Saat ini Nerva di landa kebingungan saat melihat kediaman Licia yang cukup luas. Nerva tak menyangka bahwa Licia adalah orang yang cukup kaya disana. Sesuai dengan perjanjian awal, bahwa Nerva akan tinggal bersama Licia untuk sementara waktu.
"Hei jangan melamun, ayo masuk!" Licia menepuk pelan pundak Nerva.
Nerva terkejut, lalu ia mengangguk kaku dan mulai mengikuti Licia masuk. Saat Nerva masuk, hal pertama yang menyambutnya adalah rumah bernuansa hitam putih. Memang terbuat dari bahan yang sederhana, tapi terlihat sangat kuat.
Serta aroma yang cukup harum yang memasuki indra penciuman Nerva.
"Nerva, dari sini berjalan lurus ke arah kiri maka kau akan menemukan kamarmu. Istirahatlah dulu, akan ku siapkan makan malam." Ujar Licia lalu melenggang pergi meninggalkan Nerva.
Nerva mengangguk paham, lalu melangkah ke arah yang sudah Licia beri tahukan tadi. Saat sampai, Nerva bingung karna ada dua pintu kamar.
Waduh, tadi kak Licia tak mengatakan kamarku yang sebelah mana. Batin Nerva bingung.
Dengan gugup Nerva menggeser pintu kamar sebelah kanan, dan saat pintu tersebut terbuka mata Nerva melebar saat melihat Ravinno didalam kamar tersebut. Saat itu Ravinno sedang membalut telapak tangannya menggunakan perban, ia mengenakan kaos pendek berwarna merah dan juga celana panjang.
"RAVINNO?!" pekik Nerva.
Karna mendengar suara jeritan Nerva, Ravinno yang tadinya sedang membalut telapak tangannya dengan perban pun menoleh. Ravinno juga sama terkejutnya dengan Nerva.
"Kalau ingin masuk ketuk pintu dulu!" tegur Ravinno dengan suara penuh penekanan.
Nerva gelagapan saat Ravinno berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam, dapat Nerva simpulkan bahwa Ravinno saat ini sangat marah.
"Maaf." Satu kata itu keluar dari mulut Nerva.
Mata Nerva terpejam, ia takut jika tiba tiba Ravinno memukul atau menampar dirinya, karna menurutnya Ravinno adalah tipe lelaki pemarah yang tak pandang bulu. Tapi dugaan Nerva salah besar, ia mulai membuka matanya perlahan dan melihatku Ravinno berjalan melewatinya sambil menghela napas.
Ravinno menunjuk pintu kamar yang berada disebelah kiri.
"Kamarmu sebelah sini, mengerti?" Ravinno menatap Nerva.
Nerva mengangguk, lalu dengan segera ia berlari ke arah kamar yang ditunjuk Ravinno dan masuk kedalam. Tak lupa ia juga menutup pintu kamarnya.
Melihat Nerva yang sudah masuk, Ravinno pun pergi menemui Licia dan berniat membantunya.
"Astaga, itu hal yang sangat memalukan." Ujar Nerva pada dirinya sendiri sambil mengingat kejadian beberapa menit lalu, ia sedang bersandar pada pintu kamarnya.
"Oh iya jika diperhatikan lagi, luka Ravinno sangat banyak, bekas lukanya juga mengerikan." Ujar Nerva kembali.
Nerva menggelengkan kepalanya, mencoba untuk melupakan kejadian barusan. Ia menghembuskan napas dan melihat sekeliling kamarnya, didalam sudah ada banyak sekali perlengkapan yang Nerva butuhkan. Sebagai contoh, dikamar itu sudah ada tempat tidur, cermin, lemari, dan juga meja dan kursi.
Saat Nerva membuka lemari pun, didalamnya sudah tersedia pakaian yang kemungkinan sudah Licia siapkan. Tanpa berlama lama, Nerva langsung bergegas mengganti pakaiannya.
***
Pakaian yang saat ini Nerva kenakan hanyalah kaos berwarna abu abu dan juga celana selutut berwarna hitam, saat hendak membuka pintu untuk keluar Nerva berpapasan dengan Licia yang kebetulan ingin memanggil Nerva untuk makan malam.
"Oh Nerva, kebetulan sekali ayo makan malam!" ajak Licia.
Nerva mengangguk dan segera mengikuti Licia, saat sudah sampai di ruang makan mereka berdua melihat Ravinno sudah menyiapkan semuanya.
"Ravinno, tidak biasanya kau yang menyiapkan makanan? Biasanya kau hanya membantu memasak." Licia menatap remeh Ravinno.
"Hanya ingin membantu dirimu." Balas Ravinno sambil menatap Licia datar.
Licia tertawa pelan, lalu segera duduk dan diikuti oleh Nerva. Mereka bertiga pun memulai kegiatan makan malam bersama, tapi disini Nerva merasa ada sesuatu yang janggal. Dan baru menyadarinya saat makan malam hampir selesai.
"Tunggu! Apa Ravinno tinggal bersama kak Licia selama ini?!" tanya Nerva tiba tiba.
Licia dan Ravinno menoleh, mereka terdiam sesat.
"Nerva kau selama ini tidak tahu ya?!" balas Licia lalu setelahnya Licia tertawa.
Melihat reaksi Licia dan mendengar pertanyaan Nerva barusan, Ravinno memutar bola matanya malas. Lalu ia pergi untuk membereskan piring.
"Nerva, ku pikir kau sudah tau hubunganku dengan Ravinno." Licia menghentikan tawanya.
Nerva semakin dibuat heran dengan jawaban Licia.
"Aku dan Ravinno itu saudara, hahaha." Ujar Licia disertai tawa.
Mendengar hal itu membuat Nerva terkejut bukan main, perilaku serta wajah Licia dan Ravinno sangat berbeda jauh. Bahkan saat pertama kali bertemu, Nerva pikir Ravinno adalah saudara Ergan. Karna menurut Nerva warna mata Ravinno dan Ergan sama sama biru.
Nerva sekarang mengerti alasan Ravinno dan Licia sangat dekat, tapi ada satu pertanyaan lagi di benak Nerva.
"Kak, mengapa Ravinno memanggilmu dengan nama bukan dengan sebutan 'kakak' atau semacamnya?" tanya Nerva.
Mendengar hal itu membuat Licia terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban yang pas dan mudah dimengerti oleh Nerva.
"Hm, entahlah," Licia melihat Ravinno sambil tersenyum sendu, "mungkin dia membenci diriku atau semacamnya?" lanjut Licia lalu menatap Nerva.
Jawaban dari Licia membuat Nerva tambah heran, baginya Licia adalah sosok kakak yang sangat baik. Jika memang benar Ravinno membencinya, apa alasannya?
Saat Nerva melihat ekspresi Licia, alisnya berkerut menatap Licia dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Menurut Nerva, saat ini Licia sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
Tapi Nerva memutuskan untuk diam dan tak melanjutkan pertanyaannya, karna menurutnya mungkin itu hal privasi yang tidak bisa diceritakan kepada siapapun.
"Tunggu, jadi kamarku bersebelahan dengan Ravinno?" tanya Nerva.
Licia menoleh lalu menggeleng, kamar yang Ravinno gunakan untuk mengobati lukanya adalah kamar milik Licia. Ravinno hanya menumpang untuk mengobati tangannya, kamar Ravinno sendiri berada di ujung kanan.
Seusai makan malam Nerva kembali ke kamarnya, dan menjatuhkan diri ke tempat tidur. Walau seharian dia hanya membaca buku bersama Gabriella, tapi rasanya sangat lelah. Nerva ingin segera tidur, tapi entah kenapa dia sama sekali tak mengantuk.
Padahal aku sudah merasa sangat lelah, tapi aku tak mengantuk sama sekali. Batin Nerva.
Nerva hanya termenung menatap langit kamarnya sambil memikirkan beberapa hal. Salah satunya adalah alasan tidak munculnya Vespera dalam mimpi atau alam bawah sadarnya lagi, terlebih lagi Gabriella juga jarang menemui Nerva.
"Apa mungkin munculnya Vespera itu hanya halusinasi ku saja?" tanya Nerva pada dirinya sendiri.
Aneh, itulah yang Nerva rasakan saat ini.
Semenjak Ravinno menceritakan beberapa hal tentang Vespera, Nerva merasa ada sesuatu yang aneh.
"Mungkin perasaanku saja." Nerva mencoba untuk tidur.
Saat sudah mulai terlelap, Nerva tiba tiba terbangun disebuah tempat yang luas. Itu hanyalah mimpi Nerva, di dalam mimpi tersebut Nerva melihat dengan jelas Vespera yang terluka sangat parah sedang mencoba untuk melawan seorang lelaki.
Nerva tak dapat melihat dengan jelas wajah lelaki tersebut, bahkan wajah Vespera terlihat samar samar. Jarak keberadaan Nerva cukup dekat dengan Vespera, tapi sepertinya tidak ada yang menyadari keberadaan Nerva.
Lelaki tersebut sama terluka seperti Vespera, tapi luka milik Vespera terlihat lebih parah. Nerva juga melihat ada satu orang lagi dibelakang lelaki tersebut, tak terlihat dengan jelas wajahnya. Nerva hanya melihat siluet seorang lelaki.
"Akan ku pastikan kau akan terbunuh suatu hari nanti, sialan." Ujar Vespera dengan suara yang serak.
Setelah mengatakan hal itu, darah mulai keluar dari mulut Vespera dan tubuhnya perlahan melemah. Nerva yang melihat hal itu langsung mencoba untuk membantu Vespera, tapi nihil, tubuh Nerva tembus. Yang artinya, Nerva tak dapat melakukan apapun di sana.
Itu hanyalah mimpi Nerva, ia tak bisa berinteraksi. Nerva hanya bisa melihat Vespera ambruk dan tak sadarkan diri. Setelah melihat Vespera tak bergerak sama sekali, dua lelaki tersebut langsung menghilang meninggalkan lokasi.
"Vespera, sadarlah!" Nerva mencoba membangunkan Vespera, walau ia tau hal itu tidak akan berhasil.
Nerva juga tidak tahu Vespera dapat mendengar suaranya atau tidak, tapi Nerva terus mencoba membangunkan Vespera dengan cara meneriakinya.
Vespera masih bernapas, ia juga merintih pelan. Dapat Nerva lihat luka Vespera sangatlah parah, secara perlahan mata Vespera membuka. Mata Vespera sayu, ia sedikit mendongak kearah Nerva.
Nerva tersentak, apa sekarang Vespera dapat melihatnya?
Sebuah senyuman terukir di bibir Vespera, entah dia tersenyum pada Nerva atau tidak.
"Vespera bertahanlah!" pinta Nerva.
Tapi nihil, Vespera tak meresponnya. Nerva menyadari sesuatu, raja iblis di depannya ini tak tersenyum padanya. Melainkan pada seseorang yang berada di belakangnya.
Nerva menoleh kearah belakangnya dan benar saja, ada seorang lelaki lain yang sedang berjalan ke arah Vespera. Memang hanya siluet, tapi Nerva merasa tak asing dengan lelaki tersebut.
Lelaki tersebut mendekat ke arahnya dan secara bersamaan sebuah cahaya putih yang sangat terang memasuki penglihatan Nerva.
Karna sangat terang, Nerva refleks menutup matanya. Setelah dirasa cahaya tersebut perlahan menghilang, Nerva membuka matanya secara pelan. Pemandangan yang menyambut Nerva hanyalah sebuah kegelapan, saat ini ia berada di alam bawah sadarnya.
"Hai." Sapa Vespera tiba tiba muncul disamping Nerva.
Nerva terkejut, lalu menatap Vespera dengan tatapan heran.
"Vespera?!"
Vespera tersenyum hingga memperlihatkan gigi taringnya.
"Maaf karna mengejutkan dirimu, bagaimana menurutmu tentang kejadian tadi?" tanya Vespera.
"Saat kau diserang oleh dua lelaki, apa kau sengaja memperlihatkannya padaku?" jawab Nerva datar.
"Ya, itu hanya kilas balik sih. Sebenarnya masih banyak yang ingin ku perlihatkan, tapi waktunya tidak cukup." Balas Vespera.
Nerva terdiam sebentar.
"Jadi, kenapa kau memperlihatkannya padaku?" tanya Nerva.
"Karna kau adalah aku, maka sudah sewajarnya jika kau juga mengetahui masa lalu ku." Jawab Vespera.
Nerva merasa kesal, dilihat dari segi manapun Vespera dan dirinya sangatlah berbeda.
"Aku bukan dirimu!" bantah Nerva.
Mendengar suara Nerva dengan intonasi tinggi, Vespera tersentak. Setelahnya, ekspresi wajah Vespera menjadi datar.
"Terima saja kenyataannya Nerva, kau adalah reinkarnasiku. Ini terbukti dari kesamaan wajah kita, potensi, skill bertarung, dan semuanya. Ingat, kau adalah aku." Ujar Vespera menatap Nerva tajam.
Vespera perlahan menghilang dari pandangan Nerva, kini gadis bermata biru terang itu terduduk sendiri di dalam kegelapan.
"Aku membencinya ... aku benci diriku sendiri." Ujar Nerva pelan.
***