Gemerlapnya kota Tokyo bagaikan kota dua puluh empat jam. Kereta pertama yang beroperasi pukul enam pagi dan kereta terakhir yang beroperasi tepat tengah malam. Seorang gadis berambut merah dan bermata hijau mengenakan seragam sekolahnya memandangi Menara Tokyo yang menjulang tinggi. Bulan sabit dan gemerlap bintang menjadi pemandangan yang dilupakan oleh semua orang.
Wajah penuh luka dan lebam di sekujur tubuhnya menjadi pemandangan tak lazim bagi orang yang melewatinya. Beberapa orang berpakaian dan kacamata hitam berdiri mengepungnya. Gadis itu terdiam dan memandang datar mereka. Seorang laki-laki berambut merah bermata coklat gelap mengenakan seragam sekolah yang sama, dengan cepat menarik gadis tersebut untuk masuk ke dalam mobil Roll Royce Phantom VI yang terparkir setelah salah satu orang berpakaian serba hitam membukakan pintu belakang mobil tersebut.
Hening. Mereka berdua terduduk di bangku belakang. Wajah datar gadis itu tidak berubah. Wajah penuh khawatir laki-laki di sebelahnya tergambar sangat jelas dan sesekali melirik gadis itu.
"Rei, seorang gadis tidak baik keluar malam." Ucap laki-laki yang berada di sebelah gadis bernama Rei tersebut untuk menghentikan keheningan di antara mereka. Rei hanya terdiam tak membalas perkataannya. Memandang datar jalanan dari balik jendela mobil.
"Kita pergi ke rumah sakit!" Perintah laki-laki tersebut meski wajah khawatir tak lepas darinya.
Rei menghela napas tanpa mengalihkan pandanganny. "Kita langsung pulang. Ayah tidak suka melihatmu mengejarku, Sei." Bantah Rei dengan halus. Suara yang tenang dan tegas meski sedikit terdengar parau.
"Lukamu harus segera diobati! Aku tidak mau melihatmu terluka." Teriak Sei membuat sopir pribadinya memandang mereka dari spion depan. Rei hanya terdiam. Dia sudah terlalu lelah hari ini.
…
Sebuah rumah yang cukup besar dengan luas 1000 hektare dengan halaman belakang dan halaman depan, serta beberapa tempat parkir berbagai macam mobil dan lapangan untuk sebuah helikopter.
Mobil Roll Royce Phantom VI masuk ke dalam halaman depan setelah melewati sebuah gerbang pintu masuk berwarna hitam dengan hiasan warna emas diikuti oleh empat mobil sedan di belakangnya. Seorang perempuan dengan usia berkisar pertengahan antara duapuluh lima dan tiga puluhan, berambut hitam legam, dan wajah putih bersih tengah menggendong seorang bayi laki-laki yang tengah tertidur di pelukannya. Perempuan itu memandang kesal Rei yang baru keluar dari mobil.
Sebuah tamparan dengan keras mendarat ke pipi kanan Rei. "Apa kau tahu? Aku terlambat terbang ke Amerika karena kau! Kau urus adikmu!" Protes perempuan muda itu dengan kesal menyerahkan perlahan bayinya ke pelukan Rei. Bayi itu dengan tidak nyaman perlahan mulai menangis setelah mendengar teriakan ibunya.
Sei dengan kesal menampar perempuan muda itu hingga terjatuh dan mengeluarkan darah di sudut bibirnya. "Tanganmu tidak pantas menampar adikku!" Ujar Sei dengan dingin dan tatapan pembunuh menginjak tangan kiri perempuan tersebut. Perempuan itu berteriak kesakitan dan diiringi suara bayi menangis seolah menjadi tempat pertunjukan kekerasan. Rei hanya mencoba menenangkan bayi tersebut.
"Sei! Hentikan!" Suara serak seseorang membuat Sei menghentikan kegiatannya. Seorang laki-laki paruh baya dengan rambut klimis dan beberapa uban telah muncul menghampiri mereka. Tubuhnya berjalan tegap penuh wibawa. Wajahnya terlihat keras seperti seorang mantan tentara dan mata coklat gelapnya terlihat tajam seolah bisa menembus tubuh manusia itu sendiri.
"Ada apa? Apa yang kau lakukan pada ibumu?" sambungnya dengan tenang.
"Perempuan ini, menampar Rei. Aku tidak terima dengan sikapnya yang memperlakukan Rei seperti seorang penjaga bayi." Ucap Sei setelah menghembuskan nafas panjang.
"Benarkah itu, Hanako?" Tanya laki-laki itu dengan memandang istrinya yang berdiri di sebelahnya seraya merintih kesakitan, lalu memandang Rei yang masih mencoba menenangkan bayi yang berada di gendongannya.
"Sei, masuk dan beristirahatlah! Setelah kau menidurkan Yuu, temui aku, Rei!" Sambungnya dengan dengan tenang. "Kau, malam ini tetaplah di rumah!" Hanako ingin memprotes suaminya namun, belum sampai berbicara, aura menakutkan dan wajah serius sang suami membuatnya harus menurut.
…
Suasana kelas sedikit tenang dengan beberapa anak yang memakan bekal makan siangnya di dalam kelas. Angin musim panas menerpa wajah Rei yang memandang langit biru dan rambut tergerai sampai pinggul yang perlahan terbawa bergerakan angin.
"Apa setiap masuk sekolah kau punya luka baru di wajahmu?" Tanya Seorang laki-laki yang berbadan kurus, berambut coklat kehitaman, duduk di bangku depan Rei yang kosong seraya meletakkan susu rasa strowberi di atas meja. Rei hanya memandangnya dengan wajah datar seraya meletakkan beberapa koin di atas meja.
"Rei! Aku ingin mengajakmu ke tempat temanku sepulang sekolah. Aku dengar dia ikut klub menembak." Sei dengan semangat menghampiri saudarinya diikuti seorang laki-laki yang berwajah santai, berambut coklat, memiliki kulit yang putih dan tampan di belakangnya. Daichi hanya memandang malas dan Rei tetap berwajah datar seraya meminum susu kotaknya.
"Senpai, kau yakin itu hanya klub menembak? Apa yang mereka tembakkan? Panah? Bukankah di sekolah sudah ada klub panahan?" Ujar Daichi dengan santai seraya tersenyum merendahkan.
"Bukan. Klub menembak dengan pistol, senjata api." Jawab Sei dengan nada yakin dan serius. Daichi terdiam beberapa detik karena terkejut lalu tertawa dengan keras. Rei terbatuk-batuk tersedak dengan susunya. Sei dengan wajah khawatir mengelus punggung adiknya seraya memberikan sapu tangan miliknya. Seluruh murid lain yang masih berada di dalam kelas hanya memandang heran perkumpulan yang baru terbentuk tersebut.
"Jangan bercanda, Senpai! Pistol, atau apapun bentuk senjata api adalah barang illegal di Jepang." Daichi yang berhenti tertawa hanya memandang lucu ke Sei yang masih mengelus punggung adiknya dengan wajah khawatir.
"Tidak. Aku tidak bercanda! Aku pernah ke sana beberapa kali. Asahi, jangan diam dan membuatku terlihat bodoh di hadapan Rei!" Sei dengan kesal tetap memperhatikan saudarinya.
Rei yang sudah tenang kini berdiri di hadapan laki-laki yang dipanggil Asahi tersebut. "Maafkan saudaraku. Aku harap, senpai tidak menjauhinya karena kebodohannya. Meski ucapannya terdengar bodoh, dia masih sedikit memiliki kepintaran. Sekali lagi, maafkan saudaraku." Rei membungkukkan tubuhnya dengan formal. Asahi yang sedikit terkejut setelah tertawa pelan melihat temannya yang tidak dipercayai oleh dua orang yang sering diceritakannya itu.
"Tidak perlu. Aku terkejut karena kalian menganggapnya bodoh tapi, klub itu sungguh ada. Rei Kuran, aku yakin kau akan sangat menyukainya." Asahi dengan santai lalu pergi meninggalkan kelas Rei. Rei hanya terdiam memandangnya dengan datar sedangkan Sei dan Daichi dengan pandangan bingung menatap Asahi yang pergi.
"Apa maksud perkataannya? Senpai, kau yakin itu hanya klub menembak biasa?" Tanya Daichi dengan wajah kebingungan.
"Benar. Lebih spesifik itu adalah organisasi. Aku kurang mengerti, tapi Asahi adalah anggotanya dan dia sangat hebat. Apa kau mau ikut Rei? Kita akan pergi bersama nanti sepulang sekolah." Rei hanya terduduk diam sejenak lalu menganggukkan kepalanya.
"Apa aku boleh ikut?" Tanya Daichi dengan semangat. Sei tak memperdulikannya langsung berpamitan kembali ke kelas. Daichi tanpa menyerah menggandeng tangan Sei seraya terus merengek.
…
Bel pulang sekolah menggema ke seluruh ruangan maupun lorong di sekolah dan seluruh murid berhamburan keluar kelas dengan semangat. Beberapa murid masih melakukan kegiatan ekstrakurikuler, atau pulang ke rumah, atau bekerja paruh waktu setelah menyelesaikan piketnya masing-masing.
"Asahi, dia tidak ikut dalam organisasimu." Sei dengan nada serius berjalan beriringan dengan Asahi. Asahi hanya tersenyum simpul mendengarnya. Sei menghampiri Daichi dan Rei yang baru keluar dari dalam kelas meninggalkan Asahi di belakang.
Sebuah tangga kecil antara toko pakaian dan toko serba ada cukup untuk dilewati satu orang. Asahi yang berjalan terlebih dahulu memimpin rombongannya dengan santai. Sebuah papan nama "Club Lost" terlihat tidak terurus berada di atas papan toko serba ada.
Sebuah pintu kayu polos dengan jendela berbentuk kotak dan sebuah lonceng di atasnya. Ruangan luas dengan beberapa meja Biliar yang tertata rapi dan beberapa orang bermain dengan santai memandang serius gerombolan Asahi yang masih memakai seragam sekolah. Asahi mempersilakan ketiga kawan barunya duduk di kursi bar dengan seorang bartender berambut panjang yang diikat, bermata sipit dan memiliki wajah seperti orang China.
"Seichiro Kuran, apa kabar? Berapa lama kita tidak bertemu?" Sapa sang bartender dengan suara lembut seraya tersenyum ramah.
"Seperti yang anda lihat, master. Bagaimana dengan anda?" Sei duduk di antara Asahi dan Rei, sedangkan Daichi berada di sebelah Rei.
"Seperti biasa. Aku yakin gadis muda dengan wajah penuh luka ini adalah adikmu. Senang bertemu denganmu. Sei senang sekali membicarakanmu." Master memberikan minuman pelanggan mudanya. Asahi dengan minuman Juices melon, Sei Squash, Rei Ginger Ale, dan Daichi Cola.
"Master!!" Teriak lirih Sei dengan wajah memerah mencoba membuat kenalannya tak banyak bicara.
"Ginger Ale spesial untuk gadis cantik yang tak bersemangat." Master tersenyum ramah memandang Rei berwajah datar. Rei hanya terdiam tak membalas perkataannya. Asahi dan Sei pergi setelah menghabiskan minuman mereka. Daichi berbaur dengan beberapa orang dan ikut bermain biliar. Rei hanya terdiam melihat sahabatnya sibuk menikmati permainan.
"Rei kuran, apa kau mau bergabung dengan organisasi kami?" pertanyaan yang meluncur dari mulut master setelah ketiga pelanggan mudanya meninggalkan Rei sendirian. Rei memandangnya dan tak menemukan keraguan di wajah master.
"Bukankah kalian hanya mendirikan klub menembak dan biliar? Apa kalian membuat organisasi dengan menjual senjata atau membunuh orang?" Tanya Rei dengan dingin.
"Suara parau yang menenangkan. Jika kau ingin tahu, bukankah lebih baik kau bergabung?" Senyum ramah Master membuat Rei menyipitkan matanya dengan wajah datar.
Beberapa orang mengenakan tindik di telinganya, rambut berantakan, mengenakan kemeja lengan pendek, dan bertato di kedua tangan mencoba menggoda Rei. Master sudah memperingati mereka, tapi perkataanya bagaikan angin yang lewat. Rei terdiam tidak peduli hingga salah satu dari mereka menarik rambutnya dengan keras. Rei meringis kesakitan hingga tubuhnya jatuh menyentuh lantai. Master mencoba menghentikannya, namun dihadang oleh ke dua teman berandalan itu. Daichi dengan wajah khawatir hendak menolong ikut terhadang.
"Oi.. Oii… kau masih tidak mau berbicara? Apa kau tidak pernah diajari untuk menjawab pertanyaan?" Tanya berandalan itu dengan tangan kanan masih menarik rambut Rei. Rei hanya meringis kesakitan seraya memegang rambutnya.
Suara tembakan menggema ke seluruh ruangan. Pandangan semua orang mengarah ke sumber suara tersebut dengan wajah terkejut. Berandalan yang menarik rambut Rei akhirnya melepaskan genggamannya dengan kasar dengan wajah kesal. Sei segera menghampiri adiknya dengan wajah khawatir.
Asahi dengan santai tetap berdiri di belakang seorang laki-laki yang terlihat berumur tiga puluhan mengenakan kemeja pantai, celana pendek hitam serta rambut hitam panjang yang terkuncir, wajah yang tak terawat dengan baik. Asap putih tipis dari rokok yang dihisapnya dan tangan kiri yang memegang pistol, memandang segerumbulan yang membuat onar dengan wajah malasnya.
"Apa kabar, Bos Ogre? Kau masih hidup rupanya!!" Berandalan yang telah menjambak rambut Rei berjalan menghampiri laki-laki yang dipanggilnya Bos Ogre.
"Untuk apa kau kemari? Geng kecilmu tidak akan mampu melawan klubku. Anjing kecil seperti kalian tidak cocok berada di dalam wilayah serigala, Tanaka~." Ejek Bos Ogre dengan santai. Wajah kesal terukir dengan jelas di wajah bos berandalan, Tanaka. Tanaka berjalan melewati Bos Ogre tanpa mengatakan sepatah katapun diikuti oleh anak buahnya.