinta yang tulus. Kini justru membuat Aya menjadi pribadi yang dewasa dan sangat peduli akan sekelilingnya.
"Maaa..percayalah pada Aya ya. Lagi pula prestasi Aya sangat baik dan fresh graduate hehe. Aya pasti akan banggain keluarga kita."
Mamanya menghela nafas setelah melihat tingkat lucu putrinya yang merayunya. Mamanya hanya bisa berkata dalam hati, "Tidak peduli seberapa dewasanya kamu, Aya tetaplah putri kecil mama dan papa yang begitu berharga."
Akhirnya Sara, sang mama mengizinkan Aya untuk pergi melamar pekerjaan. Aya langsung memeluk sang mama yang semakin hari semakin bertambah usia dan ditambah kesehatannya menurun semenjak sang papa yang tidak sadarkan diri.