Riu Wakarima, sejak lima tahun terakhir, saat mafia berhasil mengambil alih kota Guzama, Riu diperbudak sebagai pengantar barang, berbeda dengan budak lainnya yang menanam ganja lalu memproduksinya, mungkin lebih tepatnya kalo Riu dibilang pekerja bukanlah budak.
Akhir-akhir ini entah kenapa ia memiliki rencana untuk menghabisi para mafia, membebaskan para penduduk dari perbudakan mafia. Memang Riu memiliki ambisi yang sangat tinggi, namun rasa takut yang mengendalikan pikirannya membuatnya ragu untuk memulai.
Pagi selasa, langit terlihat samar, suasana masih hening seolah tak berpenghuni, Riu Wakarima tengah menarik gerobaknya perlahanan ditengah kesunyian itu, laki-laki muda berusia dua puluh tahun asal Guzama tersebut, membawa gerobak berisikan beberapa muatan barel, dibawanya menuju pusat kota tepatnya ditower lonceng Heiwaros, tower lonceng yang tinggi, peninggalan bekas kakek moyang mereka pada abad ke-14, yang dulunya dijadikan tempat jual beli atau kerap disebut pasar
Namun setelah mafia berhasil mengambil alih kota Guzama lima tahun silam, tower tersebut dijadikan markas untuk para mafia berkumpul, sekaligus menjadi gudang penampungan barang haram mereka yang siap untuk diedarkan.
Tak berasa dengan perlahan Riu telah sampai dibawah tower lonceng Heiwaros, ia berhenti didepan salah satu gudang yang ada disana, "Hei! Riu!" Panggil salah satu mafia dari kejauhan sembari melambaikan tangan, seolah menyambut kedatangannya, namun yang dipanggil tak acuh, diam tak bersuara sembari menurunkan barel yang ada diatas gerobaknya. "Hei Riu!" Pria yang sebelumnya memanggilnya, kini memanggilnya lagi. Namun lagi-lagi Riu hanya diam, dan fokus menurunkan semua barel digerobaknya. Mafia yang sedari tadi memanggilnya lalu berjalan menghampirinya, berhenti tepat didepan Riu.
"Barel ini diletakan disana! Bukan disini!" sembari menunjuk kearah salah satu gudang yang terlihat masih kosong, dekat dengan gerombolan para mafia yang tengah menghisap lintingan. Riu yang mendengar hal tersebut, lansung menoleh, menatap mafia itu dingin sembari bergerutu Sialan!. Riu meletakan kembali barel yang telah ia turunkan tadi keatas gerobak, menggotongnya ketempat yang dimaksud.
"Setelah selesai, ambillah jatahmu digudang," ucapannya terdengar samar, tercampur dengan suara mafia lainnya yang ngoceh tidak karuan. Riu hanya fokus dipekerjaannya, mengangkat barel kedalam gudang dan berniat tak menghiraukan omongan para mafia yang sedari tadi mengajaknya berbincang. Kau pasti bisa melakukannya Riu, kau pasti bisa.
Selesai memasukannya semua barel, Riu lansung mengambil sekarung gandum didalam gudang, menaruhnya digerobaknya. Riu menghela nafas, lalu menarik cepat kembali gerobaknya ingin pulang kerumahnya kumohon dia tidak ada disini!. Namun hanya beberapa langkah saja, seseorang dengan suara yang agak berat, memanggil namanya dari belakang. "RIU!!!" Suara yang tak asing lagi ia dengar saat ingin meninggalkan tempat itu.
Sontak suara itu membuatnya membalikkan badannya kearah orang itu, Sial!!! Aku gagal lagi, kenapa aku hiraukan?. Homes, orang yang telah memanggilnya barusan, adalah ketua mafia kelas C yang selalu menanyakan keadaan Riu yang menurutnya itu tidak penting untuk ditanyakan. Aku benci dengan pak tua ini.
"Riu! Bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Homes yang sudah berada di hadapan Riu. Selalu saja seperti ini!!! Selama lima tahun aku hanya mendengarkan pak tua ini menanyakan kabarku!!! Untuk apa coba!!!, dalam hatinya panas, sembari menatap Homes dengan tatapan yang sedikit tajam. Riu berusaha untuk tak menjawab pertanyaan tak penting tersebut dan lansung melanjutkan langkahnya.
Namun Homes dengan sergapnya mencegah langkahnya, menarik erat lengan kirinya, yang membuat Riu menjerit pelan kesakitan. Dengan nada suara yang datar, "Bagaimana kabarmu?" masih menanyakan hal yang sama, namun dengan wajah yang datar, membuatnya semakin seram.
Riu menelan liurnya dengan berat, menatap wajah Homes yang terlihat ingin menghajarnya jika tidak menjawab pertanyaan tersebut, Riu dibuatnya gayat dengan wajahnya yang nampak ganjil, sembari menjawab, "A-Aku baik-baik saja!" dengan nada lirih.
Sesaat, sesudah ia menjawab, pria tua tersebut spontan melepaskan genggamannya, lalu membalikan badannya begitu saja, berjalan menjauh, seolah apa yang ia mau sudah didapatkan.
Riu menghela nafas lega, sesaat orang itu agak jauh darinya, "Orang itu benar benar mengerikan, untuk badannya yang kurus!" Seringainya.
****
"Ahhh!!" desahnya pelan, sembari membantingkan badannya yang kelelahan, kekasur yang beralaskan matras tipis, lalu meraih buku yang ada disebelahnya, Bola matanya yang sedikit kecoklatan itu terus bergerak mengikuti irama buku. Kebiasaanya membaca buku dikala lelah, mungkin Riu memiliki cara tersendiri untuk menghilangkan penat.
Kegemarannya dalam membaca buku disebabkan oleh ayahnya, sejak Riu berusia enam tahun, Riu sudah suka membaca berbagai macam tulisan. Namun tidak hanya itu saja, akan tetapi sejak umur segitu Riu sudah mau dikenalkan oleh dunia pengobatan, karena ayahnya dulu adalah satu-satunya dokter yang ada dikota Guzama, yang membuat obat tradisional, atau ramuan-ramuan untuk penduduk Guzama, Riu ikut menyimak ayahnya saat bekerja, sehingga ia memahami hal itu dengan sendirinya.
Semua ilmu tersebut diturunkan oleh Riu, yang sekarang melanjutkan karir ayahnya, semenjak hilangnya ayah Riu lima tahun silam, namun Riu membuat obat atau ramuan tersebut bukan untuk penduduk Guzama, melainkan fokus untuk ibunya sendiri yang tengah terbaring sakit, karena kondisinya yang tak bisa diprediksi.
Ibunya dirawat oleh adik Riu, sedangkan Riu yang tak serumah dengan mereka, hanya bisa menjenguk sekali saja dalam seminggu, karena keharusannya menjadi pengantar barang untuk para mafia.
****
*Tok *Tok
Suara ketukan terdengar jelas didepan rumahnya, sontak membuat Riu bangun sampai kasurnya berdecit kencang, "Tunggu sebentar!" sembari menuju kedepan. Tak menunggu lama, Riu menarik perlahan gagang pintunya, sesaat sebelum pintu itu terbuka sempurna, dua orang lansung masuk begitu saja, "Ahhh! Hampir saja ketahuan," ucap salah satu dari mereka berdua yang memakai penutup kepala, "Itu semua salah kau lah! Dasar keras kepala!" Kedua orang itu asik berbicara sendiri, tak menghiraukan pemilik rumah yang sedari tadi bengong melihat mereka berdua.
Sesaat mereka berdua melepaskan penutup kepala, Riu terbelalak, dengan ekspresi terkejut, melihat kedua sahabatnya yang lagi-lagi datang kerumahnya pada jam saat mereka bedua harusnya bekerja. "Aku tak habis pikir, melihat tingkah kalian yang gila ini." Cibirnya, sembari menutup pintu rumahnya. "Ahh! Aku benci diperbudak oleh orang buta seperti itu." yang dimaksud adalah mafia. "Aku juga benci, seharian hanya melayani para domba buncit berasap itu." Cibir mereka berdua dengan serasi, melampiaskan kekesalannya.
Sahabat Riu tersebut bernama, Takaki, seorang laki-laki seusia Riu memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima, lebih rendah lima senti dari Riu. Lalu Yuuna, seorang gadis lugu, lebih mudah dua tahun dari mereka berdua, memiliki tinggi tak lebih dari seratus enam puluh senti, berbadan mungil, dengan wajah yang polos. Mata yang berwarna coklat membuat gadis itu memiliki kesan tersendiri bagi orang yang melihatnya.
Dua sahabatnya tersebut, adalah budak para mafia, sama seperti penduduk yang lain. Mereka bertiga bersahabat sejak mereka kekanakan, dan sampai sekarang, mereka masih bersama.
"Gimana tadi Yuyu? Berhasil gak?" tanya Takaki dengan cibiran memanggil Riu dengan sebutan Yuyu, "Sudah kubilang jangan panggil aku dengan sebutan itu." ucap Riu mendengus kesal namun dengan wajah yang santai. Yuuna hanya bisa tertawa geli setelah mendengar hal tersebut. "Terserah lah!" sembari berjalan menuju dapur, membuatkan mereka minuman.
"Hei!! Kau belum menjawab pertanyaanku!"
"Gagal" singkat.
"Bingo!" sembari menjentikan jarinya, "Sudah kuduga, kau masih takut dengan pak tua itu, hahaha!"
Riu tak acuh dengannya, Yuuna yang merasa Riu sedikit kesal dengan omongan Takaki, lansung menghampiri Riu saat didapur, "Apa mafia itu masih menanyakan hal yang sama?" tanya Yuuna pelan. Yang ditanya menjawab dengan sekali anggukan sembari menyalakan pemantik api. "Apa kau tidak merasa aneh dengan orang itu?" tanya Yuuna. "Aku rasa dia kebanyakan menghirup asap, sehingga membuat kejiwaannya terganggu," jawabnya sembari meletakan teko berisi teh ketunggku kecil yang menyala.
"Tolong ambilkan cangkir didalam lemari itu."
"Kau tau? Bisa saja dia mempunyai pesan rahasia untukmu? A…. atau dia sedang meminta tolong kepadamu."
"Yuuuunaaaaa! Kau sudah seperti detektif, sudah berapa buku yang kau baca kemarin?" Riu mengayunkan nadanya saat ia menyebut nama gadis tersebut, lalu terkekeh mendengar omong kosongnya yang selalu mengaitkan sesuatu dengan pesan rahasia.
Namun Yuuna tak berhenti mengoceh, ia terus mengumandangkan omong kosongnya, berniat membuat Riu kesal padanya, namun tidak bisa
"Kau tau! Bagaima…."
"Tidak!"
"Riu bisa jadi semua itu adalah…."
"Tolomg ambilkan piring kecil,"
"Tapi kan Riu…."
"Sendoknya juga tolong ambilkan." Sembari menuangkan teh kedalam cangkir.
"Mungkin saja itu ada hubungannya dengan ayahmu!"
Seketika seluruh ruangan hening. Sial! Lagi-lagi aku keceplosan, mulut ini kenapa selalu saja.., Riu yang sedari tadi sibuk menuangkan teh, seketika terdiam, mematung sejenak seolah teringat akan suatu hal. "Ma- maafin aku Riu," ucap Yuuna dengan suara yang amat lirih.
Dari arah belakang, tiba-tiba Takaki datang merangkul kedua sahabatnya dengan erat. "Ayoo kita makan! Aku sudah lapar dari tadi!" Ajaknya dengan suara yang bersemangat. Berusaha membuat suasana kembali seperti semula.
****
"Kalian disini aja atau pulang?" tanya Riu yang sibuk memasukan beberapa barang kedalam tas besar, "Hari ini kau ingin kerumah ibumu?" tanya Takaki yang tengah mondar-mandir didapur seolah memikirkan sesuatu. Riu membalas pertanyaan Takaki dengan sekali dehaman panjang, lalu dilanjutkan oleh pertanyaan Yuuna, "Bagaimana kondisi ibumu sekarang?" dengan suara yang lirih. " ujar Ria, kondisinya mulai membaik dan sudah bisa duduk kembali, namun ya… masih belum bisa berdiri," jawabnya pelan.
"Syukurlah mendingan! Memang keahlianmu membuat ramuan sudah tak dapat diragukan lagi, aku yakin kau akan menjadi dokter seperti ay…" gantung Yuuna, ragu ingin melanjutkan omongannya. Takaki yang sekilas mendengar ucapan Yuuna, seketika terbelalak Sial! Yuuna kau selalu saja keceplosan, rasanya aku ingin menjahit mulutmu! Teriaknya dalam hati.
"Ya! Aku harap juga begitu, tak hanya mengobati ibuku saja, kuharap aku bisa mengobati semua orang." Ucap Riu dengan senyum yang mengembang diwajahnya namun sedikit terlihat paksaan. Membuat Takaki bernafas lega, Takaki mengerti jika Riu belum bisa menerima kehilangan ayahnya, kesedihan yang masih membekas dihatinya, membuatnya mudah untuk bersedih.
"Apa kau masih menolak kehilangan ayahmu? Riu?" pertanyaan yang terlontar jelas di mulut gadis polos tersebut. Membuat Takaki kembali melebarkankan matanya, memandang kearah Yuuna, Yuuna! Apa yang sedang kau pikirkan Yuuna!. Riu termenung sejenak, diam dengan mata yang saling kontak dengan Yuuna.
Melihat Riu yang hanya menatapnya saja, Yuuna mengencangkan urat gulunya lalu dengan tegas, "JAWAB PERTANYAANKU RIU!" sontak hal tersebut membuat Takaki menghampiri mereka berdua yang berada di ruang tengah. "Yuuna apa yang kau…." Yuuna tidak memberi kesempatan untuknya bicara, "Jika kau masih berada dalam perangkapmu sendiri, bagaimana kau bisa memberikan kebebasan untuk orang lain, aku tau kau adalah orang yang kuat namun kau masih dikendalikan oleh rasa yang membuatmu terlihat lemah! Sadar lah Riu!" Dengan nada yang agak tinggi, sehingga membuat kesan yang serius.
"Apa yang kau katakan? Yuuna" ucap Takaki dengan nada yang lirih sambil mengerjapkan matanya beberapa kali. Riu masih menatap wajah Yuuna dengan samar. Suasana masih hening, menunggu ada yang berbicara lagi. Tapi seketika Riu mengalihkan pandangannya, tak kuat memandang wajah Yuuna yang polos seketika berkarisma.
Tanpa ada niat satupun ingin bersuara, Riu bergegas keluar dari rumahnya meninggalkan kedua sahabatnyanya yang masih berada didalam rumahnya.
"Kau ini kenapa?" tanya Takaki sedari tadi melihatnya dengan wajah linglung, tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh gadis polos itu. namun yang ditanya hanya diam mematung, dengan tatapan yang kosong. "Yuuna? Kau tak apa-apa?" Perlahan Takaki meraba pundak Yuuna yang terlihat kaku. Seketika saja Yuuna terduduk, dengan tatapan yang masih kosong, "Apa yang telah aku katakan tadi?" lirih Yuuna.
****
Cahaya langit yang hampir surut, Langkah panjang, dengan gerakan yang cepat, Riu berjalan dibawahnya, dengan emosi yang tak teratur, entah suasana apa yang sedang ia rasakan sekarang, setelah mendengar ucapan sahabatnya tadi. Kau adalah orang yang kuat!, kata-kata yang masih terngiang-ngiang didalam otaknya, Apa itu Yuuna yang sebenarnya?.
Riu terus berjalan dengan pikiran yang tengah berkeliaran, Yuuna! Apa dia sudah membaca catatanku! Apa jangan-jangan Yuuna sudah mengetahui rencanaku? Seketika Riu melambatkan langkahnya, Aku mengerti! Yuuna berusaha membebaskanku dari kurungan ini. Selama ini aku dirundung rasa takut yang mendalam, tapi Yuuna selalu…. Riu melangkah dengan ringan, emosinya kembali normal sesaat ia paham maksud sahabatnya tersebut, ia seolah dapat pencerahan dari tuhan.
Dipertengahan jalan, Riu berpapasan dengan barisan penduduk dari arah hutan utara, yang baru saja pulang dari ladang ganja. Ditemani oleh beberapa anggota mafia kelas C bersenjata api disamping mereka berjaga agar tak ada yang kabur dari barisan. Terlihat jelas wajah-wajah para penduduk yang kelelahan ditambah langkah yang sudah tak beraturan lagi.
Riu berjalan berlawanan arus dengan barisan tersebut. Riu berjalan menunduk tanpa ketakutan, berniat agar tak menjadi perhatian para penduduk, sampai para anggota mafia menyapanya layaknya teman, itu membuat Riu risih, dan pastinya hal tersebut dapat meyakinkan opini penduduk bahwa ia benar-benar seorang penghianat. Setidaknya ia tak berniat untuk menoleh apalagi membalas sapaan tersebut.
Barisan yang sangat panjang, hampir dua kali lipat seperti kereta api, barisan penduduk tersebut tak telihat ujungnya. Riu berharap menemui ujung dari barisan tersebut.
Menurutnya, ia sangat bersalah kepada para penduduk Guzama, karena dirinya diperlakukan baik oleh para mafia sedangkan mereka diperlakukan seperti tahanan penjara kelas kakap. yang padahal Riu belum mengerti kenapa ia jadi diperlakukan baik oleh para mafia. Namun tak ada jalan lagi untuknya, ia juga tidak mau keluargannya dipekerjakan dengan kondisi ibunya tersebut.
Dari salah satu barisan tersebut, terlihat salah satu penduduk berlari keluar barisan menuju kearah Riu yang fokus kedepan, terdengar teriakan dari orang tersebut. "DASAR KAU PENGHIANAT!!!" Belum sempat untuk menengok, sebuah hantaman keras mendarat tepat di tengah wajahnya, yang membuatnya terjatuh. Orang tersebut lansung membekap Riu saat terjatuh, "Kau sangat pantas untuk mati!!!" berkali-kali ia menghantamkan tangannya ke wajah Riu dengan penuh ambisi. Salah satu anggota mafia yang dekat dengan mereka berdua, berusaha untuk melerai keduanya, perlahan mendekati mereka berdua. Satu kali tarikan saja.
*DOOOR
Suara tembakan yang amat menusuk ditelinga, cucuran darah jatuh kewajah Riu. Riu menatap jelas ujung senapan dari lubang kepala orang tersebut. Seketika ia mematung, sesaat mafia itu mendorong mayatnya menggunakan kakinya. Wajahnya beku, seolah tak menyangka akan kejadian tersebut. "Kau tak apa-apa Riu?" tanya mafia tersebut yang masih memegang senapan panjangnya, lalu mengulurkan tangannya ingin membantu Riu, namun Riu menyingkirkan tangan mafia tersebut, Riu berdiri perlahan dengan rasa takut yang mendalam, semua orang fokus melihati dirinya yang bersimba darah. Riu menatap bergantian, wajah takut, khawatir, dan sedih, bercampur dalam satu ekspresi di wajah para penduduk.
"KENAPA DIAM?... CEPAAT JALAAN!!!" teriakan keras salah satu mafia, yang membuat barisan penduduk tersebut lanjut berjalan tak menghiraukan salah satu mayat penduduk tersebut. Saat itu juga Riu melangkahkan kakinya, berjalan perlahan, sembari menunduk merenungkan sesuatu. Apa yang membuatku merasa bersalah sekarang? Aku…. Seorang penghianat? Kenapa? Kenapa? Apa aku adalah musuh mereka sekarang? Masih pantas aku hidup sekarang? Mereka menginginkan aku mati? Aku memang pantas mendapatkan ini, sibuk dalam pikirannya sendiri.
****
Matahari menghilang, cahaya bulan yang mulai menyelimuti kota perlahan, sekitar setengah jam lebih, Riu baru sampai kerumah ibunya, dengan keadaan yang lusut, sedikit memar bekas tamparan diwajahnya yang tak dapat ia disembunyikan, hanya bekas darah saja yang dapat ia hilangkan.
*Tok Tok Tok
Perlahan decitan pintu menyamai alunan terbukanya pintu, sosok adiknya perlahan terlihat. Ria, adik perempuan Riu lebih muda empat tahun dari Kakaknya, adiknya lah yang merawat ibu dikala ia tidak ada. "Malam!" sapa hangat Riu sembari melepaskan alas kakinya, lalu masuk begitu saja. "Malam!" jawab Ria dengan wajahnya yang dingin, namun dengan nada yang hangat.
Suara langkah kaki yang begitu cepat terdengar dari depan arah Riu, seketika ada orang yang memeluk kaki Riu dengan erat. "Kakak!!! Akhirnya kakak datang!!!" Teriaknya.
Adik Riu yang paling kecil bernama Rio, yang baru saja menginjak enam tahun. Rio amat senang kakak Riu datang kerumahnya, karena menurutnya Kak Riu lebih baik daripada kakak perempuannya, Kak Ria. Riu memegang tubuh bocah tersebut, lalu mengangkatnya, "Kau semakin berat saja!!!" "Lihat lah perutmu, sepertinya mau meledak!" Cibir Riu membuat, Rio tersenyum lebar, "Kakak kakak! Tau gak? Kak Ria makin hari makin galak kak! Enggak kayak kakak Riu, baik sekali," cibir Rio dengan polosnya, "Kamu gangguin kakak Ria teruskan?" Rio menggelengkan kepalanya dengan gencang, membuat kedua pipinya bergoyang, "Kakak Ria gak bakal marah kalo kamu enggak gangguin dia," ucap seorang Riu. Rio melihat kearah kakak perempuannya yang sedari tadi menahan tawanya dibelakang Riu. Rio menggembungkan pipinya sesaat, kesal dengan kakak perempuannya. "Ramuan minggu lalu sudah habis?" sembari menurunkn Rio dari gendongannya. "Kemarin!" jawab Yuri sembari melangkah kedepan.
Dengan pelan, Riu melangkah menuju kamar ibunya yang berada disebelah kiri dari ruangan tengah. Perlahan ia mengeser kain yang menutupi kamar itu, lalu masuk. Riu melihat ibunya yang sudah tertidur, Riu duduk perlahan disamping kasur ibunya, meletekan beberapa ramuan di atas meja kecil samping kasur. Lalu perlahan keluar tanpa mengeluarkan suara.
"Ria!!" panggilnya Riu, "Ramuan yang ada diatas meja, hanya diminum sekali, ada dua macam, kau campur saja keduanya jadi satu gelas."
"Kak Riu mau pulang? Kenapa buru-buru?" tanyanya Ria, "Aku baru saja mau membuatkanmu sup," ucapnya lirih. dengan ekspresi wajah layu. "Tidak usah, aku hanya ingin melihat kondisi ibu sekarang," ucapnya Riu, membuat Ria semakin Layu, berharap kakaknya bisa kumpul lagi bersamanya.
Akhir-akhir ini Riu tak lagi menginap dirumah ibunya, dan memilih untuk pulang cepat. Rio yang entah darimana asalnya lansung menyahut, "Tidak apa-apa kak, kalau kak Riu tidak mau supnya biar Rio saja yang makan," kekehnya Rio sembari mengusap-usap perut besarnya seolah menunjukan masih ada ruang kosong diperutnya, yang padahal ia sudah makan beberapa kali, sampai membuat kakak perempuannya kewalahan meladeninya. Ria yang mendengar kekehan Rio lansung mengayunkan sendok sayur keperut Rio yang besar. "Aduuh! tuh kan kak Ria makin hari makin galak" cibirnya, membuat Riu terkekeh pelan, "Yasudah, kakak pergi dulu!" sembari melangkah menuju pintu depan.
Baru beberapa langkah hendak keluar, suara lirih, serak, yang bersumber disalah satu kamar terdengar jelas memanggil namanya. "Ibu?" sembari berjalan menuju kamar ibunya.
Riu yang melihat ibunya terbangun, lansung duduk disampingnya, sembari mengusap tangan keriput ibunya dengan lembut. Ternyata ibunya mengidap penyakit penuaan dini, wajahnya yang menua tidak sesuai dengan usianya sekarang, dengan rambut putih yang hampir merata. Ditambah lagi susahnya untuk bergerak.
"Riu! Kamu baik-baik saja kan nak?" tanya ibunya dengan suara yang amat pelan, "Iya bu! Riu baik-baik saja," sahut Riu dengan suara lembut, Ria dan Rio ikut menyimak dari depan kamar.
"Sudah mendingan kan badannya bu?" lirih Riu. Ibunya lansung menggerakan tangannya, berusaha untuk duduk, membuktikan kepadanya kalau ia sudah bisa duduk, "Tidak perlu ibu! ibu berbaring saja." Namun ibunya tetap bersikeras untuk duduk, dengan sekuat tenaga dan bantuan oleh Riu, Ibunya dapat duduk dengan sempurna. Sembari tersenyum lebar menatap lembut bergantian anak-anaknya. Ketiganya tersenyum haru, melihat ibunya yang masih bersemangat dalam kondisinya yang sekarang, membuat wajah Ria yang dingin pun seketika meleleh.
Melihat kondisi pada malam itu, ibu adalah orang yang mengendalikan suasana hati mereka, yang membuat suasana harmoni menyebar disatu ruangan.
"Riu? Wajah kamu kenapa?" tanya ibunya, sembari mengusap pipi anaknya. "Ohh ini," sembari memegang memar diwajahnya "Riu tersandung saat ingin turun dari loteng. Tapi sudah tidak apa-apa kok," jawab Riu berbohong, tak ingin membebani pikiran ibunya, ibunya seketika tertawa kecil mendengar jawaban Riu tersebut, "Kau masih saja ceroboh seperti dulu," jawab ibunya, yang membuat Riu terkekeh.
"Kau sangat ceroboh kalau berbohong dengan ibu," lanjut ibunya, "Berkelahi dengan Mori?" tanya ibunya seolah mengetahui apa yang terjadi, "Eee…. I…. iya bu," jawabnya terbata-bata.
"Dari dulu kamu memang payah kalau berkelahi, selalu saja ibu yang turun tangan," cibir ibunya, dengan niat menyemangati Riu, agar tak menjadi orang lemah. Riu hanya cengengesan, sembari menggaruk kepalanya.
Kedua adiknya yang sedari tadi hanya mendengarkan mereka berdua mengobrol hanya menyimak pembicaraan mereka."Kak!" Seketika Rio menarik daster Ria, Ria menunduk menyodorkan telinganya "Kak Riu ternyata orangnya pengadu ya? Dia bilang, dia pernah mengalahkan orang-orang jahat sendirian" bisik Rio, mereka bergantian berbisik, seketika saja mereka akrab, "Bahkan lebih dari itu, dulu…." Ria menggantungkan pembicaraanya, saat mengetahui Riu sedang menatapnya dengan tajam.
"Kamu benar baik-baik saja kan Riu?" seketika berbicara dengan nada rendah, "Ibu….sangat minta maaf…." Seketika dipotong oleh Riu, "Tidak ibu, Riu baik-baik saja, Riu sudah kuat kok, sekarang Riu yang akan menjaga ibu." Sembari memijat lengan ibunya pelan. Mata hitam ibunya sedikit berkaca, dengan senyum lebar yang amat lembut, dengan raut tersebut membuatnya nampak muda kembali, Kau persis seperti ayahmu, Riu!.
"Takaki sama Yuuna, titip salam ke ibu, katanya nanti akan jenguk ibu, nunggu waktu yang pas untuk kesini."
"Bagaimana kabar mereka? sudah lama ibu tidak melihat mereka."
"Mereka baik-baik saja."
"Kau harus jaga mereka Riu, hanya mereka satu-satunya orang yang bisa menemanimu saat kau jatuh. Ingat pesan ibu ini!"
"Iya bu, Riu janji untuk menjaga mereka." Sembari meletakan kepalanya ke pangkuan ibunya, "Riu janji bu!". Ibunya mengelus lembut kepala anak sulungnya tersebut dengan rasa kasih yang tak akan ia dilupakan.
****
"Tumben ibu terbangun tadi," ucap Ria yang berada di meja makan persegi bersama kakaknya. "Setidaknya aku mengetahui pasti keadaan ibu sekarang."
Setahun terakhir, saat Riu datang kerumah ibunya, ibunya selalu tertidur, dan ia tidak bisa melihat kondisi ibunya secara lansung dan hanya diberitahu oleh adiknya saja, Riu tak enak jika membangunkan ibunya yang bisa tidur.
"Ria!" panggil Riu lirih, yang dipanggil menoleh, "Menurutmu, apakah mustahil bagiku, untuk mengakhiri semua ini." Ungkapnya lirih. "Maksudmu?" sahut adiknya, sembari mengerutkan dahinya "Yaa…. Apa mustahil, kalau aku dapat menghabisi semua bajingan itu? membebaskan semua orang disini?" jelasnya, sembari ragu menatap wajah adiknya.
"Wow!" cengang Ria, "Apa ini benar-benar kakakku?" ragu Ria, "Berhenti lah, jawab saja,"
"Aku benar tidak menyangka kau berpikiran seperti itu," ucap Ria lirih, "Berarti mustahil?" tanya Riu, sembari menaikan satu alisnya, "tidak, bukan itu maksudku, yang aku tahu kakak selalu bermain didalam lingkarannya sendiri, dan tak pernah berpikir untuk bermain dilingkaran orang lain." Riu mengerjapkan matanya. "Tapi aku percaya kok, walaupun kakak orangnya lemah," memanjangkan nadanya saat mengucapkan 'lemah' , "tapi kakak masih memiliki ambisi yang tak dimiliki orang-orang bahkan orang kuat sekalipun."
"Sejak kapan kau, pandai berbicara Ria!" kagumnya dengan melebarkan ekspresinya. "Kau yakin aku bisa melakukannya?" tanya Riu ragu.
"Kakak hanya tinggal keluar dari lingkaran, lalu mencari jalan untuk sampai kelingkaran yang lain" ucapnya begitu saja, membuat Riu semakin bingung, "Bicaralah yang benar, aku tak mengerti maksudmu!" sembari menampilkan ekspresi kesal.
Ria cengengesan membuat wajah dinginnya hancur seketika. "Ya… aku sangat yakin kakak bisa melakukannya," ucapnya lugas, Riu sedikit mengerutkan ujung dahinya, lalu menatap Ria tajam, matanya saling kontak satu sama lain, menunggu siapa yang mengalihkan pandangan duluan, "Baiklah, sepertinya ini sudah larut malam," sembari menyuap-suapan terakhir sup yang ada dimangkuknya.
"Aku akan kesini lagi minggu depan, jaga ibu baik-baik." Sembari berdiri bangkit dari kursi, lalu mengambil tasnya didepan kamar ibunya. Sedikit mengintip dari tirai kamar, "Ibu cepat sekali tidur," lirih Riu, yang baru saja melihat ibunya, "Ya, akhir-akhir ini dia mudah untuk tidur," ucap Ria yang berada dimeja makan, "Syukurlah." Lalu menggantungkan tasnya kepunggungnya, "aku pulang dulu, Dahhhh!" pamit Riu sembari melambaikan tangan, "Hati-hati kak," sembari melambaikan tangannya sesaat Riu hilang dari pandangannya.