Pagi hari seorang Ananta seperti biasa rusuh. Contohnya pagi ini, gadis itu terbangun dengan keadaan kamar seperti kapal pecah. Buku dan kertas-kertas betebaran di mana-mana, sisa mengerjakan tugas semalam. Dan ngomong-ngomong soal tugas, Ananta ingat bahwa tugasnya belum selesai.
Buru-buru Ananta turun dari ranjang. Tak peduli rambutnya masih seperti singa serta bekas iler yang berteteran di sudut-sudut bibirnya. Ia berlari ke kamar Jefri dengan kecepatan Boboiboy.
"Kak Jefri!" teriak Ananta, menggedor pintu kamar Jefri kesetanan.
"Kak, bangun! Buka pintunya, Kak!" Lagi-lagi belum ada jawaban dari dalam, membuat Ananta ingin mengeluarkan kata-kata mutiara saja. Untung saja orang tuanya sedang di luar kota. Jika tidak, mungkin Ananta sudah mendapat siraman rohani pagi-pagi oleh mamanya.
"KAK! ANJ—astaghfirulloh, Arga kampret!"
Ya, pintu terbuka. Tapi bukan Jefri yang membukanya, melainkan Arga. Sayangnya Arga amatlah tidak manusiawi karena berstoples ria di depan perawan tingting seperti Ananta. Bayangkan saja, Arga hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya! Tanpa baju, tanpa celana, mungkin juga... tanpa dalaman. Shit! Terkutuklah otak Ananta beserta pikiran kotornya!
Buru-buru Ananta berbalik, menghindari menatap pemandangan panas di pintu kamar Jefri.
"Bego, ngapain lo kayak gitu, anjir? Pedofil dasar!" gerutu Ananta masih membelakangi Arga.
"Gue baru beres mandi. Lo ngapain masih pagi teriak-teriak? Kesurupan lo?" tanya Arga santai. Kelewat santai.
"Gue nyari Kak Jefri. Tugas gue—sialan, Arga!" teriak Ananta, auto menutup muka dengan tangan karena Arga sudah berdiri di hadapannya. Si Arga ini gak peka apa, ya? Ananta, tuh, deg-degan setengah mampus!
"Ngapa, sih? Biasa juga gak apa-apa lihat roti sobek punya si Jef?"
"Ya itu beda, lah, bego!" sentak Ananta, kelepasan menurunkan lengannya. Setelah sadar, buru-buru Ananta menutup muka lagi. Dosa yang tanggung.
"Sono lo dibaju, Ga. Bikin mata gue gak suci tahu gak?"
"Halah, bilang aja lo ngiler, nih, lihat abs gue."
"Bodo amat. Panggilin Kak Jefri!"
"Udah berangkat ngampus."
"HA?" Ananta memekik, menatap Arga cengo. Sekarang Ananta tidak peduli lagi meski ia tidak menutup mata. Ananta terlalu syok. "Udah ke kampus? Ini jam berapa? Jangan bilang..."
"GUA TELAT, SAT!" teriak Ananta, segera ngacir ke kamarnya, meninggalkan Arga yang ngakak oleh kelakuan absurdnya pagi-pagi.
Merapikan beberapa buku yang akan ia bawa, kemudian ngibrit menuju kamar mandi. Ananta mencuci muka dan lupa menggosok gigi. Bodo amat dengan riasan wajah, Ananta tidak butuh itu. Yang ia butuh sekarang adalah segera pergi ke kampus dan mengerjakan tugasnya hingga selesai. Karena jika tidak selesai, siap-siap saja musuh bebuyutannya—si dosen yang matanya minimalis itu, bakal ceramah hingga mata kuliah selesai.
***
"Kayaknya Mama sama Papa waktu bikin gue gak bismillah dulu, deh, makanya gue segoblok ini," keluh Ananta, menelungkupkan wajah di atas buku. "Kadang gue mikir, mau tukeran otak aja gitu sama Kak Jefri."
Arga yang sedang membantu mengerjakan tugas Ananta—ralat, lebih tepatnya mengerjakan seluruhnya tugas perawan rusuh itu—mendongak, menatap Ananta sekilas. "Bukan nyokap bokap lo yang salah. Lo-nya aja yang waktu pembagian otak kagak nongol, makanya goblok."
Arga kalau ngomong suka bener. Bener-bener bikin krenyes sampai ada suara kretek-kretek gitu.
Untung saja Ananta sadar mereka sedang di perpustakaan. Akan berabe jadinya jika Ananta membuat kegaduhan. Cukup sudah Ananta terkenal pembuat onar jika di perpus bersama kawanan bejadnya. Sekarang ia bersama Arga, harus sedikit kalem. Tahu sendiri penjaga perpus, kan, Arga stan garis keras. Ananta tidak boleh gegabah kalau tidak mau kena bulan-bulanan para fansnya.
Sepuluh menit berlalu, dan Ananta masih ngerusuh pada Arga yang berkutat dengan tugasnya. Hingga ketika ia melihat jam di layar ponsel, gadis itu kembali panik.
"Ga, tujuh menit lagi kelas gue mulai, Ga. Cepetan!" Ananta gregetan karena benar-benar ia bisa telat.
Tidak. Ananta tidak ingin telat. Minggu kemarin dia sudah terkena ultimatum karena tugas yang tidak dikerjakan. Kalau sekarang Ananta melakukan kesalahan lagi, tamatlah riwayatnya.
"Santai, nyet. Jangan rusuh." Arga juga jadi ikutan panik, kan, gara-gara Ananta rusuhin? Dasar bocah. Udah ngerjain tugasnya kebanyakan dikerjain Arga, rusuh, bikin Arga ikutan rusuh juga.
"Makanya cepetan!" Ananta belingsatan sendiri layaknya cacing kremi kepanasan.
"Habis ini bilang makasih lo sama gue," gerutu Arga yang benar-benar menambah kecepatan dalam mengerjakan tugas Ananta. Untung sekali pemuda berwajah rupawan itu memiliki otak yang IQ-nya lumayan jauh lebih cerdas dari si perawan di sisinya.
"Akhirnya... noh, udah selesai. Buruan!" Arga menyodorkan laptopnya.
Ananta buru-buru merapikan buku-buku yang berserakan, mengambil laptopnya, kemudian menatap Arga sebentar, "Makasih, Arga ganteng. Ganteng dikiiiiit doang. Gue ke kelas!" Ananta lantas ngibrit begitu saja tanpa mendengar jawaban Arga terlebih dahulu.
Oke, Arga sudah biasa.
Arga ikut beranjak dari tempatnya duduk. Kemudian tersenyum begitu melihat penjaga perpus yang melambaikan tangan dengan senyuman lebar yang disisipi tatapan kagum.
Ya, begitulah Arga. Tebar pesona sudah menjadi bagian dari hidupnya. Menebar senyum hingga membuat anak gadis hamil online tapi tidak ingin tanggung jawab. Boro-boro tanggung jawab, ditembak cewek aja jawabnya pasti: lo cantik, tapi gak pantes buat gue. Gue gak baik buat lo.
Awalnya doang bikin nge-fly bilang cantik, ujung-ujungnya tetep nyesekkin. Arga bilang dia tidak baik, apa yang tidak baik dari seorang Arga Ravendra? Dia tampan, otak lumayan lah tidak sebego Ananta, badan tinggi, dada sandarable, bahu pelukable, dari keluarga terpandang pula. Tapi entahlah, memang itu jawaban yang selalu terlontar setiap kali Arga menolak perempuan
Entah kata nggak baik itu salah satu cara dia untuk merendah, atau memang Arga seperti itu. Tidak ada yang tahu.
***
"To, To... traktir gue, dong!" Ananta memasang muka melas di depan Seto, temannya. Kelas baru saja selesai, dan perut Ananta sudah keroncongan bukan main. Ya, maklum, namanya juga Ananta, asupan makan banyak tapi sayangnya tidak membantu dalam mengencerkan otak. Atau mungkin karena kebanyakan makan jadi otaknya tumpul. Entah.
"Ogah. Noh, ke Yudha!" Seto berjalan lurus, meninggalkan Ananta yang sudah menatapnya dengan tatapan seperti kucing minta ikan asin ke majikan.
"Kampret. Gue do'ain gak tinggi-tinggi lo!" Ananta meneriakki Seto yang hari ini begitu mengesalkan. Memang tiap hari juga mengesalkan, sih, sebenarnya.
"Gak usah dido'ain juga emang udah bantet kali, Ta." Yudha ketawa. Ketawanya berhenti begitu Ananta menoleh dan siap merengek minta traktir. Berbeda dengan Seto yang berjalan tenang, Yudha justru ngacir, berlari cepat meninggalkan Ananta.
"Gue ada kelas!" teriak Yudha.
"Sialan memang lu pada!" maki Ananta sebal pada dua teman sedari SMA-nya itu.
Ananta mengerucutkan bibir, berjalan sambil celingukan mencari satu temannya lagi yang mungkin bisa ia mintai traktir. Bukannya Ananta kere, tapi uang yang dikasih mamanya tempo hari sudah habis Ananta belikan kinder joy sama beli stick PSV. Padahal orang tuanya masih pulang sekitar semingguan lagi. Jangan tanya faedahnya apa beli kinder joy! Namanya juga Ananta. Kadang tidak bisa ditebak kelakuannya.
Kemudian netra Ananta menatap nyalang pada dua cowok tinggi yang berjalan bersisian. Kentara sekali perbedaan raut di antara keduanya. Yang satu kelihatan kalem, yang satu lagi pecicilan.
"KINO!" teriak Ananta, menghampiri keduanya. Tanpa tahu malu Ananta gelendotan di tangan lelaki yang dipanggil Kino. Pemuda yang ¾ koleksi bajunya hanya kaus berwarna hitam. Pecinta wanita sejati alias bahasa gaulnya anak zaman jigeum, tuh, pakboi. Eh, fuckboy.
"Ki, makan yuk!" ujar Ananta, mendongak menatap Kino dengan cengiran lebar.
"Apaan lu kutil badak nemplok-nemplok di tangan gue?" semprot Kino sambil menoyor kepala Ananta. "Bau apaan lagi ini anjir? Gak mandi ya, lo?" Lagian peka aja itu idung. Mentang-mentang tingginya kayak perosotan.
Sontak saja Ananta melepaskan pelukannya dari lengan Kino dan memukul keras cowok itu. "Gue... gue mandi lah, Nyet. Sialan lo!" ketus Ananta. Padahal bohong. Boro-boro mandi, gosok gigi aja baru sempet di toilet kampus tadi.
"Bohong, ya, lu? Bau gini anjir," ledek Kino. Menutup hidungnya dengan jari.
"Kino bego! Mau makan kagak?" sentak Ananta kesal. Nyolot.
"Paling lo minta traktiran ke gue."
Ananta nyengir. "Tahu aja, sih, lo. Ya udah, yuk, makan yuk!" Dengan percaya dirinya cewek berambut panjang itu sudah mau menggandeng tangan Kino, tapi Kino menghindar.
"Apaan anjir?" Kino ngakak. "Noh, sama Arga aja. Biasa juga jadi menelnya Arga lu!"
Ananta mengkerucutkan bibir dengan kesal. Ananta juga maunya begitu, minta traktir makannya sama Arga. Tapi rada kasihan gitu tiap hari Arga Ananta mintain traktir nggak di rumah nggak di kampus.
"Pelit mah pelit aja lo! Kampret, ah." Ananta pura-pura ngambek.
"Biar gue aja yang traktir."
"Eh?"
Ananta menoleh. Tiba-tiba jiwa jablaynya kumat. Yang nawarin itu Nizar, cowok di sebelah Kino. Salah satu maba terpopuler di kampus karena pindahan dari Singapura. Bukan cuma itu, memang wajahnya juga tidak bisa dikatakan tidak ganteng. Mana kalem, pinter juga katanya. Definisi sempurna, bukan?
"Eh, gak usah, Zar." Pura-pura nolak, padahal mah dalam hati udah belingsatan senang. Ya gimana nggak senang, mau ditraktir cowok famous, ganteng, dan boyfriendable kayak Nizar.
"Gak apa-apa, lagi pula hitung-hitung salam perkanalan dari gue. Kita, kan, udah tetanggan hampir sebulan tapi belum kenalan secara resmi."
Ananta mangut-mangut sambil nyengir bodoh. Habisnya senyum Nizar bikin meleleh. Pantes banyak yang naksir kalau senyum aja gantengnya nambah berkali-kali lipat.
Fyi, Nizar memang jadi tetangga Ananta karena dia tinggal di rumah Kino—yang tidak terlalu jauh dari rumah Ananta. Menurut gosip para penggosip, katanya mereka memang sepupuan. Entahlah. Padahal Ananta tetanggaan dan jadi sahabat Kino sejak zaman emaknya bucin telenovela Esmeralda tayang di chanel televisi Indonesia. Tapi baru tahu doi punya sepupu setampan dan serupawan Nizar.
"Gue kasih tahu, ya, Zar. Jangan mau neraktir si Ananta. Sekali lo kasih traktir, dia bakal minta traktir tiap ha—ANJ! Kenapa nendang pantat gue, setan!"
Ananta—si oknum berkaki bejadh—nyengir polos. "Gue bukan setan. Zar, yuk, makan!" ujar Ananta, meninggalkan Kino yang masih meringis karena tendangan maut Ananta di pantatnya.
***