Hari ini Nerva benar benar bingung ingin kemana, ia merutuki dirinya sendiri. Karna bingung ingin pergi ke mana, ia mulai berjalan kesembarang arah dengan tatapan kosong memikirkan hari hari berikitnya yang pasti akan sulit, ia berjalan lumayan jauh dari rumahnya sampai ia tiba disebuah gang sepi dan lumayan gelap.
***
Sedangkan disekolah tempat Nerva belajar, terlihat ayah Nerva sedang berhadapan dengan wali kelas Nerva. Ia dipanggil wali kelas Nerva untuk melaporkan sikap Nerva belakangan ini. Tentu saja ayah Nerva terkejut, apalagi saat tau bahwa Nerva saat ini bukanlah wisata pembelajaran melainkan masa hukuman Nerva.
Awalnya ia tak percaya dengan perkataan guru Nerva, tapi setelah ia diberi bukti serta kesaksian palsu dari Ayana, ia mulai percaya, tentu dengan perasaan kecewa serta amarah yang bercampur aduk menjadi satu.
Setelah laporan dari guru Nerva selesai, ayah Nerva atau panggil saja ia Arga. Arga pulang dengan amarah yang sudah meluap luap, bahkan ia merutuki Nerva tak hanya itu ... dia sesekali mendoakan Nerva agar mati mengalami kecelakaan karna telah berbohong. Tak cukup dengan itu, dia bahkan menyesali jika ia membesarkan serta merawat Nerva dari kecil.
Setelah Arga pergi dari sekolah, terlihat seorang lelaki misterius yang selalu mengikuti Nerva sedang bersembunyi di balik mobil seseorang yang diparkir bersebelahan dengan mobil milik Arga. Lelaki itu menatap kosong ke arah jalanan.
"Orang tua macam apa itu? Ia bahkan merutuki anaknya yang tak bersalah.", gumam lelaki tersebut lalu pergi.
***
Ditempat Nerva sekarang, ia terlihat duduk memeluk lututnya dan bersandar didinding kotor gang sepi tersebut, iris biru nya menatap sayu tembok tembok serta area sekitar yang sangat kotor dan berdebu, sepertinya gang itu sudah lama tak dilalui orang hingga terkesan menakutkan, tapi bagi Nerva hal itu malah menenangkannya ditambah dengan semilir angin yang terkadang menembus kulit Nerva. Membuat Nerva merasa lebih tenang.
Nerva juga menyadari jika kedua orang tuanya pasti sudah mengetahui jika Nerva berbohong, jadi Nerva harus segera pulang agar tak membuat kedua orang tua nya semakin marah. Ia mempersiapkan keberaniannya terlebih dahulu lalu pergi.
Saat hendak pergi, Nerva menyadari sesuatu ... bahwa gang yang saat ini ia singgahi benar benar sepi bahkan ia berharap jika ada penjahat atau perampok yang membunuhnya.
"Kalau bunuh diri dilarang ... berarti berdoa agar dibunuh boleh kan?", itulah yang dipikirkan Nerva saat ini.
Hanya pemikiran bodoh Nerva sekilas, lalu ia pergi untuk pulang.
Saat Nerva sudah sampai dirumahnya, ia menyiapkan keberaniannya terlebih dahulu sebelum mengetuk pintu, saat merasa keberaniannya sudah cukup ia mengetuk pintu.
Pintu dibuka oleh ibunya, Nerva segera ditarik masuk kedalam rumah dan langsung di sambut oleh tamparan dari ayahnya. Nerva terkejut, ia tak menyangka jika ia akan ditampar sekeras ini. Ia pikir ia hanya dimarahi dan dimaki maki, tapi kali ini ia mendapat tamparan yang sangat keras hingga membekas.
Bermacam macam hinaaan keluar dari mulut kedua orang tuanya, Nerva hanya diam mendengarkan ia juga sudah mulai terbiasa dengan semua ini.
"MENYESAL AKU MEMBESARKANMU JIKA KAU SEPERTI INI!", bentak Arga yang berhasil membuat Nerva terkejut bukan main.
Rasanya seperti tersayat, Nerva benar benar tak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut ayahnya sendiri. Bahkan tanpa mendengarkan penjelasan dari Nerva sedikitpun, Arga terus memarahi dan memaki Nerva.
Nerva hanya bisa mengatakan kata maaf sambil menahan air matanya. Merasa bahwa ayahnya sudah berlebihan ia langsung berlari kekamarnya dan menutup pintu dengan kasar. Nerva hanya bisa menangisi hidupnya, walau ia tak bersalah tetapi ia tetap disalahkan. Benar benar menyiksa.
***
Tiga hari berlalu, masa skors Nerva selesai. Ia kembali ke sekolahnya, pertikaian dengan keluarganya pun sudah berakhir. Nerva sudah malas untuk berangkat kesekolah, dia hanya ingin menyelesaikan masalahnya dengan cepat. Dia bahkan berpikiran untuk bunuh diri agar Ayana tak mengganggunya lagi. Akan tetapi Nerva selalu saja mengurungkan niat bunuh dirinya karna dia masih mempunyai impian, yaitu membahagiakan kedua orang tuanya.
Nerva selalu ingin membuat kedua orang tuanya bangga dengan hasil kerja Nerva, tetapi kerja keras Nerva langsung diabaikan oleh kedua orang tua nya.
***
Nerva PoV
Ah, sial hari ini sekolah. Rasanya sudah malas sekali pergi kesekolah, Ayana juga pasti sudah membuat tuduhan aneh lainnya. Kenapa Ayana bisa sekejam ini ya?
Kulihat di meja ku terdapat cutter ... ayolah ambil dan tusukkan pada diriku.
Ah sial, walau aku ingin mengakhiri hidup tapi tubuhku tak merespon.
"Kau sudah berjuang nak, kami bangga padamu!"
Kuharap kedua orang tua ku mengatakan itu padaku saat semua kerja kerasku berhasil. Tapi percuma, sebanyak apapun prestasi yang ku raih, sekeras apapun aku berjuang ... orang tua ku tetap akan mengabaikanku.
Baiklah, wahai sekolah yang menyebalkan ... aku datang.
***
Normal PoV
Nerva segera berangkat kesekolahnya, saat sampai dikelas ... seperti biasa ia akan dibicarakan oleh teman temannya. Terutama Ayana, Putri, dan Kaiya yang sudah siap untuk mengejek Nerva.
"Hey Xelia, kau sudah selesai masa hukuman ya? Kasihan sekali melihat dirimu yang dulu berprestasi kini menjadi siswi bermasalah.", ejek Ayana.
Nerva hanya menatap Ayana dengan tatapan tajam, ia lebih memilih mengabaikan Ayana daripada harus meladeninya. Tentu saja saat merasa diabaikan Ayana menjadi kesal, ia pun mencoba memancing emosi Nerva lagi.
"Sombong sekali kau sekarang ya, sialan!", ujar Ayana kesal.
"Kau berisik sekali, anjing tetanggaku saja kalah berisik denganmu.", ujar Nerva dengan tenang namun penuh penekanan.
Ayana semakin kesal, uratnya hingga terlihat pertanda jika ia sudah sangat kesal karna di samakan dengan seekor anjing.
"Apa maksudmu hah?!", bentak Ayana sambil menarik kerah seragam Nerva, Putri dan Kaiya juga tak terima, karna merasa direndahkan.
"Kurang jelas? Baiklah akan kuperjelas.", ujar Nerva.
" Kau lebih berisik daripada anjing yang menggonggong.", lanjutnya disertai dengan senyuman Nerva.
Putri mendecak sebal, rasanya ingin sekali memukul Nerva sekarang. Sedangkan Ayana sudah sangat marah, ia melototi Nerva. Saat ingin menampar Nerva, Ayana terhentikan oleh bel masuk kelas dan guru juga akan segera datang.
Ayana mendorong Nerva hingga hampir terbentur meja, lalu ia pergi ketempat duduknya, diikuti dengan Putri dan Kaiya.
"Akan kubuat kau menyesal karna telah menghinaku.", gumam Ayana tetapi masih dapat didengar Nerva.
Nerva menghela napas panjang lalu duduk, menunggu guru yang akan datang kekelas.
Saat pelajaran dimulai, begitu juga dengan sindiran sindiran dari para guru kepada Nerva, tetapi hal itu seperti sudah menjadi kebiasaan Nerva, kini Nerva sudah tak peduli lagi dengan hinaan, sindiran, maupun hujatan kepadanya walaupun hatinya masih terasa sakit.
Ditengah penjelasan guru, Ayana membisikan sesuatu kepada sekongkolnya, dan sepertinya ia merencanakan sesuatu yang buruk untuk Nerva.
***
Saat istirahat Nerva dipanggil keruang guru, tentu saja karna ulah Ayana lagi. Ditengah perjalanan keruang guru ia menjadi perhatian para murid yang lain, karna rumor buruk tentang Nerva sudah menyebar luas.
"Ayana sialan, apa lagi yang dia laporkan?", batin Nerva dengan menggenggam erat tangannya.
"Ada apa saya dipanggil kesini pak?", tanya Nerva langsung ke intinya.
Wali kelas Nerva menjawabnya dengan penuh kekesalan, tentang kebohongan Nerva saat masa skors serta tuduhan baru yang diberi Ayana, bahwa Nerva memukul Putri saat jam kosong sebelum bel istirahat.
Mendengar semua keluhan gurunya, Nerva menjadi sangat kesal. Tuduhan Ayana semakin menjadi jadi setiap harinya, dari yang tidak masuk akal menjadi semakin tak masuk akal. Tetapi para guru, termasuk wali kelasnya kini langsung percaya dengan Ayana. Seolah semuanya telah dicuci otaknya oleh Ayana.
Nerva hanya terdiam mendengarkan semua perkataan gurunya, saat ingin kembali kekelas karna urusannya selesai Nerva melihat gurunya sekilas dan betapa terkejutnya Nerva saat melihat bola mata gurunya berubah warna menjadi merah darah sekilas.
Tetapi Nerva segera keluar dari ruang guru.
***
Nerva PoV
Mata pak Rian tadi berubah menjadi warna merah?! Tunggu dulu, aku tak salah lihat kan?! Apa apaan tadi?!
Oh ya, kalau diingat ingat lagi warna bola mata Ayana, Putri, dan Kaiya juga pernah berubah menjadi merah pekat seperti itu. Awalnya kukira hanya imajinasiku saja, tetapi ini sudah terjadi berkali kali jadi tak mungkin ini imajinasiku!
Waktu itu kalau tidak salah, saat kelas dua SMP Ayana pernah kutangkap basah ingin bunuh diri ... dia mengarahkan pisau yang tajam pada lehernya sambil menangis, saat kulihat bola matanya benar benar berwarna merah darah yang sangat pekat.
Putri dan Kaiya juga pernah, saat aku tak sengaja berjalan diarah yang berlawanan dengan mereka ... bola mata mereka juga berubah menjadi merah darah sekilas.
Bagaimana mungkin manusia biasa seperti mereka bisa melakukan hal seperti itu?! Ayana memiliki mata yang berwarna coklat begitu juga dengan Putri dan Kaiya, mustahil bagi mereka bisa merubah warna mata sekilas seperti itu.
Ada apa ini? Apa perubahan sifat Ayana juga karna ini? Arghh, sudahlah aku terlalu memikirkannya.
***
Normal PoV
Satu bulan telah berlalu, tuduhan Ayana semakin menjadi jadi. Semakin banyak tindasan yanh dilakukan Ayana kepada Nerva, saat ini Nerva benar benar buntu ia tak tau harus apa. Karna saat ini, Nerva dihadapkan dengan para guru dan kedua orang tua Ayana yang merupakan pemimpin sekolah itu.
Nerva sangat terkejut karna terdapat banyak luka ditubuh Ayana, bukan luka palsu melainkan luka asli. Kali ini, Ayana mengatakan jika itu perbuatan Nerva, padahal Nerva tak melakukan apapun bahkan Nerva tak tau mengapa Ayana bisa terluka seperti itu.
"Kau sangat keterlaluan! Mengapa kau tega melukai tubuh putriku yang tak bersalah ini?!", bentak ayah Ayana.
Mata Nerva terbuka lebar, menatap Ayana dengan tatapan kecewa, benar benar kecewa. Karna kali ini, Ayana sudah sangat keterlaluan.
"Apakah dia melukai dirinya sendiri dan menuduhku?!", batin Nerva tak percaya.
Nerva hanya bisa diam menatap tak percaya sambil mendengarkan hinaan, cemoohan, serta amarah dari kedua orang tua Ayana dan guru gurunya. Kedua orang tua Nerva juga dipanggil, kedua orang tua Nerva sama terkejutnya. Mereka tak menyangka jika putrinya bisa melakukan hal sekejam ini.
"Xelia Nerva, mulai saat ini kau dikeluarkan dari sekolah.", ujar ayah Ayana penuh penekanan, yang berhasil membuat seisi ruangan terkejut bukan main.
Saat ingin menanda tangani surat pengeluaran Nerva, tiba tiba ia dihalangi oleh Ayana.
"Tolong tunggu dulu papa! Biarkan Xelia tetap sekolah disini! Aku benar benar tidak masalah bila Xelia tetap disini, aku ... aku memaafkan Xelia!", ujar Ayana.
Sempat terjadi perdebatan kecil antara Ayana dengan kedua orang tuanya, tapi karna Ayana keras kepala, kedua orang tuanya pun hanya bisa menurutinya.
"Apa sekarang kau ingin sok menjadi pahlawan?!", pikir Nerva.
Lengan Nerva dipukul dengan sangat oleh Arga, ayahnya.
"Lihat, bahkan setelah apa yang kau lakukan ... temanmu itu masih bisa memaafkanmu!", bisik Arga penuh penekanan.
Nerva hanya bisa menahan tangisnya, ia menatap Ayana dengan penuh kebencian saat ini. Ia tak menyangka teman yang dulunya sangat akrab dengannya, kini menjadi seseorang yang saling membenci satu sama lain.
Setelah semua diselesaikan, Nerva dipaksa agar mau meminta maaf dan sebagai hukuman, posisi Nerva terganti oleh Ayana. Nerva yang awalnya menjadi siswi peringkat pertama seangkatannya, kini menjadi siswi yang sangat bermasalah.
Masalah sudah selesai, kini Nerva dibawa pulang oleh kedua orang tuanya begitu juga dengan Ayana. Saat Ayana melihat Nerva, ia terkejut karna mendapat tatapan intens dari Nerva. Ia ketakutan dan pada akhirnya memalingkan pandangannya dan pergi melihat papan peringkat.
Kini Ayana menatap sendu papan peringkat sekolahnya, ia melihat papan nama tiga besar untuk murid kelas sembilan atau tahun ketiga murid SMP terpapar jelas namanya Ayana Louisa diperingkat pertama, Robert Hans diperingkat kedua, dan Salsa Nesa diperingkat ketiga. Nama Nerva benar benar sudah terhapus dari papan peringkat itu.
"Bukan ... bukan Nerva yang salah, papa.", gumam Ayana sambil meneteskan air matanya.
Ia memanggil Nerva dengan nama itu, karna dulu Nerva pernah bilang ke Ayana bahwa ia lebih suka dipanggil Nerva daripada Xelia.
Karna nama 'Xelia' bukanlah marga keluarganya, itu hanyalah nama yang diberi kedua orang tuanya secara asal asalan. Nerva juga mengatakan jika ia dipanggil dengan nama 'Nerva' itu akan membuatnya semakin akrab dengannya.
Alasan Nerva menyukai nama 'Nerva' itu karna namanya terdengar hampir mirip dengan Arva, karakter favorit mereka berdua di novel pertama yang mereka baca.
Mengapa Ayana tau semua itu? Tentu karna Ayana teman masa kecil Nerva.
"Maaf ... maafkan aku ... Nerva.", gumam Ayana pelan lalu matanya berubah warna kembali menjadi merah.
***
Dirumah Nerva, sudah dapat dipastikan jika Nerva dimarahi oleh kedua orang tuanya, bahkan kedua orang tuanya juga menangis karna malu dengan perbuatan Nerva.
Nerva terdiam ia juga kecewa dengan teman masa kecilnya itu, mengapa temannya itu sangat tega melakukan hal sekeji ini?
Setelah mendengarkan semua pembicaraan kedua orang tuanya, Nerva langsung berlari menuju kamarnya sambil menangis.
***
Nerva PoV
Apa yang sudah Ayana berbuat?! Mengapa ia sekejam ini padaku?! Mengapa harus aku?! Aku tak pernah berbuat kejam padanya ... tapi mengapa ia menjadi sekejam ini padaku?!
Hey, Ayana apa kau lupa? Aku ini teman masa kecilmu ...
Apa yang sudah kau perbuat?! Kini ... kedua orang tuaku sudah tak percaya lagi padaku, mereka sudah tak peduli padaku ... bahkan disekolah juga tak ada yang percaya padaku lagi.
Kau tega ... kau sangat tega Ayana.
Aku membencimu.