Chereads / Jurnal Catatan Elisa / Chapter 1 - 1 | Perkenalan

Jurnal Catatan Elisa

🇮🇩_elnata
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1 | Perkenalan

•••

Cerita diangkat dari kisah nyata.

Beberapa nama dan tempat disamarkan untuk menghindari pelanggaran pasal tentang aturan privasi publik agar tidak merambat menjadi permasalahan lainnya.

[ Penulis : Elnata Pradipta

Cover Editing : Elnata Pradipta

Ilustrasi Gambar : Elnata Pradipta

Pembuatan Naskah & Revisi : 2019-2020 ]

Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang | Don't copyright

•••

_____

Jangan pernah menyerah dengan keadaan,buatlah keadaan yang muak denganmu.

~ Elnata ~

_____

Suatu hari, saat dimana kotaku tak sepadat sekarang. Kita tak akan menjumpai kendaraan dan bangunan yang sebanyak ini. Juga belum dipenuhi dengan gedung-gedung perusahaan raksasa. Sudah 20 tahun berlalu sejak kakiku menginjak kembali tanah kelahiranku karena memutuskan untuk pindah ke kota menemani pendamping hidupku. Saat di mana kakiku melangkah ke garbang sekolah baru memakai seragam putih abu-abu. Juga hari di mana aku mengenal sahabatku dan tentu juga dia.

Kalau bisa dikatakan bahwa aku rindu, aku sangat merindukannya juga sahabatku. Bukan sebagai orang yang pernah mencintainya, tapi sebagai teman yang sudah lama tak pernah berjumpa. Ah, bagaimana kabarnya sekarang. Hei, buat kamu pria yang pernah mengisi hari-hariku. Bagaimana kabarmu? Apakah kamu masih tetap menjadi orang yang sama? Juga perkenalkan, namaku Elisa Hendrasaka. Anak ketiga dari empat bersaudara, anak dari dua anak manusia yang bersatu menjalin ikatan suci yang bernama pernikahan. Sabrina Kertanegara dan Erwin Hendrasaka, itu nama ayah dan ibuku.

Saat ini aku sedang berada di dalam kereta api yang sedang melaju ke suatu tempat di kotaku, aku tak akan mengatakan secara terang-terangan di mana tempatnya untuk menghindari kebocoran. Yang jelas tak jauh dari pantai utama yang menjadi destinasi wisata kotaku. Pantai ini dikenal dengan nama Pantai Rindu. Apakah aku bercanda? Tentu saja tidak, itu memang namanya. Mungkin kalian takkan percaya ini, but ... yah tapi itulah yang terjadi.

Tak jauh dari sana kalian akan menemukan sekolah lamaku. Kalian hanya perlu berjalan sebanyak tiga puluh delapan langkah. Nyata-nya memang sedekat itu, percayalah dengan ku. Jika kalian menebaknya dengan benar, ya, tujuanku memang ke sana.

Tempat yang menjadi saksi semua ekspresi maupun itu sedih, gembira, air mata, luka dan sebagainya. Apakah aku akan bertemu dengannya lagi atau tidak di sana, itu tak jadi masalah buatku. Karena kisah antara diriku dan dirinya sudah lama terkubur di sini. Di kota ini. Aku masih ingat, saat itu malam hari. Dia memintaku untuk menemuinya di pantai favorit kami. Di sana ia berjanji akan menemui ku lagi untuk menepati janjinya yang pada akhirnya hanya sekedar ucapan belaka. Di tempat itu juga aku menyaksikan peristiwa tak terlupakan yang akan kuingat seumur hidup ku. Bahkan aku menamai hari itu aku sebagai Hari Terburuk Sedunia. Jika mengingat lagi pada hari itu, aku akan tertawa sumbang. Karena menyia-nyiakan air mataku untuk kejadian yang kuanggap lucu. Aku yang di lupakan kenapa harus aku yang bersedih?

Andai tidak ada kewajiban untuk menepati janji pada sahabat lama. Mungkin ... aku akan tetap seperti tahun-tahun sebelumnya. Dengan tidak menunjukkan wajah di setiap acara reunian yang di adakan sekolah. Bukan karena aku tak sanggup menghadapinya, melainkan karena tak siap melihat reaksinya.

•••

Selasa, 8 Mei xxxx

Seperti biasa, rumah keluarga Hendrasaska akan selalu dihadapkan dengan keributan kecil yang terjadi setiap pagi. Dengan gadis baik hati yang sedikit ceroboh serta seorang kakak laki-laki yang kelewat santai, rumah itu tak akan terlepas dari kehebohan. Namun, itulah yang membuat suasana rumah mereka hidup.

"Mama ... aku berangkat duluan. BANG BURUAN KITA TELAT!" Teriak gadis itu heboh.

Seperti biasa ... selalu menjadi rutinitas setiap paginya memulai hari dengan teriakan yang memenuhi seisi rumah.

"Eh, eh, gak sarapan dulu?" tanya mamanya mencegat gadis itu saat hendak salim.

"Hihi, gak usah deh. Udah telat, duluan ya ma! Assalamualaikum. ABAAANG AYO BURUAN!" ucapnya nyengir dan mencium pipi ibunya. Kemudian berlalu keluar sambil menenteng sepatunya setelah menyempatkan untuk teriak memanggil kakak laki-lakinya.

Seorang pria menuruni tangga dengan santai. Raut wajahnya terlihat kusut. "Kenapa lagi sih tu anak. Selalu aja bikin kuping gue pengang!" dumelnya kesal.

"Kamu kayak gak kenal adik kamu aja. Dia kan suka gitu, heboh sendiri anaknya." Ibunya hanya tersenyum memaklumi anak gadisnya itu.

"Vero berangkat ya, Ma," ucapnya sambil salim dan mencium pipi ibunya.

"Iya, hati-hati di jalan. Nih, sekalian bawain bekal adik kamu." Ia mencium dahi putranya dan menyodorkan sebuah kotak makanan.

"Huh, kebiasaan banget pelupa! Yaudah, Vero pamit ya, Ma. Assalamu'alaikum."

"Iya, hati-hati di jalan ya, Vero. Inget! jangan ngebut. Jaga adik kamu baik-baik!" Nasihat Mama nya.

"IYA MA!"

"Wa'alaikumsalam," jawab mamanya sambil menggeleng kepala. Yang satu ceroboh, yang satunya lagi kelewat santai. Tapi dua-duanya tetap saja menuruni kebiasaan buruk sang papa. Heboh!

•••

Alarm berbunyi tanda jam pelajaran pertama telah usai. Pengingat dari pengeras suara terdengar nyaring yang membuat para siswa bersorak bahagia.

'Now, it's time for student to rest.Thank you'

Sudah menjadi rutinitas setiap hari akan ada salam pada sesi awal dan akhir pelajaran. Ngomong-ngomong, sudah seminggu sejak aku memulai hari sebagai siswa kelas dua.

"Okay, children. Close your book, our lesson ends and will continue next week!" ucapan Sir Antonio membuat lamunanku buyar dan menatap kembali ke depan.

"Yes, Sir."

"Antention, please!" Ketua kelas mengeluarkan suara terbaiknya agar para siswa berdiri tegak.

"Great greeting!"

"Good morning, Sir."

"Good morning, Student. And see you next time!" Timpal Sir Antonio dan berlalu keluar.

Kelas menjadi riuh setelahnya, para siswa berpencar ke tempat tujuan mereka sendiri. Seperti ke canteen, perpustakaan, taman sekolah, dan bahkan ada yang memilih untuk tetap di kelas—tentu saja ... aku. Kelasku tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar. Dengan papan tulis berada tepat di depan kelas, juga dihiasi dengan hiasan-hiasan dinding, serta sang saka merah putih bendera kebanggaan Indonesia yang tepat berada di semping meja guru. Jika melihat di belakang, kalian akan nenemukan dinding yang dipenuhi dengan nama-nama siswa di kelas serta impian kami. Ah, aku jadi teringat Wali Kelasku. Terima kasih, Pak Cipto yang baik hati.

Meski tak terlalu besar, aku cukup menyukai kelasku. Karena lokasinya yang cukup signifikan. Dari jendela kalian akan melihat pantai, langit yang biru, awan yang cerah, dan tentunya sang fajar. Kebetulan sekali kelasku terletak di lantai dua. Memudahkan melihat sejauh mata memandang.

Meski gedung sekolah tidak terlalu mewah dan memiliki fasilitas yang tidak memadai. Satu hal yang kusuakai dari sekolahku. Gedungnya tertata dengan rapi dan asri, ditengah-tengah bangunan kalian akan menemukan pohon tua yang sudah berumur lebih dari setengah abad. Yah ... meski pada akhirnya terkenal angker karena umurnya. Setidaknya itu masih bisa dijadikan tempat berteduh.

Kadang-kadang akan beralih menjadi tempat para siswa tidur siang. Satu hal yang diyakini seluruh penghuni sekolah, bahwa saat berada dibawah pohon itu kalian dilarang memikirkan hal-hal yang berbau mistis, atau kalau tidak sosok wanita berkebaya akan merasukimu. Meski aku tidak mempercayainya, paling tidak cerita itu pada akhirnya akan menjadi salah satu dongeng pengantar tidur dalam karyaku.

•••

Dibalik semua cerita yang ada, hubungan antara Elisa dan teman-temannya bisa di bilang agak rumit karena adanya tragedi cinta dalam persahabatan mereka. Bisa dikatakan Elisa menjadi pemeran utama wanita pada umumnya yang diperebutkan oleh banyak pihak. Contoh kecilnya adalah Darren sang sahabat yang belum menyadari perasaannya pada Elisa, juga Alvin Si Tampan incaran para wanita yang mengalami cinta sepihak atau bisa di katakan cinta bertepuk sebelah tangan. Ditambah dengan pemeran baru yang mencintai Alvin setengah mati, dan merangkap menjadi sahabat Elisa. Sungguh kisah yang rumit dan penuh drama.

•••

Menurutku, perjalanan ke sekolah lamaku agak menyenangkan. Karena aku menikmati setiap perjalananya, memutar kembali ingatan tentang tempat-tempat yang dilewati. Nah, jika kalian melewati Jl. Soekarno Hatta di depan sana kalian akan menemukan warteg yang menjadi langgananku setiap pulang sekolah. Jangan mengira kalau jalan itu adalah jalan yang berada di Jakarta. Meski tempat dimana aku berasal terbilang kota kecil, tapi nama dua Pahlawan Nasional itu juga tersemat di salah satu jalannya.

"Permisi, Auntie. Apa tempat ini kosong?" Seorang gadis menghampiriku, menanyakan apakah tempat di sebelahku sudah di isi. Aku hanya tersenyum dan menjawabnya. "Oh, silahkan. Di sini kosong, kok."

Gadis itu cantik, matanya terasa familiar buatku. Mungkin karena mata elangnya yang mengingatkan akan seseorang yang akrab di mataku. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali kami bertemu. Apakah pandangannya masih sama? Sorotan yang tajam sekaligus hangat dalam satu waktu. Atau akan menjadi sorotan dingin penuh kekecewaan saat bertemu denganku? Aku tak yakin karena selalu berusaha sebisa mungkin untuk menghindarinya setiap kami bertemu. Jika kalian berpikir dia adalah pria romantis dan hangat yang selalu memaafkan dan melindungi wanita yang dicintainya seperti di novel-novel, maka kalian harus kecewa. Mungkin dia tipe pria romantis, tapi juga menyebalkan dan sedikit egois dalam satu waktu.

"Auntie cantik, deh. Aku kayak pernah lihat Auntie. Tapi, di mana ya?" Suaranya yang imut membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada -nya dan menatapnya dalam. Ia tampak lucu saat berpikir keras berusaha mengingat di mana dia pernah melihatku. Untuk seukuran gadis seusianya, bisa dikatakan kalau ia sangat manis.

"Oh, ya? Kamu juga cantik. Cantik sekali! Siapa namamu?" ucapku tersenyum lembut sambil memegang pundaknya. Tapi, kapan saat gadis itu pernah melihatku? Kurasa aku tak pernah melihatnya. Karena aku ingat setiap orang yang masuk dalam pandangan-ku. Mas Aryo, Bu Tiwi, Rita, Santi, Dewi, Sarah, Mike, Si kecil Twinc, dan yang lainnya. Tapi, aku tak pernah merasa mengingat wajahnya.

Ia memperkenalkan namanya. "Oh, iya. Kenalin namaku Kanya, Adinda Kanya Winata. Nama Auntie siapa?" Perasaanku menjadi tidak enak setelah mendengar nama yang tersemat di nama belakangnya karena mengingatkanku dengan seorang teman lama, atau bisa dikatakan musuh lama? Entahlah ... aku juga tak yakin. Setelah itu aku bertanya-tanya, apakah ia keturunan winata? Jika jawabannya adalah, ya, maka takdirku untuk bertemu dengannya adalah salah. Aku tidak akan pernah melupakan kejadian yang aku alami sebelumnya karena salah satu anggota keluarga itu. Ah, mungkin hanya suatu kebetulan. Oh ya, aku lupa untuk menjawab pertanyaannya.

"Nama yang cantik, seperti orangnya. Nama Auntie, Auntie Elisa."

"Makasih Auntie Cantik!" ucapnya girang.

"Makasih buat apa?" tanyaku mengerutkan alis. Aku mengernyit bingung dengan maksud perkataannya.

"Makasih udah bilang aku cantik. Sekarang aku yakin kalo aku cantik, soalnya kak Ravael sama kak Miskha selalu bilang kalo aku itu jelek. Nyebelin!" Ekspresinya berubah cemberut, gadis yang lucu dan manis.

"Kok berubah pikiran?" tanyaku penasaran menautkan alis menggodanya.

Gadis itu hanya terkekeh dan berkata. "Soalnya Auntie juga cantik. Aku tahu kalo Auntie juga baik!" ucapnya semangat. "Iya? Ah, yang betul kamu. Masa sih Auntie baik?" Menggodanya ternyata menyenangkan, gadis ini penuh ekspresi.

"Iya. Kata Mamaku, cuma perempuan cantik yang akan mengatakan orang lain itu cantik. Tapi, kenapa Mama berubah. Auntie Cantik, apa ... Mama nggak sayang lagi sama aku, ya?" Raut wajahnya tiba-tiba berubah cemberut. Ia mengembungkan pipinya. 'Lucu' pikirku.

Aku sempat kaget ketika anak sepolos dirinya menanyakan itu. Rasanya ia salah paham dalam mengartikan. "Oh, ya? Kenapa kamu bisa bilang begitu?" tanyaku.

"Dulu mamaku baaaiiik banget. Tapi akhir-akhir ini, aku gak pernah liat Mama di rumah lagi. Mama selalu pergi lebih awal dan pulang waktu aku udah tidur. Aku gak pernah tau Mama pulang atau enggak, cuma bibi yang sayang sama aku. Mama jahat!"

Aku tersenyum tenang, ini yang jadi masalahnya. "Enggak. Mama kamu nggak jahat, kok. Kamu tau anak-anak yang tinggal di jalanan?" Ia hanya mengangguk pelan. "Kamu mau jadi seperti mereka, sayang?" tanyaku lagi, dan ia menjawabnya dengan gelengan. "Kenapa?" tanyaku lagi.

Ia menatapku sebentar. "Karena mereka gak bisa ke sekolah. Papa bilang aku harus sekolah kalo mau jadi dokter. Aku mau sekolah biar pinter!"

"Nah, itu alasan kenapa mama kamu tidak bisa menghabiskan sebagian waktunya sama kamu. Mamamu cuma hanya tidak ingin anaknya tidak punya pendidikan. Sekarang kamu mengerti?" tanyaku mrmbelai kepalanya. Ia mengangguk patuh dan tersenyum gembira. "Siap! Terima kasih, Auntie Cantik!"

Anak ini cerdas, ia dewasa dan berpikiran luas. Aku hanya menyayangkan kalau orang tuanya tidak memberikan hal yang yang paling diinginkan setiap anak. Kasih sayang. Itu merupakan harta paling berharga dari orang tua, bukan karena aku merasa diriku sudah baik dalam memerankan peran orang tua. Aku berkata demikian karena aku pernah di posisi mereka, sibuk bekerja hanya karena ingin melupakan masa lalu dan hanya mengirimkan uang kepada anak sulungku, Pram.

Nyatanya, aku terlalu larut dalam kubangan masa lalu dan tak pernah mengenal anakku dengan dekat. Aku baru mengetahui jika Pram anak yang salah pergaulan ketika ia ditahan di kantor polisi karena menjadi salah satu pelaku tawuran antar pelajar. Di sana kami bertengkar hebat dan aku menampar pipinya.

Kau tau apa katanya? 'Mama egois! Di sini seharusnya aku yang marah, Ma. Di mana Mama saat aku dipukul habis-habisan sama temanku. Di mana Mama saat aku dicap sebagai anak kurang didikan oleh orang tuanya. DI MANA? Nggak ada, Ma. Mama selalu mentingin masa lalu mama itu. MAMA PENGECUT TAU NGGAK. Terserah Mama mau kayak gimana. Karena Mama emang gak pernah ada buat aku, kan? Aku capek, aku lelah sama semuanya, Ma' Kata-kata itu. Kata yang selalu diingatku sampai hari ini, kata-kata yang menyadarkanku.

Sampai saat ini aku selalu menasihati anakku untuk menjadi orang tua yang baik kelak. Agar kejadian serupa tak terjadi pada cucu-cucuku. Menjadi anak yang dicap sebagai anak kurang didikan orang tuanya. Setelahnya Pram akan selalu meminta maaf padaku karena pernah membentakku. Ah, anak sulungku itu kini sudah dewasa. Sekarang ia menjadi contoh yang baik bagi adik dan saudaranya. Bukan anak yang dicap sebagai anak kurang didikan dan kasih sayang lagi.