Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Ladies

🇮🇩arikurnia
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.8k
Views
Synopsis
Sexy Romance. Mature Content Kisah cinta 3 wanita yang bersahabat dan dihadapkan dengan sosok masa lalunya masing-masing. Meghan Jones yang mendapatkan undangan sidang perceraian dari pernikahannya dengan Alexander Cooper yg ia ingat telah dibatalkan oleh sang ayah. Status keduanya yang tidak lagi sendiri dan romansa masa lalu yang kian terasa saat Meghan terpaksa menetap di penthouse mewah milik Alex. Akankah keduanya tetap akan bercerai? Kimberly Hales yg memutuskan liburan seorang diri jelang pernikahannya demi rehat sejenak namun malah dipertemukan kembali dengan Duncan Bennett yang membuat Kim merasakan kembali cinta yang tak pernah padam sepenuhnya pada sosok Duncan. Lantas bagaimana dengan rencana pernikahannya? Saat kehidupan menempatkan Yessa pada pilihan antara cinta dan awal kehidupan karir impiannya. Membawa Yessa dan Brad dalam kisah penantian yang tidak terkatakan satu sama lain. Seakan bagai suratan takdir yang tak mampu Yessa tampik, dan ia tak mampu menghindar dari Brad saat kedua dipertemukan dalam rencana pernikahan Kim dengan suaminya Larry yang tak lain adik tiri dari Brad St' Claire. Masa lalu tak pernah benar-benar pergi selamanya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Ladies - 1

Meghan Jones, wanita pekerja keras, pewaris tunggal perkebunan keluarga Jones sejak kepergian sang ayah David Jones karena serangan jantung. Meg bangun pagi itu tepat di waktu yang selalu sama setiap harinya disusul dengan melakukan ritual-ritual yang biasa, menggosok gigi, berpakaian untuk ke perkebunan, membuat sarapan yang biasanya sudah tersedia di meja makan karena sang ibu, Rebecca Jones selalu bangun pagi jauh dari pada waktu biasanya dari kebanyakan orang lainnya. Rebecca membuat sarapan untuk semua orang, lalu tersenyum dan mengatakan betapa indahnya hidup ini.

Semua yang dirasakan Rebecca seakan berbanding terbalik dengan yang dirasakan Meg. Ia merasakan dalam setiap menit dan detik, merasakan beban yang tidak mudah ia kenali, bagai binatang yang tidak dapat benar-benar mengerti bagaimana dirinya dapat masuk dalam jerat kerumitan kehidupan. Sejak David Jones meninggal beberapa tahun silam akibat serangan jantung, menempatkan Meghan dalam beban tak terkatakan, tanggung jawab yang seakan menimpa tubuhnya, tepat di atas kepala dan membenamkannya dalam kerumitan.

Semua tanggung jawab perkebunan, pegawai, hewan ternak hingga penginapan yang dibuat ibu sang ibu sebagai investasi masa tua, kini berada di bawah tanggung jawab Meg sepenuhnya. Meg merasa tua sebelum waktunya dengan pikiran yang terasa menghimpit meski perkebunan ayahnya membentang luas dengan hasil yang selalu memuaskan.

Meg merasa makanannya terasa hambar. Senyumnya, sebaliknya jika dibandingkan dengan Rebecca, semakin lebar Meg tersenyum, cukup membuat dirinya terhindar dari segala kecurigaan semua orang akan perasaan yang bergemuruh dalam benaknya. Meg menelan keinginannya untuk mengeluh, meski cahaya di luar tampak kelabu.

Meg merasa tak layak mengalami ini semua. Ia selalu encoba memenuhi ekspektasi semua orang, tetapi sekarang ini yang terjadi dan Meg tak dapat melakukan apa pun sebelum ia meminum obat paracetamol. Meg butuh meringankan denyut di kepalanya usai panen jagung mengalami kegagalan karena cuaca yang tidak baik.

"Kau baik-baik saja, Meg?" Pertanyaan yang membuat Meg tersadar dari lamunan, ia mengangkat wajahnya untuk menatap Rebecca, ibunya yang duduk berseberangan dengannya.

Meg mendapati tatapan mata Rebecca yang tampak menyelidik. Meg meraih mug-nya yang berisi kopi panas. "Aku baik-baik saja, Ibu. Mungkin hanya kelelahan," ucap Meg sebelum ia menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman.

"Kau terlalu sibuk memikirkan segalanya, Nak."

Keduanya bertatapan.

"Ya, Ibu benar, bahkan aku lupa dengan janjiku bertemu pemilik butik untuk gaun pengantinku."

"Ya Tuhan, Nak. Apa yang bisa Ibu bantu untukmu?" tanya Rebecca sambil memajukan tubuhnya sedikit ke depan, menempel pada tepian meja makan. Meg tersenyum masam, meraih telapak tangan Rebecca dan mengelusnya dengan gerakan yang lembut. "Aku bisa menyelesaikannya sendiri, Ibu. Percayalah," timpal Meg sambil tersenyum.

Meg beranjak dari meja makan usai menghabiskan kopinya, dan mengabaikan makanan yang masih utuh di atas piringnya. Meg berjalan menuju ke sebuah meja dan meraih sebuah keranjang yang berisikan surat-surat yang datang ke rumahnya. Mengamati satu per satu nama pengirim dan mata indah Meg membulat saat mendapati kop surat yang tertera pada amplop coklat di tangannya.

"Pengadilan negara bagian New York," desis Meg sebelum ia meletakkan kembali semua surat yang ada di tangannya yang lain. Dengan hati-hati Meg membuka amplop tersebut, meluruskan lembar lipatan kertas. Membaca dari baris paling atas dan napasnya tersekat, kelopak matanya terasa lebih lebar dari sebelumnya.

"Surat perceraian?" desis Meg dengan terkejut.

Dunia seakan berputar cepat dan membuat Meg terguncang hebat. "Tidak, ini tidak mungkin," gumam Meg, ia butuh menarik napas dengan dalam. Meg beranjak dari kursi yang diduduki dan berjalan keluar rumah, menuruni undakan sebelum ia berjalan dengan setengah berlari untuk menghampiri Rebecca yang berada di ruang kaca perkebunan.

"Ibu kira kau pergi bersama Edgard, Meg." Rebecca mengatakannya saat pandangan matanya mendapati Meg yang tiba-tiba muncul. Meg menjulang di sudut meja sebelum ia menarik sebuah kursi untuk duduk bersisian dengan Rebecca.

"Ibu, aku mendapatkan surat ini," ucap Meg sambil menyerahkan surat di tangannya, membuat Rebecca menatap dengan bingung. "Ibu tahu, ini surat panggilan perceraian dari negara bagian New York," imbuh Meg yang membuat Rebecca mematung bagai tersambar petir.

Meg menelan ludah, ia memajukan tubuhnya untuk mendekat, menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan memastikan tidak ada orang lain yang mendengar.

"Perceraian dirimu dengan siapa?" desis Rebecca.

"Alex, Alexander Cooper. Pengacaranya mengajukan surat perceraian padaku, Ibu."

Ada jeda sebentar, Meg menarik napas lebih dalam lagi. "Bagaimana mungkin aku bercerai dengannya, jika pernikahan itu sudah dibatalkan sejak awal, Ibu?" tanya Meg tak percaya, banyak pertanyaan yang berputar-putar di dalam kepalanya. Bayangan kejadian saat Ayahnya menarik dirinya keliuar dari rumah mungil Alex pagi itu seakan berputar ulang.

"Ini tidak masuk akal, Ibu. Aku dan Alex…" Kalimat Meg menggantung, ia menatap Rebecca dengan wajah kaku dan masam.

Los Angeles.

Siang hari jelang sore dengan segala kesibukannya, Kimberly Habel beranjak dari satu model ke model berikutnya. Hari ini ia merasakan energinya terkuras habis. Nyaris delapan jam pemotretan. Banyak angle yang ia coba hari ini. Sosok terakhir untuk object kameranya hari ini, seorang gadis berwajah cantik, sawo matang, wajah campuran asia dengan rambut hitam tergerai hanya berulas make up tipis. Kim merasa sangat mudah untuk mendapatkan kepuasan dalam setiap pose gadis itu. Dan hasilnya sementara ini sangat bagus.

"Yup, sesi selesai!!" pekik bergema ke seisi studio. "Yeay" timpal Claudia sang juru make up. Mereka serempak bertepuk tangan hingga membuat seisi ruangan berubah riuh ramai. Kim beranjak menghampiri sebuah meja yang diatasnya terdapat laptop miliknya.

"Bagaimana hasilnya? Aku tidak mengecewakan, kan?" tanya sang model yang muncul dari arah belakang dan Kim berputar di atas tumit sepatunya lalu tersenyum.

"Kau gadis yang cantik, dan object yang selalu memuaskan untuk setiap photografer manapun, Laurent." kata Kim dengan pujian yang terselip. Gadis itu tersenyum bahagia. Wajah cantiknya terlihat lebih semeringah.

"Baiklah, aku akan pulang sekarang. Senang bekerja untukmu Kim," ujar Laurent sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Kim. Mereka saling bersalaman lalu berpelukan sebelum salah satu dari mereka pergi.

Para kru mulai membereskan keperluan peralatan. Kim meneguk air mineral dalam botolnya yang tergeletak di atas meja. Terasa menyegarkan mengenai kerongkongannya yang kering. Hingga ia menghabiskan setengahnya.

Laurent berlalu dengan langkah anggun dan tampak berpapasan dengan Claudia.

"Gadis yang menarik," ucap Claudia yang di balas dengan anggukan oleh Kim.

Kim berbalik untuk kembali merapikan barang-barang miliknya sebelum berdiri bersisian dengan Claudia. "Bagaimana persiapan pernikahanmu, Kim?" tanya Claudia setelahnya.

"Sudah 70% aku rasa. Ya masih butuh beberapa hal lagi untuk dibereskan." jawab Kim lugas sambil terenyum. Keduanya berbincang sambil merapikan peralatan masing-masing. Kim memasukkan kembali kamera dan laptop miliknya dengan hati-hati sementara Claudia dengan serangkaian peralatan makeup yang mampu mengubah tampilan seseorang menjadi luar biasa.

Kim menelan ludah, mengubah posisi berdirinya dengan menyamping, menatap langsung Claudia yang masih sibuk dengan barang-barangnya. "Aku hanya merasa waktu berlalu dengan cepat. Pernikahanku tinggal satu bulan lagi." Kim mengatakannya dengan penekanan dan tampak tatapan matanya menerawang. Suara Kim terdengar ragu bagi Claudia hingga membuatnya menatap dengan bingung.

"Kau akan menikah sekali dalam seumur hidupmu, kau harus yakinkan dirimu, Kim," balas Claudia.

Keduanya saling bertatapan lurus. "Kau pernah bertanya pada dirimu, seberapa kau mengenal seorang Larry St. Claire?" tanya Claudia dengan mimik serius.

Kim menjilat bibirnya yang terasa kering dan pikirannya melayang mendengar pertanyaan yang meluncur dari mulut Claudia. Keheningan yang mulai menyelinap.

"Tak perlu kau jawab. Pertanyakan pada dirimu, Kim," tukas Claudia lagi.

Kim menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Ia merasa apa yang dikatakan Claudia benar. Sekali lagi Kim menarik napas, menghilangkan sesak di dadanya sedangkan jarum jam menunjuk pukul lima sore. "Ayo kita pulang sekarang," ajak Claudia yang membuat Kim tersenyum dan beranjak dari studio bersama.

New York

Pernikahan impian. Setiap pasangan calon mempelai selalu memiliki impian untuk menjadikan hari tersebut menjadi hari teristimewa dalam hidup meraka. Wanita ingin menjadi layaknya putri kerajaan dalam dongeng masa kecil dalam satu hari. Tampil cantik dan luar biasa dalam tatapan banyak tamu.

Saat yang membutuhkan banyak perhatian demi sebuah impian. Semua terencana, terkonsep dan semua sudah dipastikan akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Namun pada kenyataannya, pesta kebun yang berubah menjadi bencana kala mendung dan hujan lebat yang tiba-tiba menghancurkan segalanya tanpa dapat dihindari.

Rasa lelah usai menyiapkan segala yang terkadang tidak dipikirkan oleh kedua mempelai juga bisa menjadi penyebab hancurnya, rasa kantuk dan lelah berujung dengan langkah yang salah dan konsetrasi yang tidak lagi seutuhnya. Membuatnya terjerembab dan terhempas ke tanah di depan banyak mata.

"Aku hadir untuk hal itu, Gemma," ujar Yessa dengan senyum manis yang terukir di wajah cantiknya.

Terdengar tarikan napas panjang dari wanita cantik berambut coklat yang duduk tepat di seberang meja kerja Yessa. Ekspresi wajahnya tampak penuh harap dan duduk tegak di kursi yang ia duduki saat ini.

"Aku ingin menghapus kegagalan pesta pernikahanku, Yes. Aku…" Ada jeda sebentar, Gemma menjilat bibirnya yang berlipstik merah menyala. "Aku ingin para tamu melupakan tragedi pernikahanku sebelumnya."

Yessa menyimak dan menilai perubahan raut wajah Gemma sebelum wanita itu menatapnya kembali dan Yessa mengukir senyum manis di wajah cantiknya.

"Ya, pasti. Aku bisa pastikan untuk hal itu. Serahkan pada kami," ucap Yessa dengan penuh percaya diri. Tak ada keraguan pada suaranya. Mereka bertatapan satu sama lain dan dilanjutkan dengan senyum lebar yang mengembang. Terlihat Gemma yang terdiam sejenak, ia berpikir dan menimbang keputusannya. Melirik ke samping dan mendapati sosok Josie, asisten Yessa dari sudut matanya.

"Baiklah, aku percayakan padamu." Gemma mengatakannya sambil memandang Yessa kembali. Spontan Yessa menghembuskan napasnya dengan lega. Pekerjaan yang ada dalam genggaman. Gemma dan pasangan menjadi klien Yessa yang kesekian untuk bisnisnya yang baru berjalan tahun pertama. Bagai sebuah berkat Yessa tersenyum kian lebar.

"Terima kasih untuk kepercayaanmu, Gemma. Untuk berikutnya, Josie yang akan membantumu," ucap Yessa sambil memperkenalkan Josie yang sedari tadi duduk tak jauh dari keduanya.

Keduanya menatap Josie yang tersenyum. Sorot mata Gemma yang memicing sebelah seakan menyiratkan keraguan. "Baiklah, tidak masalah," tukas Gemma yang terselip ragu sambil menatap Josie dengan tatapan yang tidak biasa. Wajahnya datar, senyum yang mengembang sebelumnya langsung sirna.

Josie merupakan asisten Yessa di butik miliknya, wanita cantik berambut ikal, berkulit sawo matang, dengan wajah tirus, dan sangat dengan mudah mengenali bahwa Josie merupakan keturunan Afro Amerika.

Josie beranjak dari duduknya, berjalan menghampiri Yessa dan Gemma.

"Senang berkenalan dengan Anda. Perkenalkan namaku Joseline Jang." Josie memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan telapak tangannya ke hadapan Gemma yang menatap dengan tatapan tak bersahabat. Hening beberapa detik sampai Gemma beranjak dari duduknya, namun bukan untuk menyambut uluran tangan Josie, melainkan meraih tas berlabel mewahnya. "Baiklah, aku tunggu konsep acaranya darimu, Yessa."

Yessa dan Josie saling melirik sebelum Josie menarik uluran tangannya yang tidak berbalas dengan perasaan yang bercampur aduk. Josie menelan ludahnya sendiri, dan Yessa menyadari hal itu. "Aku akan mengirimkannya padamu, Gemma. Hari ini." Suara Yessa terdengar lugas, sambil bangun dari duduk. Gemma mengangguk pelan, dengan pandangan mata yang hanya tertuju pada Yessa yang membuat sosok Josie seolah tak pernah ada di sana.

"Ok. Aku harus pergi sekarang. Senang bekerjasama denganmu, Yessa."

"Aku juga," timpal Yessa.

Gemma meraih meletakkan tas HERMES miliknya ke bahu kanan.

"See you, Yess," pamit Gemma sambil beranjak pergi meninggalkan Yessa dan Josie di tempatnya.

Terdengar langkah sepatu heels yang dikenakan Gemma beradu dengan lantai, suara pintu yang dibuka lalu tertutup kembali. Bagai menahan napas lama, Josie dan Yessa menghembuskan napas dengan lega. Saling menatap satu sama lain. Jelas terlihat wajah ragu pada Josie. Yessa kembali menghempaskan dirinya ke kursi kerjanya.

"Bersabarlah menghadapi, Gemma."

Josie menggeser kursi yang sebelumnya diduduki Gemma untuk ia duduki. Mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Dia jelas tidak menyukaiku," ucap Josie pelan nyaris berbisik, bagai menyampaikan sebuah rahasia. Yessa meletakkan kedua tangannya, terlipat di atas meja, dan mencondongkan tubuhnya juga menyerupai yang dilakukan Josie.

"Aku yakin kau mampu mengatasinya, Josie," timpal Yessa dilanjut dengan kerlingan sebelah matanya ke arah Josie yang ada di hadapannya.

"Oh no, Yes."

Yessa tersenyum dan ia paham dengan maksud dari sikap Josie. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Aku akan memberikan konsep dasarnya, kau yang akan melengkapinya untuk Gemma. Bagaimana?" tanya Yessa menawarkan.

Josie terdiam, menatap wajah Yessa yang tampak yakin akan dirinya. Meski sesungguhnya Josie merasakan tidak yakin pada dirinya sendiri terlebih sikap menolak dan mengintimidasi dari Gemma pada dirinya yang tampak jelas. Untuk kali pertama Josie merasa menyerah sebelum berperang. Josie menghela napas panjang sebelum ia kembali bertanya, "Kau yakin dan percaya padaku, Yes?"

Dengan keyakinan sepenuhnya, Yessa mengangguk mantap dan dering ponselnya terdengar memecah suasana keduanya. Nama Kim, sang sahabat muncul pada layar ponsel. "Hi cantik," sapa Yessa diawal percakapan.

"Hi Yes, kau sudah membaca pesanku pagi ini, kan?" tanya Kim di ujung ponselnya. Yessa mengangguk pelan saat Josie memberi kode bahwa dirinya akan kembali ke meja kerjanya. "Ya, aku sudah membaca pesanmu. Aku memang belum membalasnya karena---"

"Ya, kau pasti sibuk," seloroh Kim dengan intonasi jenaka pada suaranya.

Yessa terkekeh. Pagi Yessa kali ini disibukan oleh Gemma yang arogan dan sikap tidak bersahabatnya pada orang lain. "Aku ingin kau yang membuat pesta pernikahan untukku, Yes."

"Ya tentu. Tenanglah. Aku sudah menyiapkan segalanya untukmu," ucap Yessa dengan perasaan senang usai ketegangan yang di laluinya bersama Gemma.

"Kau akan kembali ke Texas? Kapan?" tanya Kim beruntun dengan antusias seakan tanpa bernapas.

Yessa menghela napas panjang, melayangkan tatapan matanya keluar ruangan kerjanya yang terbuat dari kaca. Tampak Josie yang sedang menekuri layar laptop miliknya.

"Mungkin beberapa hari ini. Ya, aku akan kembali akhir pekan atau paling lambat pekan depannya."

"Yeeeee!!!"

Terdengar suara jeritan spontan dari Kim di ujung ponsel Yessa hingga ia perlu sedikit menjauhkannya dari telinga sambil tersenyum. "Aku senang mendengarnya. Aku akan mengatakan hal ini pada Larry dan keluarganya."

"Ya, kabari mereka."

"Baiklah, aku harus pergi sekarang. Aku menghubungimu hanya untuk memastikan hal itu saja," tukas Kim menggebu-gebu penuh semangat. Yessa membayangkan wajah Kim yang ekspresif hingga ia tersenyum seorang diri.

"Bye, Yes."

"Bye."

Percakapan mereka berakhir. Yessa menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi dengan hembusan napas yang terasa menyesakkan dadanya. Bayangan dirinya yang kembali ke Texas, melintasi ruas jalan yang dulu pernah ia lalui. Dan citra bayangan kegagalan acara pernikahannya tiga tahun yang lalu bersama Brad St. Claire. Semuanya berkelebat dalam ingatan Yessa. Kisah cintanya yang berakhir tragis dengan Brad, yang mereka jalin sejak masa sekolah tingkat atas.

Yessa membuka ponselnya. Membuka galeri foto dalam ponsel piliknya, menggesernya dan mendapati foto-foto yang tetap tersimpan baik di dalam ponsel. Foto gaun pengantin miliknya yang masih lengkap dengan tudung berenda. Foto dirinya bergaun pengantin dan jemarinya terus bergerak, menggeser layar hingga fotonya bersama dirinya bersama Brad terpampang.

"Ya Tuhan," desis Yessa pelan sambil meletakkan ponselnya diatas meja kerjanya.

***