Hasna Widiani menyesap susu hamilnya perlahan, mengambil beberapa biskuit keju di letakkan dalam piring. Lalu melangkah menuju ruang tengah, membawa segelas susu hamil yang telah diminumnya dan sebuah piring kecil berisi biskuit.
Ia menyandarkan punggungnya ke sofa ruang tengah setelah meletakkan segelas susu dan sepiring biskuit di meja. Kemudian meraih remote control televisi, menyalakan benda persegi panjang tersebut. Beberapa kali, ia mencari channel yang bagus untuk dilihat sembari mengelus perut buncitnya.
Ia kembali menyesap susu hamilnya bergantian dengan makan biskuit keju. Baru saja ingin berpindah channel lain, matanya seketika melebar, tercengang ketika mendapati berita tentang jatuhnya pesawat. Tubuhnya seketika kaku, jantungnya seakan berhenti berdetak, napasnya tercekat, dan tiba-tiba ada benda mengalir di kedua pipinya.
Suara dari televisi tidak dapat didengarnya. Fokusnya hanya satu, bagaimana keadaan suaminya sekarang. Pesawat itu, adalah yang ditumpangi suaminya untuk perjalanan bisnis ke luar negeri.
Sampai akhirnya, beberapa menit setelahnya. Nama-nama korban itu ditampilkan pada layar kaca. Tubuhnya bergetar pertanda bahwa tangis pecah, saat mendapati nama Irfan Pranaja berada di urutan tiga puluh dari daftar nama korban yang tidak berhasil terselamatkan.
Ia meraih ponsel dan menghubungi kerabatnya yang bekerja di bandara sebagai pertugas Air Traffic Controller (ATC) untuk menanyakan apakah pemberitaan dan nama korban tersebut benar adanya?
Kepalanya pusing, pandangannya mulai menggelap, ia tidak percaya apa yang dikatakan saudaranya memang benar-benar terjadi, dan ... selanjutnya, ia tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu, yang ada di benaknya hanya nama suaminya, lelaki yang dicintai dan ayah dari anak yang dikandungnya saat ini.
⚛⚛⚛