Meledaklah emosi Luci yang saat ini tengah sibuk mengangkat tangannya. Tangan ramping itu sedang menggenggam seberkas dokumen.
Pasalnya Luci sudah merasa lelah menjalani hubungan kontrak dengan Evan Robert Hudan, seorang CEO sekaligus ketua dari Hudan Group yang mana merupakan salah satu perusahaan terkuat dan terkaya nomor tiga se-Asia.
Hal itu disebabkan oleh Evan yang semena-mena memperpanjang kontrak perjanjian di antara mereka.
Padahal Luci sudah memiliki klien lain. Padahal gadis berusia dua puluh tiga tahun itu sudah memiliki schedule yang sudah dia bersiapkan untuk klien-kliennya yang tercinta.
Jika begini terus bisa rusak citra Luci sebagai seorang joki yang bisa menggagalkan sebuah pernikahan paksa dari dua muda-mudi.
Jika begini terus bisa rusak citra Luci sebagai joki yang bisa menyelamatkan nasib seseorang yang hampir jatuh di tangan seorang wanita matre yang hanya mengincar uang saja.
Itu semua tidak bisa dibiarkan. Mau berapa pun Evan membayarnya dan mau berapa banyak pun tawaran yang akan diberikan oleh CEO itu, Luci tidak akan mau menerimanya.
Sudah cukup dia terlibat selama tiga bulan ini. Sudah cukup dia berpura-pura menjadi kekasih CEO itu selama tiga bulan ini.
Lagi pula di awal perjanjian ini, Luci hanya perlu muncul di depan nenek Evan demi membuktikan bahwa Evan sudah tidak lagi melajang sehingga CEO sangat bengis dan semena-mena itu tidak perlu menjalani sebuah perjodohan.
Luci sudah berbaik hati untuk mau memperpanjang perjanjian mereka selama satu minggu ketika di awal kontrak, sebab Evan berkata bahwa neneknya masih belum percaya pada hubungan mereka.
Wanita berumur tujuh puluh lima tahun itu sempat meminta pada Evan agar mengadakan acara makan malam yang direncanakan minggu depannya. Oleh karenanya kontrak harus diperpanjang, begitu kata Evan.
Makan malam sudah berlalu. Namun bukan bayaran yang Luci dapat sebab ternyata Evan justru meminta perpanjangan kontrak selama sebulan.
Oleh karena CEO itu akan membayar berpuluh kali lipat lebih tinggi dari klien Luci yang sebelum-sebelumnya, maka dari itu Luci mau menerimanya dengan senang hati.
Satu bulan berlalu dan Luci merasa bahwa semua ini mulai berjalan tidak beres.
Nenek Evan mulai sering meminta gadis itu untuk datang ke rumahnya, untuk sekedar minum teh dan bercakap-cakap ringan. Nenek Evan berkata bahwa dia sudah mulai menyukai Luci, dan dia berharap bahwa gadis itu mau menjadi istri Evan, cucunya.
Kontan Luci melaporkan kejadian itu pada Evan dengan menuntut CEO itu agar Evan bersedia untuk segera mengakhiri kontrak mereka. Namun tidak semudah itu, Evan ternyata masih belum ingin mengakhiri kontraknya.
Evan masih ingin memperpanjang perjanjian mereka untuk setidaknya dua bulan ke depan (jadi total perjanjian mereka adalah tiga bulan lamanya). Sebab dalam kurun waktu itu Evan akan menyiapkan sebuah rencana untuk neneknya.
Dan di sela waktu tiga bulan itu Evan dan Luci akan melakukan sebuah sandiwara pertengkaran yang hebat hingga berujung pada perpisahan.
Setidaknya itu akan membuktikan pada nenek Evan bahwa selama ini Evan memang sudah memiliki kekasih, dan tidak seharusnya Evan terlibat dalam perjodohan.
Lalu jika nenek Evan akan menjodohkan Evan dengan wanita lain setelah perpisahan pura-pura itu, Evan akan berdalih bahwa dia masih mencintai Luci. Dan perjodohan pun akan bisa dihindari untuk waktu yang lama. Itulah rencana yang selalu Evan katakan pada Luci.
Tapi yang direncanakan tidak kunjung dilakukan. Yang ada justru malah nenek Evan semakin sering mengundang Luci ke rumahnya dan bahkan nenek Evan terkadang mengunjungi gadis itu di rumah sewanya yang kumuh itu.
"Evan, Tuan, keluar!" teriak Luci sembari mengangkat dokumen kontrak itu tinggi-tinggi di udara.
Tidak mudah untuk mengakhiri kontrak dengan Evan sebab di dalam perjanjian itu disebutkan bahwa kontrak hanya akan diakhiri jika Evan yang menginginkannya.
Bodohnya Luci tidak menentang soal poin itu. Harusnya dia membantah dan memegang kendali perjanjian ini, sama seperti biasanya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang.
"Keluar aku ingin bicara! Keluar atau semuanya kubongkar! Aku memiliki bukti akurat!" teriak Luci lagi. Gadis itu sekarang berada di depan gerbang rumah milik Evan.
Saat itu pukul sepuluh malam dan Luci memberanikan diri untuk datang di perumahan itu.
Di depan perumahan elit itu Luci sudah bisa melewati gerbang yang dijaga oleh seorang security bertubuh tegap.
Sejujurnya dalam kondisi normal, orang asing akan sangat susah melewati pos security itu, apalagi jika orang tersebut tidak memiliki janji temu dengan salah seorang penghuni di dalam perumahan super elit ini.
Hal itu berlaku juga untuk Luci. Apalagi sekarang ini gadis itu berpakaian seperti gembel yang hanya mengenakan kaos oblong dan juga hot pant saja.
Namun yang terjadi security itu justru mempersilakan Luci begitu saja.
Bahkan security tegap itu tidak masalah untuk membiarkan Luci membawa serta motor butut yang dikendarainya.
Hal itu sangat bertentangan dengan prinsip keelitan perumahan ini.
Sekarang gadis itu mendekati gerbang super tinggi yang berada di depannya itu, sebuah gerbang yang mana terlihat tengah melindungi sebuah rumah megah dan mewah yang mengusung desain rumah klasik Italia.
Sebuah rumah besar dan megah yang memiliki bentuk kubah di atapnya. Di dalam rumah itu akan dipasang berbagai lukisan yang mahal dan berkelas.
Warna bold akan menjadi ciri khas desain rumah itu dengan lantai marmer yang licin dengan motif repetitif maupun mozaik.
Luci mengetahui dan bahkan hapal tentang semua desain itu di luar kepala.
Sebab jika gadis itu berkunjung ke rumah Evan demi melakukan sandiwara saat neneknya singgah di rumah itu, Manny โ pelayan setia Evan โ akan menyerocos tanpa henti tentang gaya yang diusung oleh rumah itu, berikut interior dan tetek bengeknya.
Katakanlah cerocosan Manny seperti sebuah mata kuliah yang panjang bagi Luci walaupun dia tidak pernah melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah.
Ah, ini bukan saatnya untuk membicarakan tentang hal itu. Ini saatnya untuk memasuki rumah itu dan menemui setan yang berada di dalamnya โ Evan.
Pintu gerbang otomatis itu terbuka. Luci yang sudah memarkikan motor bututnya pun menyambut hal itu dengan sangat baik dan senang hati.
Sekarang gadis itu berteriak dan bersumpah serapah saat berjalan. Kata-kata kasar itu dia tujukan hanya untuk Evan.
"Evan โ Tuan! Keluar kau, Bangsat Sialan!"
Security di rumah Evan memandang datar pada Luci yang sudah berjingkrak-jingkrak dan marah.
Gadis itu bahkan menaiki undakan tangga yang berada di depan rumah Evan dengan luapan emosi yang membabi buta.
"Evan, keluar kau, Tuan!" sembur Luci masih belum mau berhenti dengan teriakannya.
Gadis itu sekarang menggedor pintu kayu berwarna putih yang sedang tertutup itu. Namun sebab tidak ada jawaban yang berarti dia memilih menerobos masuk.
Padahal di depan pintu itu mengapitkah dua orang penjaga yang mengenakan jas kelimis berwarna hitam. Akan tetapi sebab mereka tidak menghadang Luci maka gadis itu memilih untuk masuk begitu saja.
Luci berniat untuk menyumpahi lagi sampai akhirnya dia mengurungkan niatnya sebab dua penjaga yang berdiri di depan pintu tadi, sekarang sudah mengunci kedua pergelangan tanganya.
Lalu dua penjaga laki-laki itu menyeret Luci untuk masuk menuju ke suatu tempat.
"Apa-apaan kalian? Lepaskan aku!" ronta Luci.
Namun tubuhnya yang mungil tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan dua penjaga bertubuh kekar itu.
Puncaknya Luci dibawa ke dalam sebuah ruangan luas yang di dalamnya sudah berada beberapa orang yang berlalu lalang sebab sibuk. Manny juga berada di dalam ruangan itu.
"Apa maksud semua ini? Di mana Evan?" sentak Luci pada Manny โ seorang lelaki gagah berusia separuh baya dengan gesture kaku penuh disiplin.
Dagunya selalu mendongak ke atas seolah dia adalah seorang penari yang sedang mempersembahkan pertunjukan. Dia juga mengenakan jas yang rapi sekarnag ini.
Manny merebut berkas yang berada di dalam genggaman tangan milik Luci. Lalu lelaki itu merobek semua berkas yang ada.
Seketika Luci menyerbu untuk menghentikan Manny. Baginya semua berkas itu sangat penting yang bisa membebaskan dirinya dari Evan.
Akan tetapi sebelum dia berhasil melakukannya dua penjaga yang menyeretnya tadi sudah menariknya menuju ke sebuah kursi.
Luci dihentakkan begitu saja di atas kursi tersebut yang kemudian disusul oleh kedatangan banyak orang yang sekarang ini mengerubungi gadis itu.
"Berhenti! Apa yang kalian lakukan! Stop! Stop!" berang Luci berusaha kabur.
Namun satu persatu orang-orang ini โ yang semuanya wanita โ sudah menahan pergerakan Luci hingga membuat gadis itu tidak bisa bangkit dari kursinya.
Lalu wanita-wanita itu bersikeras untuk mengukur tubuh Luci secara paksa walaupun gadis itu terus meronta tanpa henti.
Tak lama kemudian Evan pun datang.
Tubuhnya yang gagah dengan wajah dingin dan tegas itu mendekat dan bersedekap tepat di samping Luci, yang saat ini sedang dipegang-pegang demi kepentingan pengukuran. Rambut kelimis dan hitam milik Evan terlihat rapi walau tanpa disisir.
"Evan, Sialan! Apa yang kau lakukan padaku! Suruh mereka berhenti!" berang Luci dengan tubuh meronta dan kaki menjejak ke udara.
Namun Evan tidak mengindahkan gadis itu sedikitpun. Sekarang matanya mengarah pada Manny.
Pelayan Evan itu serta merta berjalan untuk mendekat. Jasnya ia rapikan dengan hati-hati. Manny menunduk dengan gesture tubuh yang sangat terorganisir dan patuh.
"Pastikan gaun pernikahaanya pas di badannya! Jika dia masih meronta, telanjangi saja!" singkat Evan lalu melenggang pergi.
Luci mulai gelagapan. Dia tidak bisa berpikir jernih sekarang. Gadis itu mulai ketakutan dan berpikir macam-macam.
Fakta demi fakta ia gabungkan satu persatu. Dokumen perjanjian dan kontrak sudah disobek oleh Manny.
Dan Luci diseret kemari untuk diukur badannya. Kemudian Evan datang dan membicarakan tentang gaun pernikahan.
"Manny, Manny, aku mohon, aku mohon, apa ini? Jelaskan padaku!" ringis Luci merasakan cengkerman dua wanita di kedua lengannya. Wajah gadis itu terlihat hampir menangis sekarang ini.
Luci masih memaksa untuk mendongak agar bisa menatap Manny secara langsung. Dia masih berusaha agar Manny merasakan iba dan mau menjelaskan semuanya pada Luci.
Namun Manny tak menjawab. Lelaki setengah baya itu bahkan bungkam untuk waktu yang lama.
"Ini penjebakan! Sial! Apa yang harus kulakukan? Tolong! Siapa pun tolong aku!" teriak Luci dengan wajah mulai mendelik ketakutan. Air mata juga sudah berleleran di pipinya.
Tak mampu melihat keributan lebih lama lagi Manny pun akhirnya angkat bicara.
" Minggu depan kau akan menikah secara resmi dengan Tuan."
Deg! Luci mencelos! Tangisannya sudah berhenti yang sekarang ini digantikan dengan wajah bingung dan tidak terima.
Bagaimana bisa lagi-lagi Evan memutuskan sesuatu secara sepihak seperti ini? Tidak, ini tidak bisa dibiarkan.
Di dalam perjanjian mereka hanya menjalani hubungan kontrak tanpa embel-embel pernikahan.
Luci pun memberontak di atas kursi sebab dia ingin kabur dan lari dari rumah itu. Wanita di sekelilingnya berhamburan untuk bekerja bersama-sama dalam menangani sikap hiperaktif milik Luci.
Lama-lama wanita-wanita itu kewalahan dan Luci hampir bisa lepas untuk melarikan diri. Namun sebelum itu terjadi Luci sudah berhenti bergerak dan mulai mendelik ketakutan lagi setelah Manny berteriak dengan ancamannya.
"Telanjangi dan bawa dia ke kamar Tuan jika dia masih meronta!"
Seketika Luci pun bungkam dan menurut. Dia harus bersikap patuh sekarang ini. Lalu jika dia sudah menemukan jalan untuk kabur, Luci akan melakukannya.
***