Chereads / The Day You Blew / Chapter 5 - #FIVE

Chapter 5 - #FIVE

Jika aku dapat mengibaratkanmu dengan sesuatu, maka aku akan menyebut laut.

Karena seperti lautan, kutemukan ketenangan disetiap sudutnya jika bersamamu.

°

°

°

°

°

Apa yang kira-kira kalian lakukan waktu pertama kali membuka mata saat Fajar menyingsing tiba? Sebagian ada yang membuka jendela, merasakan angin pagi yang berhembus, dan juga ada yang kembali terlelap begitu menyadari kalau pagi sudah tiba. Kembali memeluk guling, dan belum siap ngulet dikala kekuatan kasur yang begitu besarnya menarik kembali tubuh untuk tetap berada pada posisi semula.

Pukul 02.15 dini hari.

Mata Rael sudah terbuka selama lima belas menit yang lalu. Ia tidak merencanakan untuk bangun secepat ini, lagian dia sudah menyetel alarm jam 05.00 untuk membangunkannya nanti pagi. Tapi apa daya Rael ketika pikirannya dipenuhi oleh rasa tanya yang besar, mengenai apa maksud dari perkataan Danell di Cafe tadi sore.

Rael mulai menelaah dan mengingat kembali, apakah pertanyaan yang dilontarkan dirinya salah, ataukah jawaban Danell yang dianggapnya salah diungkapkan? Demi neptunus, Rael bingung untuk hari ini. Ya hari ini saja, karena untuk selanjutnya pun Rael tak berani kembali bertanya tentang hal tersebut kepada Danell. Apa itu yang dimaksud oleh ketiga temannya, kalau Danell itu berbahaya? Tapi tidak mungkin, pikir Rael.

Jadi disini lah Rael sekarang. Duduk di meja belajarnya sambil membuka sembarang aplikasi yang ada diponselnya secara tak karuan. Membuka lalu kembali menutup grupchat, disaat tidak ada seorang pun yang bangun jam segini dan memulai obrolan di grup. Scrolling timeline instagram, twitter, dan Pinterest untuk mencari wallpaper tumblr yang diinginkannya, tapi sebenarnya tidak memberi satu faedah pun di pagi hari itu.

Sambil menghembuskan nafas berat, Rael kembali melihat jam dan sekarang sudah bertambah tiga puluh menit dari waktu dia bangun. Diluar masih gelap, Bintang juga tidak nampak. Jadi satu-satunya jalan adalah kembali menarik selimutnya, memeluk guling, dan berdoa semoga besok pagi dia tidak bertemu Danell di sekolah.

.

.

.

.

.

.

.

.

Baru kurang lebih satu setengah jam Rael kembali memejamkan matanya untuk tidur, ayam sudah terlebih dahulu berkokok pertanda Fajar sudah tiba. Rael masih dengan enaknya terlelap, namun kemudian terbangun untuk menyetel ulang alarm yang tadinya sudah berbunyi menjadi jam 05.30. Ya, dia menambahkan tiga puluh menit untuk tidur kembali.

"Rael ayo bangun, udah jam segini nanti kamu telat!" Teriak bunda saat pergi menuju kamar Rael.

Hening.

Bunda pun segera membuka pintu kamar Rael, dan mendapati putrinya masih terlelap tanpa tau jam berapa sekarang. "Rael, ayo bangun nak! Setengah jam lagi udah jam tujuh."

Mendengar hal tersebut dengan samar-samar, Rael langsung terlonjak bangun dari kasur. Mengucek matanya, dan berusaha secepat mungkin memulihkan kesadarannya.

"Hah, jam berapa bunda? Aduhh bunda kenapa gak bangunin aku daritadi sih?" Jawab Rael dengan spontan dan kagetnya.

"Loh kok malah salah bunda sih. Kamu daritadi udah dibangunin tapi tetep aja lanjut tidur." Kata bunda sambil membuka tirai jendela kamar Rael.

"Aduhh yaudah deh, aku mau mandi dulu. Bahaya kalo sampe terlambat." Rael langsung menyambar handuknya dan berlari menuju ke kamar mandi.

"Cepetan ya, abis itu turun sarapan! Bunda tunggu dibawah."

"Siap bundaaa!" Jawab Rael yang sudah berada dalam kamar mandi.

• • •

Rael sudah berada di sekolah. Saking tidak mau terlambatnya, ia rela menolak sarapan demi datang tepat waktu, meski kenyataannya sudah mustahil. Jam sudah menunjukkan pukul 07.05 dan itu artinya Rael sudah sukses terlambat.

Padahal dia sudah berdoa diperjalanan supaya dapat sampai sekolah, minimal mepet pun tak masalah. Tapi untung tak dapat dicapai malang tak dapat ditolak, Rael terlambat. Ya sudah ia harus terima kenyataan atas kebodohannya sendiri tadi pagi.

"Ampun deh, pake telat segala lagi!" Rael berkata pada dirinya sendiri.

Dia menyusuri lorong sekolah sendirian, dan seperti yang dapat dilihat kalau hanya dia yang terlambat hari ini. Tapi belum semenit Rael berjalan, tiba-tiba ada suara yang membuat langkahnya terhenti dan membuatnya merutuki dirinya sendiri.

"Ekhhmm!" Seseorang sengaja terbatuk dari arah belakang Rael, dan mampu membuatnya menoleh tanpa aba-aba.

"Tumben telat, sengaja ya supaya gak ketemu gue?" Danell. Orang itu adalah Danell, dan kelihatannya dia juga bernasib sama yakni terlambat. Lebih tepatnya mungkin ketahuan memanjat pagar lagi.

Rael kaget kalau itu Danell yang berdiri dihadapannya sekarang.

"Eum.. Itu.. e-enggak kok. Aku gak sengaja tau. Ngapain juga aku sengaja dateng terlambat?" Kilah Rael yang agak sedikit kikuk.

"Beneran gak sengaja? Barangkali masih malu sama yang kemaren." Ucap Danell dengan senyuman jahil tak tertolong.

Rael hanya menundukkan kepalanya dan nampak bersalah.

"Lucu."  -batin Danell

"Udah, gue cuman bercanda. Jangan gitu mukanya, pengen gue cubit rasanya. Lucu banget soalnya." Sambung Danell sambil cekikikan.

"Jangan dicubit pipi aku." Jawab Rael tanpa dosa sambil menutup kedua pipinya, mengantisipasi kalau seandainya benar Danell akan mencubitnya.

"Makanya jangan buat muka kayak gitu. Masih haram hukumnya kalo gue cubit. Belom resmi soalnya!" Danell kembali menyuarakan gombalnya yang entah sudah keberapa kali.

Setelah mengatakan hal tersebut, Danell langsung jalan mendahului Rael beberapa meter di depannya. Hal itu juga membuat Rael bingung.

"Lah kak Danell mau kemana?"

"Mau lapor ke guru BP kalo telat. Gak mau ikut?" Kalimatnya digantung dan sedetik kemudian dia membalikkan badannya, menunggu jawaban dari Rael yang masih setia dengan posisi mematungnya.

"Atau mau dimarahin?" Lanjut Danell sambil mengangkat sebelah alisnya.

Mendengar hal itu, Rael langsung segera mengikuti langkah Danell menuju ruang BP untuk melapor keterlambatan mereka.

• • •

"Eh ini begimane sih, Rael kagak masuk tapi tanpa pemberitahuan. Sakit kah?" Celetuk Hana saat jam istirahat.

"Tau nih, gak ngabarin juga tadi pagi." Sambung Kila sambil angguk-angguk.

"Kita cari aja yuk!" Tawar Kezia.

"Boleh juga tuh, yaudah ayo cepetan. Barangkali dia telat." Saat semuanya sudah setuju, mereka pun segera mencari Rael di lingkungan sekolah.

Kalau dipikir-pikir, apa susahnya jika mereka menelpon Rael? Toh sekolah mereka membolehkan para murid untuk membawa handphone. Tapi ya mungkin jiwa sebagai teman yang baik, mereka merasa perlu mencari Rael meskipun Rael tidak datang sekalipun. Mereka mencari Rael dari ujung sampai ke ujung, dan hasilnya nihil. Mereka tidak menemukan Rael, biasanya kalau yang kena hukum terlambat bakalan disuruh membersihkan halaman sekolah, atau disuruh lari keliling lapangan.

Tapi bukannya bertemu Rael, mereka bertiga malah bertemu dengan Gideon serta Rafa. Mereka berdua tampak membicarakan sesuatu dari jauh. Hana, Kila, serta Kezia yang masih penasaran dimana Rael berada, terus melanjutkan langkah mereka bermaksud melewati Gideon dan Rafa.

Tapi ketika jarak mereka sudah lumayan dekat, perbincangan mereka berdua mulai samar terdengar. Hana pun mempunyai inisiatif untuk memperlambat langkah mereka.

"Ehh Danell kemana ya? Kok daritadi kagak keliatan batang idungnya." Kata Rafa yang sedikit bingung.

"Tau nih, bingung gue juga. Dia gak mungkin sakit kan?" Jawab Gideon sama bingungnya.

"Ciahh model kek dia yang bilangnya bermental baja, bisa sakit juga ternyata." Lanjut Rafa sambil tertawa terbahak-bahak.

Saking lebaynya Rafa tertawa, Gideon pun sampai geli melihatnya, "Heh lo kalo ketawa biasa aja dong. Lebay amat elah!"

Rafa yang mendengar hal tersebut langsung dibuat terdiam.

"Suka-suka gue napa. Ketawa gak boleh, diem gak boleh. Sedih akutuh!"

"Definisi kumat, udah minum obat belom? Kasian siang-siang penyakitnya kambuh. Ckckck!" Sambil menggeleng Gideon berkata demikian.

"Kampret lo. Udah ah, mending kita cari Danell. Tuh anak ditelpon juga gak diangkat, bikin khawatir aja!" Perkataan Rafa langsung disetujui oleh Gideon. Terbukti setelah itu mereka berdua langsung pergi entah kemana.

Menyisakan Hana, Kila, dan Kezia yang masih Setia disana. Tiba-tiba sebuah pemikiran muncul dibenak mereka bertiga, dan salah satu dari mereka menyuarakan hal tersebut.

"Kak Danell sama Rael gak mungkin lagi sama-sama kan?"

Kata Kila, dan hanya mendapat anggukkan sebagai tanda kalau mereka memikirkan hal yang sama, dan mereka berharap itu tidak betulan terjadi. Semoga saja.

• • •

Gudang Belakang Sekolah...

Sial yang menimpa Rael serta Danell hari ini, belum cukup sampai disini. Setelah kena khotbah panjang kali lebar dari guru BP karena terlambat, mereka berdua juga disuruh untuk membersihkan gudang sekolah yang terletak di jauh di belakang sana. Gudang tersebut berisi berbagai macam peralatan sekolah yang masih digunakan.

Malangnya, gudang tersebut sangatlah kotor. Seluruh perkakas didalam sana ditempeli debu yang cukup tebal. Kalau diibaratkan dengan senjata, yang sekarang mereka berdua pegang adalah sapu, kemoceng, dan kain lap. Mereka siap membersihkan gudang tersebut disertai dengan rasa setengah hati yang besar.

"Sial!" Kata Danell setelah melihat betapa kotornya gudang itu.

"Ckckck kotor banget yaampun."

"Lebih baik kita cepet kerjain. Kayaknya bakal lama nih, lo mau kerja apa?" Tanya Danell.

"Eumm aku nyapu aja deh kak." Jawab Rael dan dia segera bergerak untuk menyapu ruangan itu.

"Yaudah, gue bersihin sama ngelap barang-barang disini ya. Semangat, Ra!" Kata Danell pada Rael.

Perkataan Danell mendapat anggukkan dari Rael.

.

.

.

.

.

Selang tak berapa lama mereka berdua membersihkan gudang, bunyi petir disertai angin tiba-tiba terdengar. Hujan deras pun turun disaat mereka berdua baru menyelesaikan tugas mereka. Didepan gudang tersebut, ada satu buah bangku panjang yang sekarang mereka duduki bersama, dan bersebelahan.

Keringat yang tadinya mengalir dari pelipis, sekarang sudah tidak lagi akibat angin yang diciptakan dari hujan deras saat itu. Mereka pun akhirnya berbincang-bincang sambil menatap ke arah lapangan kosong.

"Huh capek juga ternyata." Keluh Danell meregangkan jemarinya.

"Baru pertama kali aku disuruh bersihin gudang yang kotornya pake banget." Sama halnya dengan Rael di sebelahnya.

"Sama gue juga. Eh, jam segini pasti udah pulang ya? Gila! Kita kerja beginian sampe 3 jam." Lanjut Danell sambil melihat arlojinya.

Sambil menengok ke arah Danell, Rael menjawab dengan sebuah anggukkan.

Danell sempat ingin beranjak dari tempat duduknya. Tapi langsung ditanya oleh Rael.

"Mau kemana kak?"

"Mau beli air, haus."

Mendengar jawaban Danell barusan, Rael segera mencari tasnya dan mengambil satu botol air mineral yang sudah tidak dingin lagi, lalu memberikannya pada Danell.

"Ini kak, aku ada air. Tapi udah gak dingin, gak papa?" Tanya Rael.

"Gak papa nih gue minum? Terus lo gimana?"

"Minum aja kak, aku gak haus kok."

"Wahh makasih loh, gue minum ya!" Kata Danell dan langsung membuka penutup botol air itu dan menenggaknya sampai hampir habis.

Sudah kurang lebih sepuluh sampai lima belas menit, hujan turun dengan derasnya. Hal itu sempat membuat Rael agak takut. Tapi Danell selalu selingi candaan tatkala petir memperdengarkan bunyinya yang nyaring juga keras itu. Jadi perhatian Rael akan petir, sedikit terbantu dengan adanya Danell. Tapi Rael tidak menyadari hal tersebut.

"Lo takut petir?" Tanya Danell yang penasaran.

Pertanyaan itu disambut gelengan dari Rael, "Aku gak takut. Cuma aku benci denger sesuatu yang terlalu keras."

"Ohh, gue kirain lo takut. Oh iya, gue punya pertanyaan buat lo." Sambil manggut-manggut, Danell memberi pertanyaan lagi.

"Apa kak?"

"Nih ya, menurut lo hujan itu turun atau jatuh?" Tanya Danell.

Dengan wajah bingung, Rael menjawab sekenanya. "Eumm.... Jatuh kayaknya."

"Salah."

"Terus apa dong jawabannya?" Kata Rael kembali bertanya.

"Hujan itu turun, bukan jatuh." Danell menatap Rael sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Yang jatuh itu aku, dihati kamu!" Sambung Danell.

Hal tersebut membuat Rael langsung mengarahkan pandangannya ke arah lain. Karena apa? Karena sekarang wajahnya sudah memerah lagi. Siapa sebenarnya Danell ini? Dia selalu mengucapkan sesuatu yang berada jauh dari dugaan Rael.

"Ihh apaan sih kak, dari kemaren gombal mulu."

"Lah gombal gimana? Itu jujur dari lubuk hati yang paling dalam nona Rael."

"Tetep aja! Jangan kayak gitu." Sekarang posisi Rael sudah kembali menatap Danell yang berada di sebelahnya.

Danell kembali menatap Rael dengan sorot mata penuh tanya. "Emang kenapa?"

"Soalnya nanti aku kebayang terus. Aku gak mau telat lagi hanya karena mikirin kata-kata kak Danell." Rael pun menjawab jujur mengapa dia datang terlambat hari ini, dan mendapat hukuman membersihkan gudang.

Danell pun terkejut.

"Jadi lo telat karena mikirin kata-kata gue?"

Karena malu untuk mengulang perkataan jujurnya tadi, Rael menjawab. "Udah ah, aku gak mau ngulang lagi kata-kata aku."

Rael langsung menarik dengan cepat tasnya, membukanya dan merogoh sesuatu di dalam sana. Dia mengambil sebuah headset. Lalu digerakkan selanjutnya, Rael memasang benda tersebut ke telinganya dan mulai mendengarkan lagu dari playlist nya, sambil menutup kedua matanya dan bersandar ditembok. Hal tersebut masih diperhatikan oleh Danell.

Tak sampai beberpa detik, Danell juga baru ingat kalau dirinya membawa benda yang sama di dalam tasnya. Mengingat masih turun hujan dan bunyinya sedikit mengganggu akibat petir yang bersahut-sahutan, alangkah lebih indahnya kalau dia juga mendengarkan musik. Setelah memasangnya di telinga, Danell pun ikut menutup kedua matanya alih-alih terkesan menenangkan.

Belum sampai tiga menit musik diputar dari kedua headset yang berbeda, Rael dibuat terkejut oleh orang disebelahnya. Rael langsung mengangkat tangannya dan melepaskan satu headset nya yang tersumpal ditelinga. Di detik berikutnya pun, Danell dibuat kaget oleh tindakan Rael. Kentara sekali, karena ada sorot protes dari mata Danell yang terbuka saat mengetahui perbuatan Rael.

Ya. Rael menurunkan volume musik milik Danell. Karena apa? Karena dia mendengarkan musik dengan batas volume yang melebihi normal.

"Kok dikecilin volumenya?" Tanya Danell masih dengan sorot mata yang sama.

"Kalo dengerin lagu itu jangan keras-keras. Gak baik tau, masa aku lagi denger musik juga bisa denger suaranya musiknya kak Danell." Jawab Rael lembut.

"Kok lo peduli?" Sebelah alis Danell terangkat.

Sambil tersenyum dan mengangkat bahunya, Rael menjawab. "Aku peduli karena itu bahaya. Sesama itu kan harus saling membantu dan mengingatkan. Makanya aku mau bantu, supaya gendang telinga kak Danell gak rusak."

Danell masih memperhatikan gerak-gerik Rael. Di kembali pada posisi semua yaitu memejamkan matanya sambil bersandar ditembok, setelah mengecilkan volume musik milik Danell.

"Dia..... Perhatian," -batin Danell

Mereka berdua setia dengan posisi masing-masing. Memejamkan mata, sambil menikmati hujan dan angin yang berhembus ke kulit mereka. Posisi duduk mereka pun bersebelahan dan dekat. Sampai-sampai lengan mereka bersentuhan sejak pertama duduk tadi.

Sudah terhitung setengah jam, dan hujan belum juga menunjukkan kalau akan berhenti. Sudah setengah jam pula mereka masih duduk disana. Danell membuka matanya, dan mendapati Rael yang matanya masih terpejam dengan teduhnya. Saat dirinya sudah tidak memperhatikan Rael, untuk menatap hujan. Ada sesuatu yang membuatnya terkejut.

Bahu kirinya terasa berat. Dia mencoba menengok, dan mendapati kepala Rael sudah bertumpu pada bahunya.

"Dia tidur daritadi?" -batin Danell

Entah kenapa pada posisi sekarang ini, Danell menemukan sebuah rasa yang tidak pernah muncul dalam hatinya. Seperti ketenangan yang disertai dengan keberadaan Rael disampingnya. Melihat wajah polosnya yang tertidur pulas, Danell mencoba mengambil dan melepaskan headset milik Rael. Setelah sukses melakukan hal itu, Danell membiarkan Rael tertidur dibahunya sampai jangka waktu tidak diketahuinya.

Saking polosnya wajah Rael saat tidur, sempat muncul pikiran kalau ia tidak tega menjadikan Rael bahan taruhan.

Danell membenarkan rambut Rael, dan mengelus Puncak kepalanya. Entah kenapa dengan hatinya saat ini.

Tapi hanya satu yang pasti, yang dapat menjelaskan mengapa Danell seperti ini. Rasa tenang dan teduh yang dimunculkan dari Rael, mampu membuatnya enggan untuk beranjak dari sana dan tidak ingin pergi meninggalkan Rael sendirian. Sekali lagi, tidak ingin meninggalkannya sendiri.