****
"Bos, sialan."
Aku berteriak dengan kesal. Menatap beberapa berkas yang belum selesai kukerjakan di atas meja kerjaku. Hari sudah hampir larut, dan aku masih harus berkutat dengan tugas kantor yang seharusnya bukan aku yang mengerjakannya. Menghela nafas, aku berjalan kearah pantry, membuat secangkir kopi pahit untuk menemaniku lembur.
"Bos, sialan. Seenaknya aja ngasih tugasnya sama gue. Awas aja kalau besok dia gak datang lagi, gue cukur tuh bulu hidungnya."
Aku mengaduk kopi sambil menggerutu kesal dengan kelakuan Bosku. Sudah tiga hari aku lembur. Mengerjakan pekerjaan yang seharusnya di kerjakan oleh Arash, Bosku. Aku menyeruput kopi pahit buatanku sendiri, sambil mengingat-ingat alasan Arash ketika dia memberikan semua pekerjaannya kepadaku.
"Rasi, saya itu udah lama banget nggak liburan sama keluarga saya loh."
"Terus?" tanyaku dengan nada curiga.
Arash tersenyum, menatapku dengan wajah dibuat-buat polos. "Jadi, besok saya mau ke Bali sama keluarga saya."
"Terus kerjaan Bapak?"
"Kamu yang ngerjain."
Sebelum aku menjawab, Bosku yang sialan itu sudah lebih dulu memberikan ku setumpuk berkas, dan meletakkannya di atas meja. Aku menatap cengo kearah setumpuk berkas yang begitu banyak. Sedangkan Bosku, tanpa merasa bersalah malah melenggang pergi.
Aku menghela nafas lelah. Mengingat alasan Arash yang menjengkelkan itu, entah mengapa membuatku bertambah kesal. Aku berjalan meninggalkan pantry menuju mejaku. Handphoneku dari tadi sudah berbunyi, mungkin itu pesan dari Papa yang menanyakan keterlambatanku pulang. Masih ada beberapa lagi yang belum ku kerjakan. Aku meraih berkas yang paling atas, dan mulai mengerjakannya. Hari ini, semua pekerjaanku harus selesai. Jadi, aku tidak perlu lembur lagi. Dan membuat orang rumah khawatir.
***
Pagi harinya, ketika aku sampai di kantor, teman-teman kantorku sudah pada berkumpul di depan meja Mbak Siti. Kutebak, mereka pasti sedang bergosip ria. Tanpa menghiraukan keberadaan mereka, aku langsung duduk dan mulai menyusun berkas-berkas yang tidak sempat kususun semalam sewaktu lembur.
"Eh, Ras."
"Hmm." jawabku singkat. Tanganku masih asik membereskan meja kerjaku yang berantakan.
"Ih, lihat kesini kek."
Aku memutar bola mata kesal. Menghentikan pekerjaanku dan menoleh kearah Mbak Siti yang tertawa pelan. Teman-teman kantor yang menemaninya bergosip tadi sudah pergi entah kemana, hanya tinggal Keyna yang memang satu Divisi denganku dan Mbak Siti.
"Kenapa sih, Mbak?"
"Lo tau nggak? Gue denger-denger, hari ini Pak Bos udah kerja lagi."
"Ya, bagus dong. Berarti gue nggak akan lembur lagi hari ini."
Mbak Siti menganggukkan kepalanya kepadaku. Namun, sedetik kemudian ia kembali menggelengkan kepalanya. Aku menatap Mbak Siti bingung, tingkahnya yang seperti ini mengingatkan ku dengan mainan kepala Anjing yang ada di Mobil kodok kesayangan ku.
"Bukan itu yang mau gue kasih tau sama elo."
"Terus?"
"Katanya sih, hari ini Bos mau ngenalin calon istrinya sama kita."
Aku mengangguk sambil tersenyum senang. "Bagus, Arash itu emang harus ada pawangnya biar gak marah-marah terus."
"Kok lo malah kelihatan seneng banget sih?"
Aku menatap Mbak Siti bingung, "Ya, terus gue harus gimana? Kan Arash mau nikah, ya gue sebagai anak buahnya harus seneng dong dengernya."
"Gue kira lo bakal sedih dengernya."
"Kenapa gitu?"
"Gue pikir, lo sama Pak Bos lagi ada something gitu."
"Ngawur lo Mbak, ya mana mungkin gue sama Arash."
Aku menggelengkan kepalaku sambil tertawa pelan. Mbak Siti ini ada-ada saja. Nggak mungkin banget aku sama Arash sialan itu. Kalaupun memang iya, aku pasti sudah menolaknya mentah-mentah dari awal. Tukang baperin orang kayak gitu mah, jangan sampai jadian sama ku. Bisa makan hati setiap hari.
"Tapi, yang dibilang sama Mbak Siti itu bener juga."
Aku menoleh kearah Keyna yang dari tadi diam saja.
"Kalau lo jalan berdua sama Arash, kalian kelihatan serasi banget. Ditambah sama pertengkaran kecil-kecil kalian yang bikin semua orang iri." lanjutnya dengan antusias.
Aku menatap Keyna dengan tatapan aneh. Apa dia bilang? Pertengkaran kecil yang bikin semua orang iri? Yang ada bikin jengkel. Aku menggelengkan kepalaku. Mengabaikan ucapan antusias Keyna. Tanganku kembali bergerak merapikan mejaku, tidak memperdulikan Keyna dan Mbak Siti yang kembali bergosip tentang Arash.
"Pagi, semua."
Secara bersamaan, kami bertiga menoleh kearah Arash yang baru saja menyapa kami dengan senyuman lebarnya. Sepertinya berita tentang Arash yang akan mengenalkan calon istrinya itu benar. Melihat wajahnya yang cerah pagi ini sudah bisa membuktikan berita tersebut.
"Yaelah, yang baru pulang liburan cerah amat Pak."
Arash tersenyum lebar. "Iya, dong. Namanya juga baru pulang liburan."
Aku diam-diam mencibir dalam hati. Iya, situ seneng. Gue yang sengsara harus lembur tiap hari, batinku kesal. Aku melirik Arash yang sedang berbincang-bincang dengan Mbak Siti dan Keyla.
"Eh, Pak Arash, Saya denger-denger Bapak mau ngenalin calon istrinya ya hari ini?"
Arash menaikkan satu alisnya, "Kamu dapat berita dari mana?"
"Dari karyawan lain."
Aku melihat Arash yang tampak bingung. Namun sedetik kemudian, raut wajahnya berubah menjadi kesal.
"Itu pasti Mama saya yang nyuruh orang untuk nyebarin berita itu." gerutunya pelan.
"Jadi, berita itu nggak bener, Pak?"
Mendengar seruan dari Keyna, aku dan Mbak Siti kompak melihat Arash yang tampak kaget karena suara Keyna yang cukup keras. Aku memandang cemas Arash, berharap dia akan menjawab 'benar' pemberitaan pagi ini. Gawat kalau sampai berita itu ternyata hanya kebohongan belaka. Itu artinya, Arash belum punya pawang untuk menjinakkan sikapnya yang suka seenaknya itu. Karena dari yang kulihat selama ini, seorang laki-laki akan sangat menurut dengan wanita yang dicintainya. Contohnya saja Papa, yang akan selalu menuruti apa kata istrinya. Alias Mamaku.
"Nggak bisa di bilang nggak bener juga sih. Soalnya saya emang udah bilang ke Mama saya kalau saya udah punya calon untuk dijadikan istri saya."
"Jadi, berita itu bener dong, Pak!"
Arash mengangguk. Sedangkan aku, sudah menjerit senang mendengarnya. Diam-diam, aku sudah membayangkan bagaimana damainya hidupku setelah ini.
Aku jadi mempunyai waktu untuk diriku sendiri. Mencari pacar misalnya? Karena, selama lima tahun aku bekerja di sini, aku sama sekali tidak punya waktu untuk berpacaran. Laki-laki yang aku pacari dua bulan setelah bekerja di sini, langsung memutuskanku karena tidak punya waktu untuknya. Senin sampai Jum'at aku sibuk bekerja, Sabtu kupakai untuk istirahat, sedangkan Minggu adalah waktuku untuk berkumpul dengan keluarga. Jadi, bisa dibayangkan betapa sibuknya aku.
"Kamu kenapa?"
Khayalanku langsung buyar mendengar suara berat Arash. Aku menatap Arash sambil tersenyum manis, hal yang jarang aku perlihatkan kepadanya. Sekilas, aku melihat Arash yang tampak tertegun melihatku. Aku mengabaikannya, mungkin itu karena dia teringat dengan calon istrinya.
"Nggak papa, Pak. Saya seneng aja dengernya."
Arash menganggukkan kepalanya sambil tersenyum penuh arti. "Benar, kamu memang harus senang mendengarnya."
Aku terkekeh pelan mendengarnya. "Iya dong, Pak. Sebagai karyawan yang baik, saya akan ikut senang kalau Bosnya juga senang."
"Wah, beneran nih? Kamu bakal senang kalau saya senang?"
Aku menggangguk pelan. Ya iyalah aku bakal senang. Kalau aku nggak senang nanti dikira aneh-aneh lagi. Dasar Bos aneh.
Arash melihatku sambil tersenyum. Mungkin kalau orang yang baru mengenalnya, akan langsung terpesona. Tapi bagiku, senyuman itu adalah awal mulanya petaka.
"Kalau gitu, kamu mau dong Ras jadi Istri saya."
"Pak Arash!"
****