Lumiora pergi setelah Yuna berada di tangan para suster dan dokter. Langkahnya cepat dan semakin berlari menuju ke sebuah bukit. Lagi-lagi kakinya membawa dia ke tempat yang dia ketahui adalah rumah lamanya. Napasnya terengah-engah karena berlari untuk sampai ke depan pohon kering tak berbunga itu. Dia menyentuh lehernya yang menyala sejak dia melihat bayangannya di kaca mobil.
Ingatannya masuk ketika dia berada di perjalanan menuju rumah sakit tadi. Sesuatu yang familier dengan kejadian barusan, seperti dejavu. Dan di sinilah dia, mengharapkan jawaban dari pohon yang selalu membuatnya terus kembali.
"Kamu masih saja sering ke sini," ucap seorang laki-laki di belakang tubuh Lumi.
Sontak gadis itu membalik tubuhnya dan tersentak mendapati pria berjubah semalam ada di depannya lagi. Masih dengan penutup matanya, entah bagaimana dia bisa melihat dirinya dan jalanan di depannya.
"Kamu ... siapa sebenarnya kamu?!" tanya Lumi dengan tegas.
"Tidakkah kamu mengingatku? Bukankah itu alasanmu datang ke sini terus?"
"Apa maksudnya? Aku tidak mengerti. Aku ... rasanya aku memang selalu ingin kembali, tapi aku tidak tahu kenapa."
"Aku kecewa padamu, Lumi."
Jantung Lumi seakan tertohok. Pria itu berbalik hendak pergi lagi, tapi Lumi menahannya dan berlari mendekat.
"Katakan padaku! Kalau kamu mengenalku, kamu tahu sesuatu tentangku, kan? Tolong beritahu aku!"
Pria itu berbalik lagi membuat Lumiora mundur satu langkah.
"Kalau kamu begitu merindukannya, kenapa tidak mencoba lebih keras lagi untuk mengingat semuanya?"
Tiba-tiba pria itu mendekat dengan cepat dan mengangkat dagu sang gadis. Napas mereka beradu, Lumiora terpojok karena tidak bersiap dengan serangan dadakan.
Bibirnya mendekat, tapi kemudian berhenti di sana. "Aku ingin membantu, tapi ini jadi tidak asyik lagi, Lumi. Aku mengharapkan perjuanganmu yang dulu!"
Seketika angin kencang menerpa wajah gadis itu dan meninggalkannya sendirian. Lumiora menoleh ke kanan dan kiri, lalu ke belakangnya. Sepersekian detik itu dia melihat seorang anak perempuan dengan dress putih panjang di bawah pohon sakura yang bermekaran. Gadis itu membelakangi Lumi dan menatap sesuatu di depannya. Lebih tepatnya seseorang yang tidak bisa dia lihat, orang itu berada dalam bayangan. Dan penglihatan itu pun sirna seiring Lumiora mengerjapkan matanya bersamaan sebuah sayap hitam membentang menyapu angin.
"Apa itu barusan?" tanyanya menatap pohon tandus di depannya.
Hatinya mulai cemas dan merasa hampa, tanpa sadar hatinya pun menangis.
***
Malam itu Lumiora termenung menatap langit di kursi balkon apartemennya. Dia ingat kalau dirinya pernah menjelajah beberapa negara di dunia hanya untuk mengerjakan sesuatu. Uangnya tidak pernah habis karena dia selalu mendapat juara di sekolah, lomba nasional dan internasional. Dia juga sempat dijuluki gadis cerdas dan diminta bekerjasama di lab perusahaan besar. Uangnya terus mengalur dari sana. Dan semua itu berkat kehidupannya yang terus berulang.
Tubuhnya abadi, tapi waktu terus berputar puluhan tahun, dia tidak tahu harus ke mana lagi kalau tidak mengulang semua pelajaran yang dia terima. Dengan begitu dia menghapal semua rumus dan materi, sampai ingat di luar kepala. Meski begitu, dia tetap meundur satu langkah untuk tidak membuat anak lain minder. Bagaimana pun dia ini hanyalah orang tua yang terus mengulang sekolah.
Matanya menatap satu bintang yang berkelip, di kota sulit sekali melihat bintang di langit malam. Ingatannya tentang jati dirinya itu tidak pernah benar-benar menghilang. Dia sangat bingung kenapa hanya tujuan hidupnya yang tidak dia ketahui? Kenapa ada kerinduan? Dan kenapa pria berjubah itu mengenalnya. Hatinya berdenyut ketika pria itu mengatakan kecewa.
"Pasti ada sesuatu di antara kami, aku bukanlah manusia biasa, begitupun dia. Aku harus bertemu lagi dengannya!"
Kemudian dia bangkit dan kembali ke dalam menutup pintu balkonnya. Dia melangkah menuju kamarnya, tapi kakinya berhenti di tengah ruangan. Perasaan kesepian selalu memeluknya erat. Dia takut, akhirnya dia pergi ke sofa ruang televisi. Di sana selalu tersedia selimut dan bantal, beberapa hari ini dia selalu tidur di ruang teve dan menyalakan teve dengan timer yang akan mati di jam satu malam.
Sebelum dia memejamkan matanya, ada pertanyaan baru dalam benaknya. "Sebenarnya kenapa aku bisa jadi begini?"
***
Esok paginya, dia terbangun di jam yang sama setiap hari. Tapi, kali ini dia malah menghela napas berat. Dia duduk menyibak selimutnya dengan kesal.
"Sekolah lagi sekolah lagi! Kapan semua ini berakhir? Apa aku mati saja?!" teriaknya.
Rambutnya diacak-acak. Dia duduk menghadap televisi dan menatap pantulan dirinya yang buram di sana.
"Sudahlah, sudah waktunya aku membolos. Seratus tahun terlewati rasanya belum sekali pun aku jadi anak nakal. Sepertinya patut dicoba!"
Kemudian dia bangkit dan segera mandi. Tapi, dia tidak memakai seragam sekolahnya itu melainkan tangtop hitam dibalut kardigan lengan panjang berbahan kaus yang panjang ke bawahnya sampai lutut. Mirip dengan jas-jas laboratorium berwarna putih agak krem. Dipadu dengan celana jeans hitam.
Lumiora meraih tas selempang kecil yang hanya berisi dompet dan ponselnya sebelum memakai sneakers dan mengunci pintu keluar.
Kakinya berlari dengan ringan menuju ke tengah kota. Menghirup udara pagi di kota yang penuh dengan lalu lalang pejalan kaki dan asap kendaraan. Dia mulai menjelajah internet di ponselnya. Mencari seorang peramal hebat yang mungkin bisa membantunya melihat masa lalu. Cukup lama dia berdiri di depan gedung elektronik dan bersandar di dindingnya. Akhirnya dia berdiri tegap ketika menemukan apa yang dia cari. Ada seorang peramal terkenal sejak satu abad lalu yang turun temurun, di desa Reksu. Sekitar dua puluh menit dari sini menggunakan kereta.
Namun, ketika dia menunggu kedatangan kereta di tengah-tengah peron, ada makhluk menyeramkan itu lagi. Dia berdiri di belakang tubuh seorang pria kantoran yang sudah memakan kepala sampai ke matanya. Lumiora melihatnya dengan panik. Suara peringatan kedatangan kereta sudah berbunyi. Orang itu berdiri di ujung peron, mau tak mau Lumi harus menerobos orang-orang yang sudah mengantre di sepanjang peron.
"Permisi-permisi!" pintanya dengan terburu-buru.
Jantunngnya berdegup kencang ketika dia berada lima meter dari pria itu. Dia kesulitan melewati seorang pria besar di sana. Matanya membelalak ketika monster itu telah memakan sebagaian tubuh sang pria sampai ke dadanya. Tubuhnya bergetar dan setelah berhasil lepas dari kerumunan yang mulai maju seiring kedatangan kereta, Lumi terpaku di tempat dan menoleh ke arah belakangnya dengan cepat. Semua orang berteriak dan berhamburan keluar peron.
Tubuh ramping gadis itu jadi terhantam beberapa orang yang hendak pergi dari sana. Bergegas Lumiora mundur ke ujung peron tempat di mana pria dengan monster tadi berdiri. Para penjaga berdatangan dan mengamankan warga.
Lumi sendiri masih terkejut, sekelebat ingatannya pun kembali. Gadis itu pernah mencoba untuk tidak peduli pada semua orang, hingga mereka pun mati. Seseorang yang seharusnya bisa dia tolong, tapi harus merenggut nyawa karena ketidak peduliannya. Karena keegoisannya yang lelah pada kehidupannya yang begitu-begitu saja. Rasa sesal kembali menyeruak di dalam dada Lumiora. Kepalanya sakit dan dia terjatuh ke lantai meremas kepalanya yang pening dipenuhi semua ingatan yang terus menerjang.
Segala pertaruangan, darah, kata-kata bijak, sampai senyuman seseorang yang berhasil dia selamatkan terus berkeliaran di kepalanya seperti kaset rusak yang terus berulang. Tidak hanya itu, ingatan tentang kegagalan menyelamatkan banyak oranglah yang membuatnya paling menyakitkan.