Sina tidak bisa tertidur sekeras apapun ia mencoba untuk memejamkan kedua matanya ia masih tidak bisa. Pikirannya saat ini sedang panik di dalam kepalanya. Berpikir sapaan seperti apa yang akan Sina berikan kepada Tuan Dion untuk pertemuan pertama mereka, apakah ia harus menggunakan sapaan biasa atau formal Sina bingung memilihnya.
"Ah... rasanya terlalu menegangkan, aku masih belum bisa percaya jika besok aku akan tinggal di rumahnya." Gumamnya tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.
Dion, Sina penasaran bagaimana tanggapan yang akan diberikannya nanti ketika mereka pertama kali bertemu besok. Mungkinkah Dion tidak merasakan kesan apapun dari Sina karena bagaimanapun Sina tidak punya kelebihan apapun untuk ditunjukkan kepada Dion. Entah itu dari kecantikan atau prestasi, Sina tidak memilikinya karena sekali lagi ia tidak punya potensi apapun untuk bisa mendekati Dion.
Namun, ini soal hati jadi siapa yang akan tahu bagaimana ujungnya?
"Jangan berpikir yang tidak-tidak dan mulai mengemasi barang-barang mu!" Monolognya pada diri sendiri.
Ia lalu bangun dari acara tidurnya dan menyadari waktu sudah masuk tengah malam. Namun, Sina tidak terkejut sama sekali dan mulai membuka lemari pakaiannya. Mengeluarkan beberapa pasang pakaian yang akan ia gunakan di sana selama ia tinggal nanti. Waktu tinggalnya di sana tidak dijelaskan oleh kedua orang tuanya sampai batas tertentu. Mereka hanya bilang Sina akan tinggal di sana untuk merebut hati Dion jadi mau tidak mau Sina harus membawa semua pakaiannya ke sana.
Tidak lupa ia juga membawa satu-satunya perhiasan yang Neneknya berikan sebelum meninggal beberapa tahun yang lalu. Neneknya bilang jika perhiasan ini Kakek berikan kepadanya saat di malam pernikahan mereka berdua. Sebuah bukti bahwa Kakek sangat mencintai Nenek dan rasa cintanya itu terus saja menyala bahkan di saat ajal menjemputnya.
Sina sangat tersentuh dengan cinta Kakek dan Neneknya yang indah nan manis.
"Ini hanyalah Rubi namun maknanya sangat dalam." Sina menatap kagum kalung Rubi merah yang ada di tangannya.
Warnanya yang merah terang dan berkilauan tidak bisa tidak membuat siapapun yang melihat langsung tersihir. Apalagi bagi kaum perempuan yang sangat menyukai barang mewah dan indah, tentu saja kalung ini akan langsung mengikat keinginan mereka.
"Sekarang aku akan menggunakannya dan berharap semoga kisah cintaku akan semerah Rubi ini, sama halnya dengan cinta yang dimiliki oleh Kakek dan Nenek ku dulu." Gumamnya berharap.
Ia melepas kait kalung tersebut dan dengan mudah memakaikannya di leher Sina yang ramping. Senang, ia lalu menatap dirinya yang terpantul di cermin. Menatap lehernya yang dimahkotai oleh sebuah kalung Rubi merah terang yang menarik mata siapapun.
"Hem..mata Kakek sangat tajam ketika memilih kalung ini." Ucap Sina masih tenggelam dalam ketakjubannya.
Sina mengangguk ringan, lalu melanjutkan kembali kesibukkannya. Setelah ia mengeluarkan semua pakaiannya, Sina kemudian menarik koper yang ia sengaja simpan di bawah ranjang. Tangannya yang cekatan dengan cepat mulai melipat pakaian yang ada di atas ranjang dan menyusun dengan rapi di dalam koper.
20 menit kemudian, Sina sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ia menutup koper miliknya dengan suasana hati yang baik lalu memposisikannya tepat di sudut kamar agar ia lebih mudah melihat dan mengambilnya besok siang.
Melirik waktu lagi, Sina memperkirakan 30 menit lebih telah berlalu untuk menyiapkan semua ini. Sina juga tidak punya keinginan untuk melanjutkan tidurnya dan memilih untuk menghabiskan malam ini untuk menenangkan ketegangannya.
🌺🌺🌺
"Ingat, selama kamu tinggal di sana tidak diizinkan melakukan hal yang aneh-aneh dan berpotensi mempermalukan keluarga kita. Belajarlah lebih rendah hati dan jangan memaksakan keinginan keras kepala mu pada orang-orang yang tinggal di rumah itu. Jika nanti Tuan muda Dion sama sekali tidak terpengaruh dengan keberadaan mu atau sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan maka kamu harus segera pergi dari rumah itu dan kembali ke rumah. Namun, jika kamu tetap keras kepala dan memaksakan kehendak hatimu kepada Tuan muda Dion maka kami akan dengan terpaksa menyeret kamu pulang ke rumah." Nyonya Faras memperingati putrinya untuk yang kesekian kalinya.
Ia terus saja mewanti-wanti putrinya agar menjaga sikap selama tinggal di sana dan tidak menggunakan keras kepalanya untuk bertindak gegabah. Karena semua orang yang berkecimpung di dunia bisnis tahu jika pemuda ini tidak mudah di dekati sehingga Nyonya Faras mengingatkan agar Sina tidak memaksakan perasaannya kepada Tuan muda Dion jika dia tidak tertarik pada Sina.
Sina memutar bola matanya malas, mengangguk kepalanya dengan bosan untuk kesekian kalinya.
"Aku tidak seceroboh itu." Katanya mengingatkan Nyonya Faras.
Sina mengalihkan perhatiannya menatap jendela mobil yang membuat Sina semakin berdebar tidak karuan. Saat ini mereka sudah memasuki komplek perumahan elit yang hanya diisi oleh para orang kantoran yang bergaji besar. Rumah-rumah yang berdiri kokoh di sepanjang komplek ini tidak bisa menyembunyikan seberapa kaya orang-orang yang menghuninya, tentu saja Sina bisa menebak bahwa orang yang tinggal di sini adalah pekerja keras dan sukses yang pasti membuat orang di luar sana iri.
Kemewahan ada dimana-mana dan menunjukkan bermacam-macam gaya rumah modern maupun klasik yang menguras dompet. Perbedaan gaya ini menjelaskan Sina bahwa gaya rumah ini mencerminkan pemilik rumah masing-masing. Entah itu polos atau berkelas, Sina tahu bahwa komplek ini adalah komplek orang kaya yang penyendiri. Lihat saja betapa tinggi gerbang rumah masing-masing, memberikan kesan seolah-olah tempat ini tidak mudah dimasuki oleh sembarang orang. Bahkan mungkin untuk tetangga terdekat saja tidak melihat betapa sunyinya kawasan ini.
"Mengapa orang kaya sangat suka hidup menyendiri?" Bisik Sina tidak mengerti.
Padahal tidak ada salahnya dengan hidup berdampingan dengan para tetangga. Selain lebih hidup, bergaul dengan orang lain juga membuat mental jauh lebih baik daripada hidup sendirian seakan-akan dikucilkan dari masyarakat.
"Orang kaya adalah orang yang sibuk dan minim waktu untuk beristirahat. Ketika mereka mendapatkan waktu untuk beristirahat hal pertama yang mereka ingin lakukan adalah menghabiskan waktu tersebut bersama keluarga mereka. Karena itulah mereka sangat terbiasa hidup menyendiri seperti ini karena waktu yang mereka punya tidak cukup untuk saling tegur sapa dengan orang luar." Jelas Nyonya Faras.
"Membosankan." Bisik Sina acuh.
Ia sama sekali tidak perduli dengan penjelasan orang kaya karena matanya lebih fokus memandangi rumah-rumah mewah yang terlihat begitu sepi tanpa kehidupan. Di dalam hatinya, Sina bertanya mungkinkah orang yang ada di dalam rumah-rumah itu merasakan hal yang sama dengan dirinya?
Mungkinkah anak-anak yang ada di dalam rumah-rumah itu merasakan hal yang sama dengan dirinya?
Orang tua mereka menghabiskan waktu lebih banyak dengan pekerjaan ketimbang memberikan perhatian lembut nan hangat selayaknya orang tua pada umumnya kepada mereka, apakah ini tidak membuat mereka yang terjebak di dalam rumah-rumah itu kesepian?
"Kita sudah sampai, ayo turun." Suara acuh Nyonya Faras menyadarkan Sina dari lamunannya.
Segera ia turun mengikuti jejak Nyonya Faras seraya diam-diam menetralkan detak jantungnya yang semakin berdetak kencang di dalam tubuhnya. Kedua tangannya meremat kuat gaun abu-abu selutut yang ia kenakan sekarang sebagai pelampiasan kegugupan yang ia rasakan.
Setelah mereka turun dari mobil, Tuan Randi dengan tenang menarik tangan putrinya untuk mengikuti langkahnya berjalan ke depan pintu rumah mewah tersebut. Di sana Sina bisa melihat ada sepasang suami istri yang sudah menunggu kedatangan mereka dengan senyuman yang hangat.
Berjalan semakin dekat Sina akhirnya bisa melihat wajah sempurna mereka yang ia yakini sebagai Nyonya Ranti dan Tuan Edward. Sina sering melihat pasangan suami istri ini muncul di dalam tv maupun koran-koran sehingga ia tidak akan salah mengenali mereka. Sina pikir pasangan ini ternyata terlihat lebih baik jika dilihat di dunia nyata daripada di dalam tv. Fitur-fitur wajah mereka yang sudah tidak muda lagi tidak bisa menyembunyikan betapa sempurnanya wajah ini satu dekade yang lalu.
"Ranti, Edward, selamat siang." Sapa Tuan Randi dengan senyuman bisnis yang tidak asing.
Pasangan itu mengangguk dan dengan hangat membalas pula, "Selamat siang Randi, Faras...dan gadis kecil yang manis."
Sina malu, kedua pipinya bahkan merona dibawah mata telanjang kedua pasangan itu. "Selamat siang Tante, Om." Sapa Sina malu.
Nyonya Ranti menyunggingkan senyum, sepertinya ia sangat menyukai Sina meskipun ini adalah pertemuan pertama mereka.
"Sina, kemarilah." Panggil Nyonya Ranti ramah.
Sina ragu, menatap kedua orang tuanya yang tidak terganggu ia akhirnya berjalan mendekati Nyonya Ranti. Tangannya yang tadi sibuk meremat kain gaunnya dengan lembut ditarik oleh Nyonya Ranti.
"Ayo masuk, yang lain sudah menunggu kedatangan kalian." Ajak Tuan Edward ramah, mempersilakan kedua orang tua Sina masuk ke dalam rumah mereka.
Sebenarnya Nyonya Faras dan Tuan Randi tidak perlu canggung di sini karena biar bagaimanapun mereka berempat bersahabat sehingga sudah seperti saudara ketika bertemu
"Jangan gugup, tidak akan ada yang memakan Sina di rumah ku." Bisik Nyonya Ranti menggoda Sina.
Sina mengangkat kepalanya menatap Nyonya Ranti yang masih menyunggingkan senyumnya. "Aku.. tidak berpikir seperti itu, Tante." Ucap Sina dengan wajahnya yang semakin merona.
Jelas sekali ia sangat malu bisa sedekat ini dengan Nyonya Ranti, Ibu dari laki-laki yang akan bertunangan dengannya.
Bersambung...