'Suara rintihan sakit juga teriakan pilu tak kunjung berhenti. Kobaran api masih setia menemani cahaya bulan purnama, orang-orang berlarian tak tentu arah.
Seruan dari para pemberontak mulai semakin kasar, darah berceceran dimana-mana. Mata anak itu ternodai, anak laki-laki yang berdiri diam menatap kematian orangtuanya.
Butiran air mata tak ada yang berarti malam ini, pembantaian tetap berjalan. Semua rasa kemanusiaan sudah tiada, tenggelam dalam lautan darah.
"Hei! Cepat selesaikan tugas kalian. Habisi seluruh orang di desa ini!" Perintah seorang lelaki dengan jubah hitamnya.
Anak laki-laki itu masih hidup, ia tertunduk menangisi orangtuanya. Semua orang telah habis hanya tersisa dirinya yang masih hidup— ditengah-tengah kobaran api yang mengelilingi seluruh desa.
Door...'
"Hah-hah-hah," (Suara deru napas tak beraturan).
Detak jam dinding menghiasi suasana tegang dari sosok pemuda dua puluh tahun. Masih dengan memegang dadanya ia menatap cermin, pantulan bayangannya seolah mengingatkannya dengan mimpi buruk yang selama ini ia alami.
Mimpi buruk yang tak pernah berhenti, seorang anak kecil, gadis cantik, lelaki dewasa hingga pria tua. Semua mimpinya beruntun membentuk sebuah cerita namun tak beraturan, ia tidak tahu kapan akhirnya.
Justin Albert.
Pemuda yang bekerja paruh waktu sebagai pelayan disalah satu restoran, sembari membantu keuangan orangtuanya ia juga mengumpulkan sejumlah koin untuk biaya masuk kedalam universitas.
Justin terkenal sebagai sosok pekerja keras dan pantang menyerah. Banyak orang-orang kagum karena perilakunya yang ramah bahkan pada orang asing sekalipun.
Malam ini ia tidak dapat tidur tenang, sebab mimpi-mimpi yang menghantuinya. Ia sempat pergi ke psikolog untuk mengecek kondisi tubuhnya, takut-takut ia benar-benar gila akan semua ini.
Kini Justin lebih memilih meminum kopi dan tetap terjaga hingga sang fajar naik menyinari seluruh kota.
Tak terasa sudah tiga jam berlalu, matahari sudah naik perlahan. pemuda itu bangkit dari duduknya dan bersiap untuk keluar mengingat ia memiliki janji dengan teman-temannya.
"Morning," Justin tersenyum menatap perempuan tua dihadapannya.
ia beralih duduk memakan sarapan pagi yang sudah disiapkan. Sepotong roti dan segelas susu, dengan lahap ia segera memakan habis hingga tak tersisa. Seraya beristirahat sejenak ia menatap ibunya lalu melihat kearah sisi lain.
"Dimana ayah?" tanya Justin.
"Dia pergi sebentar ke Toko untuk memeriksa bahan apa saja yang sudah habis, Emma menunggumu diluar lebih baik segera menemuinya." Ucap Charlotte lalu memberikan kotak makan pada Justin.
Segera lelaki itu keluar menemui gadis kecilnya, hari ini hari libur kerjanya tidak perlu khawatir. Pemuda itu sudah mempersiapkan dirinya lalu keluar menghampiri seorang gadis yang berdiri dengan seikat bunga ditangannya, dan juga sekantong plastik.
"Hai Justin, selamat pagi. Tidak lupa dengan janji kan? Aku membawakan bekal untuk mu." tangan gadis itu bergerak memberikan plastik hitam tadi pada Justin.
Justin tersenyum, Ia mengambil plastik itu dan membukanya, sepotong roti isi dengan sebotol susu putih. " Emma aku baru saja selesai sarapan," tutur Justin.
Ia menatap Emma yang mengernyit heran, gadis itu mengambil kembali makanannya lalu menatap Justin. "Tidak biasanya, Kau selalu sarapan saat aku membawakan makanan untukmu."
"Yah tapi hari ini aku benar-benar sarapan bahkan ibu memberi mu masakannya." jelas Justin, tangannya bergerak memberikan Emma kotak makanan tadi. Emma menunduk menatap kotak makanan itu, ia tersenyum simpul.
Harap gadis itu tak marah padanya, Bagi Justin Emma sangat penting, mungkin jika gadis itu tidak ada ia dan keluarganya sudah menjadi gelandangan.
Hanya Emma dulu yang peduli pada kondisinya dan keluarganya, ketika ia sedang merasa susah atau sedih Emma akan selalu datang memberikan semangat padanya.
Masih dengan tersenyum menatap makanan, Emma menepuk bahu Justin agar menatapnya kembali. Gadis itu mengerucutkan bibirnya, tangannya sudah terlipat didepan dada.
"Aku tidak jadi marah kalau begini, tapi kau harus tetap memakan ini. yasudah ayo kita sudah telat. mereka pasti akan marah jika kita masih berlama-lama,"
Justin mengelus pipi merah Emma, ia tertawa kecil seraya menggenggam tangan gadis kecilnya itu. "Kau sangat cantik hari ini." celetuknya.
Tanpa ada balasan, Emma langsung pergi dengan menarik tangan Justin. Ia membawa Justin tepat pada teman-teman lainnya yang sudah berkumpul menunggu kehadiran mereka berdua.
Justin duduk diam mengamati teman-temannya yang tengah membicarakan perpustakaan kota yang sudah lama tutup namun kini dibuka kembali.
Claude, Selena, Destin, Eren, Emma dan Chris.
Teman-teman Justin dari masa sekolah dasar hingga saat ini, tidak mengerti mengapa mereka semua masih bisa berteman baik padahal selalu saja ada masalah yang timbul diantara mereka.
"Bagaimana menurutmu Justin?" tanya Claude meminta pendapat dari percakapan yang mereka bahas tadi.
...