Faiz terduduk lemas di balik kasurnya. Ia menangis sepanjang malam. Ini semua salahnya, harusnya dia menjaga Biyah.
Faiz segera mengirim pesan ke Indri.
Faiz
Dri gua ga masuk kerja hari ini, pusing
Ia benar-benar merasakan perasaan yang bercampur aduk di dalam benaknya.
***
Biyah terbaring lemas di kasurnya. Ia masih merasa sakit. Terkadang Biyah berpikir mungkin bila ia mati, semua pihak akan bahagia. Ia benar-benar tersiksa di posisi seperti ini. Untuk menangis pun, air matanya sudah terkuras habis.
Biyah sengaja melakukan semuanya agar pertunangannya tidak di lanjutkan ke jenjang pernikahan bersama Faiz.
"Bi!" Panggil Ibunya yang masuk ke dalam kamar.
"Ayah sama Ibu udah omongin semuanya ke Faiz. Kami coba bujuk dia biar cepet nikahin kamu" lanjut Ibunya. Namun Biyah hanya menangis.
Ia tak mengerti, sekasar apapun ia mencoret garis takdir. Tetap saja semua berjalan sesuai alurnya.
Mencoba berjalan beralawanan dengan takdirnya, malah takdir itu menariknya untuk ikut secara paksa.
***
Sore itu Biyah berjalan keluar rumahnya, dan berniat mencari udara yang lebih segar untuk bernafas.
Ia duduk di Resto tempat Ardi bekerja. Biyah tertunduk lemas di atas meja. Tentunya Ardi mengenalinya.
Ardi mendekati Biyah dan duduk di hadapannya.
"Biyah?" Tanya Ardi. Biyah mendongakkan kepalanya. Ardi terkejut melihat wajah Biyah yang pucat dan matanya yang sembab.
"Lu sakit?"
Biyah menggelengkan kepalanya.
"Tapi muka lu pucet!" Ardi memeriksa suhu tubuh Biyah dengan menempelkan tangannya di jidat Biyah. Ardi merasa biasa saja.
"Lu suka sama Indri kan?" Tanya Biyah. Namun Ardi terdiam mendengar pertanyaan itu.
"Maaf Ar! Gua ga tau lu suka sama Indri" Biyah merasa bersalah akan kebersamaan Indri dan Faiz yang membuat Ardi sakit hati.
"Santai aja Bi, udah lama juga. Gimana lu sama Faiz?"
Biyah hanya terdiam, ia malah memilih untuk mengalihkan pembicaraan mereka.
"Gua boleh nginep tempat lu ga?" Tanya Biyah. Ardi sedikit bingung.
"Bisa sih, tapi gua belum kelar shift" ucap Ardi. Biyah pun bersedia menunggu hingga Ardi pulang.
***
Biyah tertidur di tempat duduknya. Ardi meminta Rendi untuk menjemputnya menggunakan mobil, agar bisa membawa Biyah.
Saat di perjalanan.
"Lu gila?! Hubungan lu sama Papa ga mulus Ar! Tiba-tiba lu bawa cewe truss lu suruh nginep di rumah! Gila lu!" Bentak Rendi yang tak setuju akan keputusan Ardi yang memperbolehkan Biyah untuk menginap di rumahnya.
"Gua cuma kesian doang liatnya"
"Kesian sih kesian, tapi jangan bego lah! Lu mau liat Papa ngemaki-maki dia?!"
"Jadi gimana? Gua udah terlanjur bilang iya tadi"
"Yah, gimana?! Elu yang tolol"
"Coba tanya cewe lu! Kan Biyah sama Nurul temenan"
"Lu mau ngelibatin cewe gua?!"
"Gua kesian Ren! Gua temenan sama dia dah dari SMK"
Huftt
Rendi menghela nafasnya dan menelpon Nurul. Dengan senang hati Nurul memperbolehkan Biyah untuk menginap di rumahnya.
Mereka pun melaju menuju rumah Nurul.
***
Nurul segera menelpon Faiz dan memberitahukan semuanya.
"Jagain dia Nur!" Hanya kata itu yang bisa di ucapkan oleh Faiz.
"Iyaa, lu santai aja. Rendi bilang kayaknya dia sakit Iz, mukanya pucet. Tapi gua belum liat sih, lu tau sendiri kan Rendi rada suka kumat kalo liat Biyah" jelas Indri. Rendi yang terkenal akan kepintarannya selama sekolah. Memang mengalami gangguan psikologis saat bertemu orang bodoh seperti Biyah. Mulutnya seakan tak tahan ingin menghina dan melebih-lebihkan kejelekan orang tersebut.
"Kalo dia sakit, kasih tau gua ya Nur!"
"Iya Iz, Siap!"
Faiz mengakhiri obrolan mereka.
***
Biyah terbangun dari tidurnya. Ia menatap Rendi dan Ardi yang sedang berdebat tentang dirinya.
Ia tak pernah berpikir akan sesulit dan sesakit ini untuk menjalani sebuah kenyataan.
Ia mulai berpikir tak seharusnya ia melakukan semua ini. Ia bahkan melibatkan banyak pihak untuk mengatasi masalahnya.
Biyah menyesali perbuatannya, jika saja Faiz ada di sebelahnya saat ia terjatuh dengan beban berat yang ia bawa. Pastinya Faiz akan turut memikulnya agar beban itu terasa ringan.
Gua kenapa?
Kenapa gua kayak gini?!
Batin Biyah menjerit karna mulai terasa sakit, ia pun mulai menangis dan memejamkan matanya. Rasa sakit itu benar-benar sebuah kesakitan yang teramat perih untuk pertama kalinya Biyah merasakan ujian seberat ini.
Ia benar-benar tak tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia bahkan tak memiliki tujuan. Dengan membawa makhluk yang hidup dan terus bertumbuh di dalam perutnya. Ia bahkan menangis karna membawa anaknya kedalam masa sulit ini.
Sebagai anak yang buruk di mata orang tuanya, ia juga menyandang gambaran buruk sebagai seorang ibu untuk anaknya.
Ia memegang perutnya sambil terus menangis. Ardi melirik ke arah Biyah yang menangis dengan menahan suaranya. Ardi menatap Rendi yang fokus menyetir. Tentunya Rendi tidak boleh melihat keadaan Biyah seperti itu, yang bisa memicu otak Rendi berpikir untuk menjelek-jelekkan Biyah yang terlihat lemah.
Ardi mengalihkan pandangannya ke arah Biyah. Ia benar-benar merasa tangisan Biyah bukan karna sakit. Ia bisa mengetahui itu. Ia bisa melihat ekspresi Biyah yang sangat dalam. Seakan Biyah menangis karna batinnya, bukan karna sakit.
Ardi kembali memutar tubuhnya ke depan. Ia selalu bertanya, apa yang sebenarnya tuhan rencanakan untuk mereka semua. Mengapa cobaan ini bisa membuat mereka menjadi terlihat bodoh hanya karna sebuah perasaan.
Biyah terus menangis sepanjang perjalanan, hingga ia tertidur kembali.
***
"Bawa! Bawa! Bawa masuk aja langsung ke kamar gua!" Perintah Nurul agar Ardi menggendong Biyah dan membawanya masuk. Ardi pun menurutinya.
Nurul menyelimuti tubuh Biyah yang masih terasa demam dengan matanya yang sembab.
Nurul terus mengusap wajah Biyah yang sangat jelas terlihat bahwa ia terlalu sering menangis. Nurul tak pernah menyadari, bahwa kisah antara cinta dan persahabatan bisa membuat seorang Biyah seperti ini.
Nurul pun ikut sedih melihat wajah Biyah yang pucat. Ia pun berkali-kali menelan salivanya agar tak ikut menangis melihat kondisi Biyah yang seperti itu.
Biyah meringis saat ia tersadar dan mendapati Nurul sedang mengusap pipinya yang masih terasa sakit akibat tamparan ayahnya.
"Kenapa Bi?!" Tanya Nurul yang langsung menghentikan tindakannya.
"Pipi gua sakit" ucap Biyah lemas.
"Kenapa? Lu abis jatoh? Atau apa?"
"Di gampar ayah gua" kini hanya terdengar seperti bisikan.
Ardi dan Rendi ikut terkejut mendengar nya, walau tak terlalu jelas. Tetapi mereka masih bisa menangkap ucapan itu dengan sangat baik.
"Kok bisa Bi?! Lu abis ngapain?!" Nurul pun ikut tak percaya dengan apa yang Biyah katakan. Biyah terdiam, wajahnya mulai ingin menangis lagi. Namun ia menahannya kali ini, karna dadanya sudah merasa lelah.
"Udah, ga usah cerita kalo emang ga kuat" Ucap Ardi yang tak ingin memaksanya.
"Gua bikinin minum sama bubur dulu ya" Nurul berjalan keluar kamar dan di ikuti oleh Rendi.
Tinggal Biyah dan Ardi di dalam kamar tersebut. Biyah masih menahan tangisannya. Ardi yang responsif, menyadarinya. Ia segera berbalik agar tak menatap Biyah.
"Kalo lu mau nangis, nangis aja! Jangan di tahan!" Perintah Ardi.
Biyah mulai meneteskan air matanya lagi. Kali ini benar-benar mengalir dengan derasnya, tanpa jeda. Hingga Biyah sesegukan dan batuk karna tangisannya itu.
Ardi yang mendengarnya pun merasa ingin ikut menangis.
Tangisan Biyah benar-benar terdengar seperti tangisan yang murni karna jiwanya merasa hancur.
Ardi mulai berpikir, bukan hanya dia dan Indri yang merasakan sakit dalam kisah ini. Namun Biyah juga merasakan yang lebih dari mereka.
"Gua di jodohin sama Faiz Ar! Gua ga niat buat ngelakuin ini semua!" Ucap Biyah sambil terisak.
Ardi menoleh ke arah Biyah, benar sekali. Wajah Biyah sudah basah akan air matanya, bahkan kerah bajunya pun ikut basah karna air mata itu tak berhenti mengalir meski di usap berkali-kali.
"Gua ga mau sakitin hati ortu gua! Tapi gua juga ga mau sakitin sahabat gua!" Lanjutnya.
Ardi pun mulai mengerti, Indri lah yang salah dalam kisah ini. Indri terlalu memaksakan perasaannya, sedangkan Biyah mengorbankan perasaannya hanya demi sahabatnya itu. Namun mereka tidak bisa melawan takdir, Biyah dan Faiz sudah di takdirkan untuk bersama. Bahkan semua orang pun tau, bahwa Faiz dan Biyah tidak bisa di pisahkan walau hanya sehari saja.
"Gua hamil" ucap Biyah tertunduk dan air matanya kembali mengalir dengan derasnya.
Ardi terkejut mendengar hal tersebut, ia merasa iba melihat sahabatnya itu mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan seperti ini.
"Gua kira. Kalo gua hamil, pertunangan gua sama Faiz bisa di batalin. Ternyata ortu gua malah milih buat percepat pernikahan gua sama dia!"
"Gua ga mau nyakitin perasaan Indri lebih dari ini!" Biyah benar-benar terjebak dan hampir mati karna tak menemukan jalan keluar.
Ardi menelan salivanya dan mengusap kepala Biyah yang tertunduk sambil terisak tangisannya yang tak kunjung berhenti itu.
***
Sebulan telah berlalu, Biyah tak kunjung menemukan jalan keluar dari masalah hidupnya.
Faiz pun tidak mendapatkan ijin untuk pulang ke negara asalnya karna pekerjaannya yang masih perlu di selesaikan.
Ardi telah menemani Biyah di awal-awal kehamilannya itu. Hingga akhirnya Ardi memutuskan untuk bertanggungjawab atas kehamilan Biyah.
***
"Punya apa kamu buat anak saya?!" Teriak Ayah Biyah kepada Ardi. Biyah hanya bisa menangis melihat Ardi yang tak salah apa-apa, malah menjadi korban mulut pedas orang tuanya.
"Saya akan bertanggungjawab, saya akan merawat Biyah dan anaknya om!" Jawab Ardi dengan tegas.
"Kami akan menunggu Faiz pulang, dan langsung menikahkannya!"
"Kapan Faiz balik?! Makin lama, perut Biyah makin besar!"
"Itu urusan kami!"
"Saya akan menikahinya, dengan atau tanpa restu anda!" Ardi menarik tangan Biyah dan keluar. Biyah terus menangis sepanjang jalan.
Ardi hanya merasa kasihan melihat sahabatnya itu. Ia hanya berniat untuk membantu Biyah dan menyelamatkan anaknya.
***
Ardi dan Biyah telah melaksanakan pernikahan mereka dengan menggunakan wali hakim sang penghulu. Ayah biyah masih bersikeras tak merestui pernikahan anaknya itu.
Namun, nasib sial menimpa Biyah. Seakan takdirnya memang tak mengizinkan ia bahagia. Biyah mengalami keguguran saat usia kandungannya menginjak 8 bulan.
Hal tersebut membuat Biyah stres dan depresi. Bagaimana tidak, sebulan lagi ia akan memiliki seorang anak. Dimana ia telah membayangkan ia akan menjadi seorang ibu. Malah semuanya berubah hanya dalam hitungan detik.
Ardi pun ikut menangis, ia telah menganggap anak yang ada di dalam perut Biyah adalah anaknya. Dia adalah suami Biyah, ia tak bisa menahan kesedihannya.
Terlebih parah lagi, kesedihan itu bertambah lipatannya saat ia mendengar berita pernikahan Faiz dan Indri yang di lakukan di Singapore.
***
Faiz telah mencoba membuka hatinya untuk Indri. Mereka di penuhi kebahagiaan saat mereka bersama, mereka memutuskan untuk menikah.
5 tahun kemudian mereka di karuniai seorang anak laki-laki.
***
Di tahun yang sama Biyah dan Ardi pun di karuniai seorang anak perempuan. Mereka hidup berbahagia setelah melahirkan bayi mungil dan cantik itu.
***
Di kala itu, Biyah mengendarai mobil miliknya menuju rumah nurul. Namun kejadian tak terduga ia alami.
"Nomor yang anda tuju tidak dapat di hubungi.." Nurul mencoba menelpon Biyah berkali-kali namun ponsel milik Biyah itu tidak dapat di hubungi.
***
Biyah menghilang sudah 3 hari. Nurul dan Ardi sibuk mencarinya ke seluruh tempat yang sering ia datangi. Namun mereka tak mendapat informasi apapun.
Hingga akhirnya Nurul menghubungi Faiz dan memberitahukannya. Faiz segera menelpon pihak-pihak rumah sakit yang ia kenal, untuk mengantisipasi hal-hal yang tak di inginkan.
Namun hal yang tak diinginkan itu seakan memaksa Faiz untuk menelannya.
"Korban tabrakan tunggal plat mobil B 1 YAH, Kondisi korban hangus terbakar total. Di temukan dalam kondisi meninggal dunia. Tapi kalo lu mau cek, cek aja dulu kesini!" Ucap seorang lelaki dari dalam ponsel Faiz.
Faiz terdiam, tubuhnya bergetar. Ia segera berlari menyalakan mobilnya menuju rumash sakit.
Sesampainya disana, ia di tunjukan ke sebuah mayat. Tangannya bergetar saat hendak membuka kain putih yang menutupi mayat tersebut.
Dadanya terasa sesak! Ia menangis, bahkan sebelum kain itu terbuka.
Perlahan ia menarik kain putih itu.
Hegh!
Air mata Faiz mengalir deras.
Wanita itu!
Wanita itu adalah cinta pertamanya!
Ia menjaganya dengan sepenuh hati!
Namun sekarang sosok wanita itu telah membujur kaku di hadapannya. Hanya karna ia tak menjaganya lagi.
Dada Faiz masih saja terasa sesak di dalam tangisannya itu.
Namibiyah! Dia wanita yang menemani Faiz sejak Faiz merasa kesepian tanpa orang tuanya.
Kini dia akan menghilang untuk selamanya. Tanpa kata pamit ia pergi.
Terlalu banyak rasa sakit yang ia alami saat Faiz tak bersamanya lagi.
Ia bahkan baru merasakan kebahagiaan di awal kelahiram anaknya.
Namun sekarang ia meninggalkan sumber kebahagiaannya itu dengan sangat cepat.