Malam itu menjadi saksi pertemuan mereka kembali, di bawah sinar bulan purnama. Namun, hanya satu ingatan yang tersimpan. Lumiora tidak berhasil mengalahkan sosok pria berjubah hitam itu.
Serangan hujan asamnya hanya mengenai jubahnya sampai rusak sebagian. Tapi, wajah pria itu muncul kembali dari balik jubah pelindungnya. Tentu saja seringai itu kembali terlihat.
"Nampaknya kamu sudah semakin menguasai kekuatanmu, kamu memang sudah memiliki rasa percaya diri yang kuat sejak awal. Selamat, Lumiora!" ucapnya.
Sekejap mata, pria itu mendekat kembali. Tangan kirinya merangkul pinggang Lumiora dan lainnya mengangkat dagu gadis itu untuk ditatapnya dalam-dalam.
"Lain kali kita akan bertemu lagi, tapi cobalah lebih keras untuk mengingat tujuan hidupmu dan siapa kamu sebenarnya," bisiknya dengan wajah yang begitu dekat.
Tubuh Lumiora seolah kaku dan tak bisa bergerak menatap penutup mata di wajah pria itu. Angin pun kembali berembus kencang membuat Lumiora refleks menutup matanya dan memalingkan wajah. Seketika senyap lagi. Pria itu menghilang ditelan bumi. Lalu, sekumpulan orang pekerja berjalan dari ujung jembatan untuk melewatinya. Keadaan sudah kembali normal, pikirnya.
Jantung gadis itu berdebar hebat, seolah ada sesuatu yang membangkitkan semangatnya lagi seperti dulu. Kakinya kemudian melangkah ke jalan tadi untuk sampai ke apartemen di tepi sungai itu. Hanya lima ratus meter dari sini.
Setelah sampai di rumahnya. Gadis itu menaruh ransel di sembarang tempat dan langsung pergi ke dapur untuk mencuci tangan. Kemudian dia meraih perban di kotak obat yang menggantung di dinding samping meja bar yang masih nyambung dengan dapurnya.
Setelah dia membalut tangannya yang tadi terluka, dia pun mengempaskan tubuhnya di sofa ruang televisinya. Matanya terpejam mengingat kembali kejadian tadi.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa dia? Monster? Siluman? Atau apa? Apa tujuanku hidup di dunia ini untuk membunuhnya?" batinnya dalam hati.
"Tapi, aku tidak tahu dia itu apa. Dia membuat darahku bergejolak dan hati ini kembali bersemangat." Tiba-tiba dia membuka mata dan duduk di sofanya.
Dia menyalakan berita kalau-kalau ada sebuah petunjuk yang terjadi di kota. "Mungkinkah dia akan menghancurkan kota ini?" tanyanya sembari terus menekan tombol remot untuk mencari berita terkini.
Ditunggunya berita yang sekiranya besar, tapi tidak ada. Kebanyakan hanya berita pencurian atau politik. Akhirnya dia bangkit untuk mengisi air hangat di kamar mandi, begitu balik lagi sembari menunggu penuh, ada sebuah berita yang membuat kakinya berhenti di tempat.
Nampak seorang murid sekolah yang bunuh diri dari atas gedung sekolah. Lumiora menelengkan kepala, berita itu nampak biasa saja, tapi tubuhnya bergetar.
"Kenapa? Kemarin juga banyak yang bunuh diri, tapi aku tidak pernah merasakan getaran sehebat ini saat melihatnya. Apa ini ada hubungannya dengan makhluk tadi?"
Lumiora pun kembali ke kamar mandi dan menanggalkan semua pakaian untuk berendam di dalam bak yang sudah terisi air hangat.
Tubuhnya mulai rileks, tapi otaknya tidak mau berhenti memikirkan pria tadi. Sorot matanya membuat jantung berdebar. Matanya terpejam, tapi air mata mengalir begitu saja. Rasanya seperti bertemu dengan sesuatu yang sudah lama dia rindukan.
***
Keesokan harinya dia kembali ke sekolah dengan lebih bersemangat. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Tepat di jalan sebelum masuk ke gedung sekolah, dia melihat seorang murid yang diikuti oleh bayangan hitam. Lumiora mempercepat langkah untuk bisa mengamati murid itu dari dekat.
Matanya terbelalak ketika mengetahui apa yang tengah mengikuti sang murid perempuan itu. Sesosok makhluk hitam pekat dengan wajah tanpa mata, hanya ada mulut yang besar. Mulut itu terus terbuka seolah siap menyantap manusia di depannya dengan gigi yang tajam. Tubuh makhluk itu sendiri berbentuk aneh. Sangat kurus dengan rusuk besar yang hanya tulang di balik jubah transparan yang menutupinya. Tubuhnya tidak proporsional. Kepalanya besar dan hanya memiliki mulut, tulang dadanya besar sedangkan tulang perut dan kakinya kurus. Jalannya juga terhuyung-huyung.
"Kenapa?" tanya murid perempuan itu karena merasa diperhatikan.
"Eh, tak apa-apa. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Luimora balik.
"Hmm, aku tidak apa-apa kok," jawab murid itu dengan wajah muram.
"Apa kamu merasa tengah diikuti sesuatu? Atau tubuhmu merasakan ada yang aneh?"
Murid itu berhenti di depan loker sepatunya dan menatap Lumiora dengan aneh.
"Tidak, biasa saja. Aku hanya sedang tidak enak badan. Memang kenapa? Kamu ini anak dari kelas dua dua, kan?"
"Ah, iya. Namaku Lumiora, siapa namamu?"
Anak itu meraih tangan Lumiora dengan ragu. "Yuna," jawabnya singkat kemudian pergi dengan uwabaki, sepatu khusus di dalam sekolah.
Sedangkan Lumiora kebingungan menatap makhluk itu. Sepertinya anak itu tidak menyadarinya, begitupun makhluk seram itu, dia tidak melihat Lumiora di sana atau lebih tepatnya tidak peduli.
Dan ketika jam pulang sekolah berbunyi, dia berlari keluar kelas dengan cepat, mencari Yuna. Setelah dia bertanya pada salah seorang temannya, dia pun pergi ke sebelah ke lantai tiga. Yuna adalah kakak kelasnya. Dengan cepat dia berlari menerobos kerumunan anak-anak kelas tiga yang turun.
Matanya juga awas mencarinya di kerumunan itu, tapi tidak ada. Setelah sampai di lantai tiga itu, dia menyapu seluruh lorong di kanan dan kirinya. Nampak masih banyak anak-anak yang baru keluar kelas. Lumiora melangkah mencari kelas tiga tiga, di sana. Lalu, kakinya berhenti ketika menemukannya, dan Yuna masih duduk di bangkunya sendirian. Lumiora hanya mengintip dari balik pintu yang terbuka lebar semabri menunggu semua orang keluar.
Gadis itu mengepal tangannya karena makhluk seram tadi masih ada di belakangnya lebih dekat dan menempel dengan punggung gadis itu.
Begitu dia melangkah masuk, Yuna sudah berdiri dan melangkah dengan gontai melewatinya.
"Yuna!" panggil Lumi dengan wajah heran.
Gadis yang dipanggil itu pun berhenti dan menoleh, tapi tatapannya kosong. "Kamu lagi?" tanyanya.
"Kamu mau ke mana? Mau pulang bersama denganku?"
"Tidak terima kasih, tolong jangan ikuti aku. Aku masih ada urusan lain."
Yuna pun berjalan lebih cepat meninggalkan Lumiora. Tapi, gadis pucat itu tak menyerah, dia mengikuti Yuna dari jauh menuju ke lantai paling atas.
"Untuk apa dia ke atap sekolah?" bisik Lumiora dari bawah tangga melihat Yuna yang membuka pintu luar.
Lumiora segera menyusul dan begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Yuna sudah berdiri di depan pagar kawat yang kuat dan tinggi.
"Apa yang dia lakukan di sana?"
Tak lama Yuna mengeluarkan sebuah tang dari dalam ransel, lalu memotong kawat itu satu-satu. Lumiora yang masih kebingungan tetap menunggu di depan pintu. Setelah beberapa saat pagar itu berhasil dibobol dan sekolah semakin sepi. Semburat oranye mulai mewarnai langit.
Yuna berdiri dan makhluk itu mulai memakan bagian kepala sampai mata Yuna. Lumiora terkejut dan berlari mendekat.
"Yuna!" Panggilannya sudah tidak didengar oleh gadis beranama Yuna itu.
Kemudian dia menunduk untuk melewati pagar yang sudah dia lubangi. Lumiora menarik lengan Yuna untuk menahannya. Tapi, tangan makhluk itu menggerakkan tangan Yuna dan mengempaskan Lumiora sampai terjerembab jauh.
Lumiora berusaha memanggilnya lagi, dengan cepat dia bangkit dan merogoh benda tajam yang selalu dia bawa di saku roknya. Dengan cepat dia melepas perban di tangannya. Lalu dia berlari mendekati Yuna sembari menggores tangan. Hingga luka yang semalam itu kembali terbuka dan mengucurkan darah segar.
Makhluk seram yang sudah berdiri di pinggir atap gedung bersama tubuh Yuna langsung menoleh karena mencium aroma darah milik Lumiora.
Saat itulah Lumiora berhenti ketika pedangnya terbentuk. Sang monster melompati pagar kembali ke dalam bersama tubuh Yuna yang sudah dimakan sampai kepalanya. Tubuh mereka seolah menyatu dan sang monsterlah yang menguasai. Monster itu menyeringai karena penasaran dengan darah itu.
Lumiora sekarang kebingunngan, dia tidak bisa menyerang tubuh Yuna. Monster itu pun menyerang dengan lengan Yuna yang bergerak mengeluarkan lendir hitam. Refleks Lumi mundur menjauh dan melihat lendir itu melepuk di atas aspal.
Gadis pucat itu berlari mendekat dan melompat-lompat demi menghindari serangan lendir tersebut. Hingga dia melompat tinggi dan berguling di udara sampai mendarat di belakang tubuh sang monster. Tanpa buang waktu, dia menebaskan pedangnya ke sana dengan penuh perhitungan.
Tak lama, monster itu mengeluarkan suara erangan dan asap mengepul keluar dari sayatan pedang Lumiora tadi. Dia pun buru-buru menghindar dan makhluk itu meleleh lepas dari tubuh Yuna. Bergegas Lumiora melompat menangkap tubuh Yuna yang hendak jatuh, dan membawanya ke tampat yang lebih aman jauh dari pagar tadi.
Gadis bernama Yuna itu masih tidak sadarkan diri. Akhrinya Lumiora memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.