Lagi, Jadira kembali menarik diri, namun tidak menjauh. Bibirnya berada tepat didepan bibir Harnell.
"Who's better?" bisiknya dekat bibirnya
"What?" kata Harnell pelan hampir terdengar seperti bisikan, bingung dengan pertanyaan dadakan Jadira.
"Kissing. Me or her?"
***
"Kau ingin jawaban yang bagaimana?" pria itu balik bertanya
"Jawaban yang membuatku senang."
"Tapi menyenangkanmu bukan tugasku." Harnell memang brengsek.
Sedetik kemudian Harnell menggodanya agar kembali terlena dalam belaian bibirnya. Benda kenyal nakal itu perlahan turun membelai leher jenjangnya, semakin turun menyapa kulit mulus yang melapisi dadanya, namun kenikmatan dunia itu mendadak terputus saat Jadira menjauhkan kepala Harnell dari tubuhnya. Jemari lentik wanita itu membimbing kepala Harnell agar mata teduhnya menatap mata cantik milik Jadira.
"I asked you, who's better?"
"You" jawab Harnell dengan suara seraknya, mengakibatkan senyum manis mengembang di wajah cantik si puan.
"Who's prettier?"
"You" senyum puas semakin merekah, namun secepat itu pula luntur ketika sesuatu yang menyesekkan dada terlintas di benaknya, "But, you chose her." Katanya sedikit malas, bahkan malas untuk menatap mata pria itu.
"Because I don't love you." Si keparat Harnell menimpali
"So, you love her?" kembali bertanya tanpa antusias
"Maybe…"
"Why don't you love me?" kini netranya kembali menusuk manik legam Harnell
"Because you are liar" tatapan Harnell tak kalah menusuk, namun gurat kecewa di wajah pria itu lebih mendominasi
"She either!" Jadira tak terima dengan alasan pria itu. "Even you! Even right now you are lying to me." Absolutely! Harnell memang tengah berbohong, berbohong pada perasaanya sendiri. Tidak, Harnell tidak sedang berbohong, ia hanya berpura-pura. Berpura-pura tidak membutuhkan wanita di pangkuannya ini dalam hidupnya.
Berjeda sejenak sebelum Jadira kembali mengajukan pertanyaan, "Jika mendapat kesempatan terlahir kembali sebagai manusia seutuhnya…" kalimatnya menggantung, menatap lamat-lamat pria di hadapannya, "-siapa yang akan kau pilih? Me or her?"
Harnell membalas tatapan Jadira, dalam dan tak terbaca.
"Xena" jawabnya, pelan namun gamblang.
Rungunya mendengar, netranya menatap nanar, hatinya terbakar, namun gengsinya mengatakan untuk berpura-pura tegar. "Why?" lirih Jadira.
"Karena dikehidupan saat ini aku telah banyak menyakitinya, aku merasa sangat berdosa padanya. Jika ada kesempatan seperti itu… aku ingin menebus segala dosaku padanya."
Jadira terkekeh mendengar alasan menjijikan Harnell, kemudian ia mendengus, "Bagaimana denganku? Kau tidak merasa berdosa padaku? Bahkan saat ini kau telah memilihnya."
Tak ada jawaban dari Harnell.
"Kau meninggalkanku saat sedang mengandung anakmu. Kau kira mudah saat benih monster tumbuh di rahimku?"
Wanita itu hendak bangkit, namun ditahan oleh tangan Harnell yang semakin kencang membelit pinggangnya.
"Sesulit itu?" Rautnya nampak bersalah, nada bicaranya terdengar khawatir.
"Lebih sulit dari yang kukira" Jadira tersenyum samar, mengenang ke masa itu. "Dan saat itu aku harus melewatinya seorang diri, memang benar Junius selalu ada kapanpun aku membutuhkannya, namun tentu saja akan berbeda rasanya jika aku memiliki pendamping."
"Kalau begitu ceritakan padaku semuanya"
"Tidak mau"
"Kenapa?"
"Bercerita atau tidak, tidak akan mengubah apapun."
Gurat menyesal semakin kental terlukis di wajah tampannnya, namun sepertinya lidahnya terlalu enggan untuk sekadar mengucap kata 'maaf'. Bahkan Jadira tidak berani berharap Harnell akan berterima kasih padanya karena telah membesarkan dan merawat anak mereka.
Jika mengatakan 'aku mencintaimu' terdengar terlalu palsu dan berucap 'terima kasih' terasa cukup tabu, maka setidaknya sepatah kata 'maaf' untuk berbasa-basi ria masih bisa berlaku. Namun akan berbeda cerita jika Harnell masih menganggap segala kekeliruan ini adalah kesalahan Jadira sepenuhnya. Mungkin hal itu juga yang membuat Jadira enggan berbagi cerita kepada Harnell sekalipun menyangkut buah cinta mereka, karena Harnell masih menganggap dirinya adalah korban atas Jadira.
"Harnell.." setelah hening sejenak, Jadira kembali bersuara. Wanita itu masih betah duduk di pangkuan kekasih orang.
"Hm?"
"Setelah mengetahui keberadaannya, apakah sempat terbesit di benakmu untuk menyingkirkannya?" Deg! Jadira dapat merasakan tubuh Harnell sedikit menegang mendengar pertanyaannya.
"Jika iya, katakan padaku. Maka aku berjanji, kami akan menghilang darimu. Kau tidak perlu khawatir, aku bisa mengurus segalanya. Tidak akan ada kekacauan seperti yang kau takutkan."
"Kau bisa mengurusnya? Tidak akan ada kekacauan?" ulang Harnell.
Jadira mengangguk yakin.
Kekehan Harnell terdengar mengejek, "Lalu yang tadi siang itu apa namanya?" tadi siang, kejadian dimana Harnell mengetahui jika sang anak dengan segala kekuatannya sedang dalam incaran makhluk-makhluk bengis.
Jadira tersenyum nanar, "I see… dan aku akan bertanggung jawab atas semua itu. Makanya aku bertanya, apakah kau ingin menyingkirkan Cashel?"
"Apa aku terlihat seperti itu?"
Jadira menatap dalam mata Harnell, mencari jawaban lewat netra legamnya, "Tidak. Matamu mengatakan jika rasa ingin melindunginya sangat besar."
Harnell mengangguk, menyetujui kalimat Jadira barusan.
Sedetik berlalu keduanya saling melempar senyum, senyum lelah. Kemudian keduanya memutuskan menyusul Cashel yang dari tadi sudah menjelajah alam mimpi.
***
"Aku ingin ditengah!" seru Jadira ketika mereka memasuki kamar Harnell yang ranjangnya telah diisi oleh makhluk mungil yang ada disisi kanan kasur berukuran king size itu.
Harnell mengambil tempat disisi kiri Jadira, sebelum merebahkan tubuhnya, ia menyempatkan diri memberikan kecupan selamat malam dipipi gembil sang anak, hal itu membuat tubuhnya sedikit menimpah Jadira yang berada diantara mereka.
"Cium mommy juga, daddy." Jadira menirukan suara anak kecil, Harnell menggeleng melihat kelakuan wanita itu, namun ia tetap mengabulkan keinginan Jadira dengan menghadiahi satu kecupan di sudut bibirnya. Kemudian ia menarik selimut untuk membungkus tubuh ketiganya.
"Peluk aku, Harnell." Lagi, Harnell tidak menolak keinginan Jadira. Salah satu lengannya menjadi bantal untuk kepala cantik itu dan lengan kekar lainnya mendekap tubuh wanita itu, namun Jadira malah memutar tubuhnya menghadap Cashel dan memeluk bocah tampannya. Indah sekali pemandangan ini.
Ya, seandainya mereka adalah keluarga utuh yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, maka ini adalah pemandangan yang membuat iri. Harnell memeluk Jadira dan Jadira memeluk Cashel, anak mereka. Namun jika menengok pada fakta yang sebenarnya, ini adalah pertunjukkan yang menyesakkan hati.
Jadira mengelus penuh kasih kepala sang anak, pun tak henti menciumi pipi berisi itu. Kemudian ia kembali membuka suara, "Harnell, kau harus mengenalkan anakmu pada calon istrimu. Mereka akan menjadi pasangan ibu dan anak. Kau harus bisa membuat mereka saling menerima kehadiran masing-masing."
Harnell yang baru saja menutup mata, mengurungkan niatnya untuk ikut terlelap seperti Cashel. Celotehan aneh Jadira berhasil menghilangkan kantuknya, kelopak berat itu kembali terbuka.
"Xena wanita yang baik, 'kan? Pasti ia juga akan menjadi ibu yang baik untuk Cashel. Kalian pasti akan menjadi orang tua yang hebat, namun jika Xena tidak bisa menerimanya atau suatu saat kalian lelah mengurusnya, maka kau bisa mempercayakan anak tampanku ini pada Junius dan Yonansa." Ucap Jadira terdengar tulus dan serius.
Harnell mengernyit, menatap heran pada Jadira yang masih membelakanginya. Ada banyak buih-buih pertanyaan dalam benaknya. Mengapa tiba-tiba Jadira sangat mengharapkan kekompakan Xena dan dirinya dalam membesarkan Cashel? Mengapa ia juga menyerahkan Cashel pada Junius dan Yonansa? Mengapa seolah-olah wanita ini akan melepaskan tanggung jawabnya sebagai orang tua? Bukankah tadi Jadira mengatakan kalau ia akan bertanggung jawab untuk semuanya? Lalu mengapa sekarang berkata demikian? Mengapa? Mengapa? Dan mengapa? Pertanyaan-pertanyaan yang seketika menumbuhkan rasa tidak aman dalam diri Harnell. Pria itu was-was dan curiga. Rencana apa yang sedang disusun oleh wanita ini.
"Kau mabuk?"
"Apakah hot chocolate milikmu mengandung alkohol?" Jadira balik bertanya, itulah minuman yang terakhir ia teguk hari ini. Tentu saja tidak ada hot chocolate yang mengandung alkohol, itu artinya ia tidak mabuk.
Harnell menggeleng dan terkekeh mendengarnya, "Kau seperti bukan Jadira."
Wanita itu tidak menjawab, hanya ada senyum getir yang tak dapat dilihat Harnell karena posisinya yang masih belum berubah begitu pula dengan Harnell yang masih konstan memeluknya.
Wanita itu memberikan kecupan terakhir untuk Cashel, ia kembali memutar tubuhnya dan memberikan satu kecup pula untuk Harnell.
"Sudahlah, ini sudah larut. Kita sama-sama lelah. Ayo istirahat."
Jadira mengangguk, "Selamat malam."
"Malam"
Keduanya saling lempar senyum lembut dengan posisi Harnell yang menyamping karena memeluk Jadira dan wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu kokoh itu.
Hangat, damai dan berdebar, itu yang mereka rasakan saat ini. Apa mereka merasa bahagia? Entahlah… Kata bahagia terlalu samar, jadi mereka hanya berusaha tuk menikmati setiap detik yang berjalan, karena satu detik berlalu, itu sudah berubah menjadi kenangan.
"Harnell.." kembali bersuara
"Hm?"
"Tidak jadi"
"Kenapa?"
"Nothing"
"Hug me till I smell like you." Ya, itu yang ingin Jadira sampaikan.
Wanita beranak satu itu tersenyum dan kembali bersuara "Kiss me more." Lord, please. Tamak sekali penyihir cantik satu ini.
Harnell terkekeh mendengar permintaan Jadira yang semakin menjadi, "Kau mengidam, huh? Apa kau sedang mengandung anak kedua?" candanya, menyindir wanita itu yang tak henti meminta sesuatu darinya.
Jadira terkekeh, "Kau merasa membuahiku?" candanya.
Harnell menggidikkan kedua bahunya, "Mungkin ada pria lain."
"Aku juga berharap ada pria lain." Menyedihkan sekali kau Jadira.
"Dimana? Dimana kau ingin dicium?"
Senyumnya mengembang mendengar pertanyaan Harnell yang menyiratkan bahwa pria itu akan mengabulkan 'ngidam' nya. "On my forehead, eyes, nose, and my lips."
Sekilas Harnell mengangguk, dan tak lama kemudian Jadira merasakan benda kenyal sedikit basah itu menyentuh keningnya, turun ke kedua matanya yang terpejam, semakin turun ke hidung, ternyata Harnell memberi bonus dengan menciumi pipi Jadira bergantian.
Terakhir, bibir Harnell kembali membelai bibirnya. Memberikan efek memabukkan yang sama dengan sebelumnya, rasa yang begitu familiar pada setiap sentuhannya. Desahan keluar dari mulut Jadira ketika bibir Harnell mulai menjelajahi titik sensitive di bawah telinganya dan turun menuju dadanya. Kau bermain terlalu jauh, tuan. Jadira yang tamak bertemu dengan Harnell yang serakah. Mereka memang pasangan yang sempurna, seandainya takdir berkata demikian.
Syukurlah pergerakan Cashel dalam tidurnya berhasil menginterupsi kekhilafan kedua orang tuanya. Terima kasih, nak, kau telah menyelamatkan dunia.
"Tidurlah, ini pertahananku yang terakhir. Once again you ask me to kiss you, Cashel benar-benar akan mendapatkan seorang adik." Tidak, menahan gairah dalam jiwa adalah hal yang mudah bagi Harnell. Lebih tepatnya pria tampan itu tak dapat menahan sesak yang menjalar ke seluruh rongga dadanya. Tak tahu mengapa, semakin dalam ia mencium Jadira, semakin sesak pula dadanya. Salahmu sendiri tuan, siapa suruh mencium Jadira dengan penuh perasaan seperti itu. Entahlah, Harnell hanya mengikuti naluri yang berbisik seakan malam ini benar-benar malam terakhir bagi mereka.
"Hahahaha" keduanya tertawa pahit menanggapi ucapan Harnell.
"Baiklah, selamat malam."
Wajar bukan jika pria itu merasa sangat berdosa pada kekasihnya. Bayangkan sesakit apa menjadi Xena. Mengira semua sudah kembali ke jalur yang benar, nyatanya dua sejoli itu semakin tak tahu diri. Itu sebabnya Harnell pernah berkata kalau Jadira tidak akan sanggup menjadi Xena. He knows Jadira pretty well. Jika si cantik yang dalam peluknya ini berada diposisi Xena, ia tak akan sesabar itu. Tidak, bukan Jadira yang jahat, bukan pula Harnell, tapi keadaan. Dunia yang mempermainkan mereka. Dunia dan semesta memang keparat, namun terkadang Harnell La Fen tetaplah si tampan nan bajingan.
Lantas apakah Harnell tengah mendua, pria itupun tak tahu. Ia tak mengerti apa yang saat ini tengah dilakukannya dengan Jadira. Mereka tidak menyebut ini perselingkuhan, karena sebenarnya hubungan keduanya tak seharmonis itu. Yang mereka tahu, saat ini mereka sedang sama-sama saling membutuhkan. Hanya itu.