"Betul itu Re?" Ainil meminta penjelasan Rere.
"Betul apa bunda?"
"Apa benar Angga tidak tahu jika kamu hamil?"
"Benar bunda," jawab Rere dengan isakan tangis. Terpaksa Rere berbohong pada orang tuanya. Semuanya terasa berat dan menyesakkan.
Ainil terduduk di sofa. Tidak menyangka Rere yang memulai masalah ini. Andai Rere bicara siapa yang menghamilinya mungkin masalahnya tidak akan sepelik ini. Ainil tak perlu menanggung malu karena memiliki cucu di luar nikah. Keluarga besar malah menyalahkan Ainil karena tidak bisa mendidik anak satu-satunya. Rere menjadi serba salah kala melihat bulir bening di mata ibunya.
"Rere," panggil Ainil dengan suara tercekat. Matanya kosong menatap ke depan.
"Ya bunda." Rere hanya menangis menjawab panggilan ibunya.
"Bunda pikir Angga yang tidak mau tanggung jawab sehingga kamu bungkam ketika kami tanya siapa ayah kandung Leon. Kamu takut jika kami meminta pertangggungjawaban dia. Kamu tahu jika papa dan Bara akan mencari Angga ke ujung dunia untuk bertanggung jawab pada kamu. Kenapa kamu diam saja Re? Asal kamu tahu selama ini bunda menaruh kebencian pada ayah kandung Leon karena telah menghamili kamu namun tidak bertanggung jawab. Kenapa kamu lakukan itu? Apa alasan kamu menyembunyikan semua ini dari Angga? Jawab bunda."
"A-aku punya alasan tersendiri kenapa tidak bisa buka mulut bunda. Please...mengerti aku bunda."
"Kamu yang harus mengerti bunda. Ibu mana yang bisa diam ketika anaknya hamil diluar nikah?"
"Saya yang salah tante." Angga pasang badan tak mau Rere terus disalahkan. "Saya telah berbuat khilaf hingga Leon hadir ke dunia ini. Kami tidak melakukannya atas dasar suka sama suka. Saya memaksa Rere melakukannya. Rere tidak mau menikah dengan pria yang telah memperkosanya makanya dia bungkam ketika hamil."
Bug.....
Darah Herman menggelegak kala mengetahui Rere hamil karena pemerkosaaan. Sebagai ayah harga dirinya terinjak-injak. Herman refleks memukul Angga hingga pria itu babak belur.
"Papa sudah," pekik Rere melindungi Angga dari amukan Herman.
"Biarkan papa memberikan dia pelajaran."
"Aku mohon pa jangan lakukan itu." Rere berlutut seraya memeluk kaki Herman. Ia hanya bisa menangis.
*****
"Sudah puas menghancurkan keluargaku?" Tanya Rere sewot pada Angga. Keluarganya memberikan mereka waktu untuk bicara.
"Kenapa kamu marah Re? Harusnya kamu senang karena aku telah berani datang bertanggung jawab."
"Apa aku memintanya?" Rere menyeka bulir bening di pipinya.
"Re," lirih Angga menatap Rere. Tak mengerti dengan jalan pikiran sang kekasih.
"Pergi kamu dari sini," usir Rere halus. "Aku dan Leon sudah hidup tenang. Sekarang kamu datang dan merusak semuanya. Luka itu baru saja sembuh tapi kamu malah membuat luka orang tuaku menganga kembali. Apa mau kamu? Apa kamu tidak mengerti bahasa Indonesia? Aku tidak mau kembali bersama kamu. Kita sudah berakhir Angga. Mohon jangan kejar aku lagi."
"Re…"
Rere melayangkan tangannya ke udara. Ia tak mau lagi bicara dengan Angga. Tak ada lagi yang perlu dibicarakan.
"Baik Re. Aku akan pergi jika itu yang kamu mau."
Rere mengabaikan Angga menganggap pria itu tak pernah ada. Wanita itu kembali ke kamar dan menghubungi Gesa. Mereka sudah bertemu di mall beberapa waktu yang lalu. Gesa melarikan diri setelah sembuh dari depresi. Gesa tak mau menyusahkan Bara dan Rere lagi. Rere menghadapi bahaya karena dia. Gesa tak mau membuat orang-orang terdekatnya dalam bahaya.
"Assalamualaikum Re," sapa Gesa ramah.
"Lo ada dimana?"
"Kost. Kenapa?"
"Sudah nonton TV?"
"Sudah. Terjadi gempa bumi dan tsunami di pulau Pangkor."
"Abang Bara dan Tia jadi korban."
"Apa?" Pekik Gesa kaget. Tak menyangka dewa penolongnya menjadi korban. "Sudah dapat info tentang abang lo?"
"Pihak kedubes sudah hubungi kami. Tia dan bang Bara masuk dalam daftar orang hilang. Gue mau cari keberadaan mereka. Gue mau ke KL. Lo bisa temani gue?"
"Bisa." Gesa segera mengiyakan. Tak enak jika menolak karena Rere dan Bara sudah menolongnya selama ini.
Gesa segera datang ke rumah Rere. Mereka akan berangkat dari sana. Mereka berpamitan pada Herman dan Ainil.
"Kalian hati-hati disana. Semoga kamu segera menemukan kakakmu. Papa ga bisa hidup tanpa Bara." Herman menangis pilu. Herman tak tahu harus bagaimana jika pada akhirnya Bara ditemukan dalam kondisi meninggal dunia.
"Kita sama-sama berdoa ya Pa. Aku yakin abang akan baik-baik saja." Rere mencoba menghibur Herman.
"Bunda berharap Bara enggak kenapa napa. Bunda sayang sama dia. Bawa abang kamu pulang ya Rere."
"Sama menantu papa dan bunda sekalian," ucap Rere keceplosan.
"Maksud kamu?" Herman penasaran.
"Aku sudah temukan dimana kak Dila dan cucu papa." Rere menggenggam tangan Herman.
"Jadi….."
"Kak Dila kabur ketika sedang hamil. Dia hamil anak kembar tiga. Selama ini kak Dila tinggal di KL."
"Darimana kamu tahu?" Herman kaget, tak menyangka Rere tahu semuanya.
"Aku sudah mencari keberadaan kak Dila selama beberapa tahun. Nanti aku cerita lagi Pa. Kami ke bandara dulu." Rere berpamitan dengan kedua orangtuanya.
Ketika berada di pesawat Rere kaget karena ada Angga. Pria itu mengambil cuti dan ingin menemani Rere selama di KL. Gesa sudah mencari tahu keberadaan Bara dan menyiapkan akomodasi mereka selama disana.
"Kenapa kamu ikutin aku?" Rere naik darah. Mau pindah duduk tapi tidak ada kursi yang kosong.
"Siapa dia Re?" Tanya Gesa penasaran.
Angga mengulurkan tangan, "Gue Angga pacarnya Rere," ucap Angga tanpa tahu malu.
"Mantan Angga bukan pacar." Gigi Rere bergemeletuk melihat kegigihan Angga.
Selama dalam perjalanan Rere tidak mempedulikan Angga meski pria itu terus mendekatinya. Rere meminta Gesa untuk jadi tameng agar Angga tak bisa mendekat. Dua jam perjalanan dari pesawat dan menuju hotel. Rere dan Gesa tergolek lemah di kamar hotel. Perjalanan ini menguras tenaga mereka. Bagi Rere perjalanan ini tak hanya menguras tenaga tapi juga pikirannya. Entah kenapa Angga malah mengikutinya. Rere semakin kesal ketika Angga menginap di hotel yang sama dan kamar mereka bersebelahan.
Setelah beristirahat sejenak Rere dan Gesa menuju pulau Pangkor. Mereka sudah menemukan keberadaan Tia. Selama ini Tia dan Daniel tinggal di tenda pengungsian. Beberapa jam di perjalan Rere dan Daniel sampai di pulau Pangkor. Gesa mencari info tentang Tia di bagian informasi. Relawan mengantarkan keduanya menuju tenda.
"Tia," pekik Rere ketika bermain bersama anak para pengungsi.
"Rere," pekik Tia berlari mengejar sahabatnya. Keduanya berpelukan haru. Rere juga melihat Daniel selamat. Rere hanya mengangguk menatap Daniel.
Ketika mereka bertiga berbicara. Rere melihat sosok Dino. Ia terperanjat. Rere memalingkan wajahnya agar pria itu tidak melihatnya. Tia melihat perubahan wajah Rere. Tia pura-pura tidak tahu dengan apa yang dilihat Rere.