Chereads / The Closer / Chapter 4 - Hadiah Istimewa di Loker

Chapter 4 - Hadiah Istimewa di Loker

"Kau bekerja? Tapi untuk apa?" tanya Nora ketika melihat Maya yang sedang bersiap memakai seragam kafe, ia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Maya, untuk apa pergi bekerja jika dirimu saja sudah berkecukupan?

"Aku bosan di rumah, dan juga … manager kafe itu sangat tampan," sahut Maya dengan pipi memerah. Ia ingat bagaimana Dominic tersenyum lembut kepadanya, senyumannya itu membuatnya luluh seketika.

Ngomong-ngomong apakah hari ini ia akan bertemu dengan Dominic? Akan sekeren apa laki-laki itu duduk di balik meja dan menghitung pengeluaran bulanan kafe?

Nora hanya bisa menghela napas, ia menepuk bahu Maya. "Jangan terlalu lelah, kalau ada apa-apa telpon aku."

Maya tersenyum, ia mengangguk dan mengacungkan jempolnya pada Nora.

"Tenang, aku akan baik-baik saja."

Nora tidak berkata apa-apa lagi, ia berdiri dan membereskan peralatan makan di wastafel, ia melihat Maya telah bersiap untuk pergi.

Maya keluar rumah dengan langkah riang, suasana hatinya hari ini sangat baik, meski begitu ia masih awas pada sekitarnya, takut kalau ada sosok penguntit yang berdiri di belakangnya.

Setelah lima belas menit berjalan kaki, Maya akhirnya sampai di kafe Adenia, aroma kopi dan manisnya roti menguar memasuki indera penciumannya.

"Hai, Maya!" Seorang wanita berambut ikal mendatanginya, ia adalah Poppy, salah satu pegawai kepercayaan di kafe ini. "Siap bekerja?"

"Halo … Poppy," sahut Maya, wanita itu menarik tangannya dan membawa gadis itu masuk ke dalam, tampak beberapa pegawai kafe yang lain tengah sibuk meski kafe belum sepenuhnya dibuka, ada yang sedang bersiap menggiling kopi, mengepel lantai, mencuci piring dan mengelap meja.

"Bantu aku memanggang roti," perintah Poppy sambil mengeluarkan adonan dari dalam kulkas, Maya mengangguk dan mengikutinya.

Poppy mencontohkan memasukkan roti ke pemanggangan, Maya dengan cekatan mengikuti setiap langkah-langkahnya.

Pada pukul sembilan tepat, kafe dibuka, seluruh orang cukup sibuk melayani satu persatu pelanggan, termasuk Maya yang bolak-balik mengantarkan pesanan dari meja ke meja.

Hingga siang menjelang Maya tidak juga melihat sosok Dominic, laki-laki dengan senyum lembut itu tidak menampakkan batang hidungnya.

"Mencari Bos?" tanya Poppy ketika melihat Maya yang tertangkap basah lagi-lagi melihat ke arah pintu. Gadis itu tersipu dan mengangguk.

"Bos tidak akan datang hari ini," lanjut Poppy, ia menyeka tangannya dengan kain serbet yang ada di atas meja. "Hari ini jadwal membesuk adiknya."

"Oh? Bos punya adik?"

Poppy mengangguk pelan, ia mendudukkan dirinya di depan Maya. "Yah … tapi dia sakit parah."

Maya ingin bertanya lagi, tapi ia urung, ia baru saja mengenal Dominic dan Poppy dua hari ini, dia masihlah orang luar yang tidak pantas untuk tahu keadaan.

"Kau kuliah?" tanya Poppy lagi, ia menuang kopi ke gelasnya dan Maya, ia menanyakan hal itu mengingat Maya hanya bekerja di kafe selama jam delapan pagi hingga jam satu siang.

"Tidak," sahut Maya sambil tersenyum, ia menyelipkan rambut ke belakang telinganya. "Aku masih dalam masa pemulihan kecelakaan."

Poppy terlihat terkejut, ia mengerutkan keningnya, seolah bertanya, mengapa kamu bekerja bukannya istirahat di rumah? Apa kamu sebegitu kekurangan uang?

Maya tertawa kecil, ia menggeleng pelan. "Aku hanya bosan berada di rumah, lagipula bekerja disini tidak terlalu berat."

Poppy tidak lagi bertanya setelah itu, ia sibuk meladeni pelanggan yang datang. Maya berdiri, ia melirik jam di dinding, sudah pukul satu siang, kerja paruh waktunya telah berakhir.

Maya pergi ke ruang ganti, ia tidak berniat mengganti pakaiannya, tapi ia ingin mengambil tasnya di dalam loker, kuncinya baru saja didapatnya dari Poppy.

Maya memasukkan kuncinya, ia membuka lokernya dan segera menemukan tasnya yang berwarna hitam, tapi di sana tidak hanya terdapat tas, Maya juga menemukan sebuah kotak kecil berwarna hitam yang diikat dengan pita berwarna kuning.

"Bagaimana mungkin?"

Maya merasakan jantungnya berdetak kencang, ia melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa di sekitarnya saat ini.

Mungkinkah yang mengirimnya adalah sosok berpakaian hitam itu?

Tapi bagaimana bisa?

Maya dengan gemetar mengambil kotak kecil itu, ia menarik pitanya, kotak itu terbuka.

"Bo … boneka?!"

Di dalam kotak kecil itu terdapat boneka yang terbuat dari kain perca, kepalanya di jahit dengan foto Maya, ada noda merah di perut dan leher boneka itu dengan sebuah pisau tipis yang mengkilat.

Seluruh tubuh Maya gemetar hebat, ia menutup kotak itu dengan hati-hati dan memasukkannya dalam tas, Maya menyeka keringat dingin yang menetes di pelipisnya.

Ini terlihat jelas kalau bukan sekedar lelucon, ada seseorang yang benar-benar ingin membunuhnya!

Maya menarik napas panjang, ia melirik sekitar, lagi-lagi tidak ada satu orang pun di sana kecuali dirinya, ia mendongak ke langit-langit.

"Sialan! Di sini tidak ada kamera CCTV!"

Yang mengiriminya kotak ini dan kotak yang ada di rumahnya pastilah orang yang sama, orang itu sepertinya benar-benar punya dendam pribadi dengan Maya.

Maya melangkah dengan langkah terseok, napasnya terputus-putus, ia keluar dari kafe tanpa memberi salam, wajahnya bahkan telah sepucat kertas.

Maya mengambil ponselnya, ia menekan angka satu untuk memanggil Nora, sayangnya setelah berkali-kali sahabatnya itu tak kunjung mengangkat panggilannya.

Maya hanya memikirkan satu orang, Ken!

Mungkin saja dia bisa menjemputnya saat ini juga, gadis itu tanpa pikir panjang langsung memanggil Ken.

"Ya? Maya?" Suara khas Ken terdengar, ada bunyi riuh di belakangnya, sepertinya laki-laki itu baru saja keluar dari kelasnya.

"Ken, bisakah kau menjemputku? Aku ada di depan kafe Adenia."

Ken tidak menjawab segera, melainkan suara riuh di belakangnya perlahan-lahan mulai menghilang. "Apa? Katakan sekali lagi, May."

"Jemput aku di depan kafe Adenia," ulang Maya sambil melihat sekeliling, orang-orang yang berlalu lalang di trotoar cukup ramai, ia merasa sedikit aman.

"Oke, lima belas menit."

Setelah itu Ken menutup panggilannya, Maya menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya, ia menghela napas lega, ia menautkan jari-jemarinya dengan gelisah sambil harap-harap cemas menunggu kedatangan Ken.

Tanpa Maya sadari lagi, sosok di seberangnya mengulum senyum lebar, tangannya memegang tote bag berisi banyak kotak warna-warni, ia melangkah dengan pelan menyeberangi jalan.

Maya melihat sekeliling, matanya tak sengaja bersitatap pada sosok yang sedang menyeberang jalan, tubuhnya kembali gemetar.

Sosok itu tidak mengenakan pakaian serba hitam kali ini, ia memakai jaket berwarna coklat dengan celana jenas biru, wajahnya tidak terlihat jelas karena terhalang topi hitam, tapi Maya dapat melihat senyum di wajah laki-laki itu.

Senyum itu ditujuakan untuknya.

Maya tercekat, ia berharap yang dilihatnya hanya mimpi atau hanya kesalahan, tapi Laki-laki di seberang jalan itu benar-benar menyeringai padanya.

Seringai lebar yang penuh kegilaan!