Rembulan bersinar terang di tengah jutaan taburan bintang di selimut angkasa. Indahnya mengalahkan suhu yang menusuk tulang. Membuat para manusia hanya bisa menarik napas dan menikmati tiap momen langka itu.
Di jalan raya, terdapat seorang pemuda berperawakan tinggi dengan brewoknya yang membuat dia semakin tampan. Sementara di sampingnya, seorang wanita paruh baya dengan rambut coklat sebahu tergerai lembut di bahunya.
"Ibu? Dimana jaketku?" tanya pemuda itu. Ibunya hanya tersenyum dan memberikan sebuah jaket yang sedari tadi ia genggam.
"Ini dan jangan sampai ketinggalan lagi," ucap sang ibu dan membuat pria berkulit sawo matang itu tersenyum menatap ibunya.
Udara semakin dingin dan sanggup membuat orang dewasa meringkuk dalam selimut tebal. Membuat pemuda dan ibunya berjalan cepat agar sampai ke rumah mereka. Sementara di perjalanan, mereka berbincang singkat.
"Ibu tidak sadar. Ternyata anak ibu yang bernama Prajaksa Frederico Georgie ini sudah mau kuliah saja. Ibu jadi nggak rela," ucap sang ibu pada pemuda yang biasa dipanggil Praja.
"Ibu nggak mau aku kuliah?" tanya Praja dengan wajah polos. Ibunya tertawa menanggapi anak bungsunya yang bereskpresi bingung.
"Bukan itu maksud ibu. Maksud ibu, waktu telah banyak berlalu hingga tanpa sadar kau sudah kuliah. Ibu juga tidak sadar kalau kakak tertuamu sudah menggantikan ayahmu menjalani bisnis dan kakakmu yang kedua sudah menjadi ilmuwan terkenal di Jerman. Entah kamu bakal jadi apa ya?" ucap sang ibu masih dengan menatap putra bungsunya dengan tatapan sayang.
"Entahlah Bu. Untuk saat ini, aku ingin menggeluti dunia bela diri dan juga teknologi," ucap Praja sambil menggaruk belakang kepalanya. Membuat ibunya tersenyum memperhatikan wajah putranya yang masih polos.
"Yah... Kamu berbeda dengan kedua kakakmu. Setidaknya kamu tidak playboy seperti Russel dan badung seperti Kenny. Jiwamu masih bersih dan innocent," ucap ibunya sambil merapikan jaket putranya yang sedikit berantakan. Ucapan ibunya sanggup membuat Praja terbahak.
Tanpa sadar, mereka berdua sudah sampai di rumah. Kedatangan mereka disambut oleh beberapa pelayan. Tidak disangka, tuan rumah juga menyambut mereka berdua dengan senyum semringah.
"Hai Praja! Hai sayang," ucap si tuan rumah sambil menepuk bahu Praja lalu mencium kening istrinya.
"Ayah? Ayah bukannya lagi ada banyak pekerjaan di London? Kenapa di sini?" tanya Praja. Namun ayahnya membalas dengan tawa dan sanggup membuat kening Praja berkerut.
"Nak, seorang ayah tidak akan melewatkan anaknya yang akan masuk kuliah pertama kali," ucap si tuan rumah sambil menepuk bahu Praja beberapa kali. Ucapan ayahnya dibalas oleh senyum lebar Praja.
"Yo adik! Ngapain sih lu? Lama banget bareng Ibu?" tanya seseorang berperawakan tegap dengan rambut tersisir rapi ke belakang. Pria itu bernama Kenny. Dan di sebelahnya, seseorang berpakaian hoodie hitam dengan kalung rantai menghiasi lehernya sedang berdiri dengan gaya keren seorang pria. Siapa lagi kalau bukan Russel.
"Lah? Kalian berdua tumben peduli," ucap Praja dengan sinis dan membuat kedua kakaknya tertawa mendengar ucapan adik bungsunya.
"Sudahlah. Ayo kita makan malam. Perut ayah sudah bunyi dari tadi minta diisi," ucap sang ayah dan sukses membuat tawa seisi rumah.
Malam itu, suasana begitu hangat. Semua bersenda gurau dan tak jarang tawa menghiasi setiap percakapan. Mereka semua berdoa agar malam seperti ini akan terus ada sampai nanti.
Tepat di saat malam mulai larut, mereka saling mengucapkan selamat malam dengan kedamaian di hati mereka. Lalu mereka beranjak di kasur masing - masing dan meringkuk dalam mimpi yang panjang.
Namun, hawa aneh menghantui malam Praja. Hal itu membuat Praja tidak bisa tidur saking anehnya hawa malam itu. Akhirnya, Praja memutuskan untuk pergi dari kamarnya untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
Tiba - tiba, angin berhembus kencang dari arah kanan lorong tempat kamar Praja berada. Membuat Praja semakin yakin bahwa ada sesuatu yang ganjil terjadi malam ini. Bagaimana pun, ia harus mengecek apa yang terjadi.
Akhirnya, Praja memutuskan untuk mengikuti arah angin. Arah angin yang dingin itu semakin membuat perasaan Praja tidak nyaman. Namun, rasa penasaran Praja mengalahkan rasa tidak nyaman di sanubarinya.
Praja berakhir berhenti di depan sebuah jendela yang terbuka lebar. Membuat Praja membelalakkan mata dan yakin seseorang telah menyusup ke dalam rumah nya.
Praja menutup jendela lalu berlari menyusuri lorong menuju ke kamar kakak - kakaknya. Berharap mereka semua masih dalam keadaan utuh dan tertidur.
"Kak Russel!" teriak Praja begitu ia membanting terbuka pintu Russel. Namun yang ia temukan jauh lebih menyedihkan.
Kepala Russel terkoyak sampai mau terpisah. Lehernya terbuka lebar dan hampir menjatuhkan kepalanya yang menggantung. Tubuhnya dipenuhi bekas sayatan pisau yang dalam dan seluruh dinding kamarnya hampir berwarna merah darah.
"Kak....," ucap Praja sambil menutup mulutnya melihat keadaan kakak keduanya.
Namun Praja menggelengkan kepala dan langsung berlari lagi menyusuri lorong menuju ke lantai satu. Masih ada kakak tertua dan orang tuanya yang harus dia cek. Bagaimana pun, dia harus berpikir positif.
Tapi, apa yang dia temukan di lantai satu jauh lebih sadis. Suasana di lantai satu jauh seperti neraka.
Semua pelayan rumah di keluarga itu sudah tergeletak tidak berdaya. Tubuh mereka dipenuhi luka sayat yang lebar dan darah segar masih mengalir dari sana. Bau anyir yang menyengat sanggup membuat perut Praja berputar.
Praja berusah berjalan melewati mayat sambil meminta maaf beratus - ratus kali. Air matanya mengalir deras melihat pemandangan di depannya. Namun dia berusaha bernapas untuk melewati semua mayat itu.
"Kak Kenny!" teriak Praja walau dengan suara lemah. Tetapi pemandangan di depannya sanggup membuat mentalnya hancur.
Kakaknya tergantung di atap rumah dengan paku menancap di lehernya. Kakinya sudah buntung dan darah segar masih mengalir deras dari kaki dan lehernya. Mata Kenny membelalak dan siap jatuh kapan saja.
Praja tidak menyerah. Dia tetap berlari menuju kamar orang tuanya. Walau dengan langkah lemah, Praja berusaha mengangkat kaki dan bernapas walau berat.
"Ayah? Ibu?" tanya Praja di sela isak tangisnya sambil membuka pelan pintu kamar kedua orang tuanya. Sebuah pemandangan yang diinginkan Praja sepertinya terwujud.
Ayah dan ibu Praja tampak menutup mata dan tertidur dengan tenang. Praja menghela napas lega dan segera menuju ke kedua tubuh orang tuanya.
Namun tepat di saat itu, Praja merasakan sesuatu yang ganjil. Ada suara air namun Praja tidak tahu darimana asal suara itu. Praja masih berusaha mendekati kedua orang tuanya.
"Ayah?" ucap Praja sambil mengguncang bahu ayahnya. Tidak ada respon dan di situ Praja mulai panik.
Entah karena insting atau apa, Praja membuka selimut kedua orang tuanya. Dari situlah asal suara air itu berasal.
Tepat di dada kedua orang tuanya, tertancap sebuah pisau panjang dan berkarat. Darah segar masih mengalir dari sana dan jatuh ke lantai. Pisau itu sanggup membuat kedua orang tuanya mati dalam waktu singkat tanpa membangunkan mereka berdua.
Praja berjalan mundur sambil memegangi kepalanya yang mulai pusing. Semua kejadian terasa begitu cepat dan sulit ia cerna. Air mata mengalir deras dari kedua matanya tanpa sanggup ia tahan. Di saat itu pula, pening yang amat sangat menyerang dan membuat Praja hilang dalam gelap.