"Sakit, Ayah. Ini sakit sekali. Kenapa Ayah setega ini pada Anin. Salah Anin apa?"
Anin menangis merasakan perih di antara kedua selangkangannya. Tangan memegang erat selimut yang menutup tubuh polos milik dia. Sungguh dalam mimpi sekalipun, Anin tidak menyangka hidupnya akan sehancur ini.
Siapa yang terima, tanpa mengetahui apa kesalahan yang dibuat, seorang Ayah yang selama ini begitu menyayangi dia, justru menjadi orang yang menghancurkan hidup anin dengan cara merampas mahkota yang seharusnya menjadi hak suaminya suatu hari nanti. Kini apa yang bisa dia persembahkan untuk sang imam nanti?
"Maafin Ayah, ya, Nin. Semua yang terjadi anggap saja sebagai baktimu kepada Ayah. Selama ini Ayah sudah membiayai hidup dan mengangkatmu dari lembah nista. Jadi Ayah berhak memiliki dirimu. Ayah tidak dapat mengendalikan diri karena dirimu. Maafkan ayah ya, Nin." Pak Abas duduk di sofa depan ranjang yang Anin tempati sambil mengembuskan asap rokok dengan tenang. "Ayah harap jangan ada yang tau, Nin. Kamu tidak ingin ibumu menanggung malu yang membuat jantungnya kumat,'kan?" lanjut Pak Abas.
"Berbakti tidak dengan cara semenjijikkan ini, Yah." Isak tangis Anin semakin perih terdengar. Sungguh dia tidak pernah menyangka Ayah angkatnya tega menghancurkan dia.
Padahal selama ini, dia begitu menyayangi kedua orang tuanya tersebut. Mereka selalu menjadi contoh hidup Anin dalam menjalani kehidupan ini. Anin selalu menjaga diri dari para pria karena Anin ingin seperti sang Ibu, mendapatkan suami yang baik seperti Ayahnya. Namun, justru sang Ayah dengan tega menghancurkan pandangan tentang keharmonisan kedua orang tuanya itu, walau dia hanya anak angkat, kebahagiaan selalu menghampiri. Kasih sayang mereka selalu tulus untuk Anin. Sekarang hanya mimpi buruk yang menghampiri.
Walaupun wajah sang ayah tergolong tampan, umurnya memang sudah lebih dari kepala empat. Namun, badannya terlihat kekar, dengan rahang yang tegas dan terkesan macho, juga mata yang tajam dihiasi alis yang tebal sempurna. Jangan lupa hidungnya yang mancung, dan bibir yang terlihat penuh. Sungguh wajah sang ayah terlihat sangat rupawan. Namun, Anin sudah menganggap Pak Abas sebagai ayahnya sendiri.
Apalagi saat melihat darah keperawanannya telah tercetak jelas di seprai. Pedihnya, darah itu harus ada karena kebejatan sang ayah angkat, dan sangat menyakitkan, semua terjadi di peraduan orang tuanya terbiasa memadu kasih. Sungguh tidak ada niat sedikitpun untuk mengkhianati sang ibu angkat yang telah menyelamatkan dia dari tempat pelacuran. Namun, sekarang semua hal yang tidak diinginkan malah terjadi.
Dulu, dia adalah anak seorang pelacur di sebuah lokalisasi yang terkesan kumuh. Tidak ada yang tahu bahkan ibunya, ayahnya siapa, karena banyaknya tamu yang ibu kandungnya layani. Anin harus tumbuh jauh lebih dewasa daripada umur yang sebenarnya. Bagaimana tidak dewasa, setiap hari dia akan menyaksikan teman-teman sang ibu, tertawa centil dalam pelukan laki-laki yang berbeda setiap hari. Anin terbiasa melihat adegan dewasa diumur yang masih sangat muda. Dia biasa mendengar desahan erotis dari kamar-kamar yang tertutup itu.
Namun, sang ibu kandung berusaha sebisa mungkin menyelamatkan Anin dari pandangan itu. Pandangan yang tidak pantas ditonton anak seumurnya.
Berawal dari kedatangan Pak Abas beserta Bu Dewi sepuluh tahun lalu di daerahnya untuk membagikan makanan gratis. Entah bagaimana, tiba-tiba ibu kandungnya memeluk dan menciumi Anin sebelum kemudian Anin diserahkan kepada Bu Dewi.
Ibu kandungnya hanya bilang Anin harus menuruti Bu Dewi dan Pak Abas nanti. Anin hanya mampu mengangguk dalam kebingungan.
"Anggap saja dirimu menggantikan peran ibumu yang berpenyakitan itu. Istirahatlah ... biar Ayah yang menjaga Ibu."
Pak Abas memakai bajunya, kemudian merapikan penampilan, dan keluar sambil membawa perlengkapan ibu ke rumah sakit.
Anin hanya mampu menangis meratapi kehancuran yang diberikan oleh pelindungnya selama ini.
***
Entah apa yang terjadi, kala itu Anin melihat ibunya pingsan di depan pintu kamar. Dengan berurai air mata, Anin berteriak minta tolong. Sungguh saat itu pikiran Anin mendadak kacau melihat keadaan ibunya yang tidak berdaya.
Warga bergotong royong membawa Bu Dewi menuju rumah sakit dengan mobil yang terparkir di depan rumah. Dengan sigap salah seorang warga membawa mobil dengan cepat menuju rumah sakit.
Keluarga Pak Abas terkenal kaya juga baik hati. Saat itu Pak Abas sedang berada di restoran milik dia. Yah Pak Abas seorang pengusaha kuliner yang memiliki banyak cabang di beberapa kota. Semua orang sangat tau betapa murah hati beliau. Selalu ringan tangan saat ada warga yang membutuhkan bantuan. Pak Abas sebaik malaikat bagi warga di tempat dia berdomisili. Sehingga saat salah seorang keluarga Pak Abas membutuhkan pertolongan, warga tanpa sungkan membantu beramai-ramai.
Setelah mengurus administrasi ibunya di rumah sakit di temani oleh Bu Wati, tetangga sebelah rumah, Anin menghubungi sang ayah memberitahu bahwa ibunya masuk rumah sakit.
Ternyata saat diperiksa Dokter, Ibu Dewi mengalami serangan jantung. Untung saja Ibu Dewi langsung dibawa ke rumah sakit. Terlambat sedikit saja, akan fatal akibatnya. Setelah yakin Ibu bisa ditinggal, Anin pamit sebentar dan meminta Bu Wati menemani Ibu sebentar, dia pamit untuk pulang. Anin harus mempersiapkan kebutuhan ibunya di rumah sakit.
Sesampai di rumah, Anin segera memasuki kamar orang tuanya. Dia sangat sibuk mempersiapkan pakaian Ibu Dewi ke dalam tas, Anin tidak menyadari langkah kaki yang perlahan memasuki kamar.
"Empphhh ...!"
Anin berteriak terkejut, saat ada tangan yang begitu lancang membekap mulutnya dengan kuat. Tubuhnya terasa nyeri saat tiba-tiba dibanting ke ranjang. Mata indahnya membola karena terkejut, ternyata pelakunya sang ayah angkat sendiri.
Saat sang ibu sedang dirawat di rumah sakit, akibat jantungnya yang sempat kumat, Anin harus merelakan keperawanannya dirampas oleh ayah angkatnya. Sungguh Anin tidak pernah mengira, hari dimana Ibu sedang meregang nyawa, ayahnya justru melakukan tindakan biadab.
Pak Abas tidak terlihat menyesal telah merenggut kehormatan sang putri angkat. Sejujurnya saat melihat Anin, otaknya sudah berpikir tidak karuan. Tubuh Anin mengingatkan Pak Abas dengan tubuh Bu Dewi dikala muda. Dia tidak rela ada lelaki lain yang mendapatkan jiplakan dari istri tercinta. Memang sekilas Anin sangat mirip dengan sang ibu angkat, itulah sebabnya dulu Bu Dewi langsung tertarik mengangkat Anin sebagai anak. Apalagi Pak Abas dan Bu Dewi belum juga dikaruniai buah hati.
Sudah lama Pak Abas mengincar Anin. Nafsu binatang yang menguasai membuat Pak Abas lupa, status Anin sebagai anak. Kemolekan tubuh dia yang sedang mekar-mekarnya diumur 18 tahun, juga bentuk tubuh yang menyerupai ibunya, saat muda membuat Pak Abas hampir gila. Apalagi penyakit komplikasi yang diderita Bu Dewi, ibu Anin membuat sang suami harus sering berpuasa.
Akhirnya semua khayalan yang sering mengiringi, terlaksana sudah. Pak Abas memeluk tubuh berbalut selimut milik Anin kemudian mengecup dahinya sayang. "Tidurlah ... istri masa depanku." Dia keluar melenggang santai dengan membawa kebutuhan istrinya.
Tbc.