Ketika pertama kali Mark membuka matanya di pagi hari, satu hal yang langsung ingin dia temukan adalah keberadaan Adora seorang. Langkah pelan Mark ambil menuju ke arah restoran hotel, menemukan seluruh anggota keluarga dan staff pribadi Muse.icnya tengah berkumpul disana. Mereka berbincang ringan sambil menunggu datangnya sarapan utama. Sayangnya, yang Mark cari-cari ternyata tidak terlihat. Dia baru menyadari bahwa ada tiga bangku kosong disana. Miliknya, Aaron dan Adora. Mark yang diburu rasa penasaran lantas mendekat, menyentuh bahu Alexa dari belakang.
"Kak Mark? Ayo duduk. Tidak menunggumu sih, tapi karena kau sudah bangun, ayo ikut bergabung!"
Mark menyentuh perutnya, memandangi beberapa hidangan yang sudah tersaji tanpa minat. "Tinggal saja, aku belum lapar. Ngomong-ngomong dimana Kak Adora?"
Alexa mengendikkan bahu. Sadar dia tidak bisa memberikan jawaban, gadis itu lalu dengan sengaja menyikut bahu Natt yang duduk di sebelahnya. "Hei, lihat Kak Adora?"
Natt memalingkan wajah, mendongak sedikit guna memandangi wajah Alexa dan Mark bergantian. "Kak Adora? Dia pamit pergi bersama Aaron. Jogging pagi rasanya. Oh, ternyata dia memang tidak mengatakan apa-apa padamu, ya?"
"Huh? Jogging? Maksudmu dia melakukan lari pagi bersama Aaron?"
"Iya. Aku juga sempat bertanya kenapa kau tidak turut serta, tapi Kak Adora malah acuh."
Dilanda kebingungan, Mark lantas menyerah. Dia memilih bangku di sebelah Paulina yang masih kosong dan berpura-pura tertarik pada sajian masakan di meja depan mereka.
"Bibi, selain seni, apa lagi yang Adora suka?"
"Kenapa mendadak bertanya, Mark?" Paulina menoleh anggun. "Sejak Adora lahir, aku selalu menginginkannya hidup dalam dunia seni. Jadi ya, Adora tidak mungkin menyukai apapun selain hal tersebut. Dia tidak punya banyak waktu luang untuk menikmati dunia lain."
Mendengar jawabannya, Mark pun mengusap tengkuk bimbang. "Keluargaku juga ada dalam garis seni, Bibi, tapi Alexa buktinya tidak mewarisi bakat itu. Semua orang tentu punya keahlian mereka masing-masing, kan?"
"Adora tidak pernah bercerita padamu, ya? Dia pandai menari balet, menyanyi, melukis dan oh! bermain musik juga. Dia terbiasa bermain piano, sama seperti dirimu. Jauh dari kata ahli, tapi setidaknya dia mampu."
"Wah, banyak sekali!" Mark berdecak kagum. "Aku tahu dia memiliki suara luar biasa. Tidak menyangka saja ada hal lain yang masih dia berusaha sembunyikan dariku."
"Karena itulah kalian harus mengenal satu sama lain lebih jauh, sayang." Pamela, yang kebetulan duduk di sebelah Mark tiba-tiba menangkupkan telapaknya di atas punggung tangan Mark. Bibi bungsunya itu memberikan tatapan lembut, seperti hari-hari biasa. "Kau akan menikah. Menikah bukan hanya sekedar membuat satu pesta meriah. Rumahnya, itu yang terpenting."
"Benar," timpal Paulina setuju. "Aku merestui hubungan kalian bukan karena kau seorang pianis terkenal, Mark. Reputasimu yang baik membuat aku dan Johan percaya bahwa Adora memilih seseorang yang tepat kali ini. Kalau bukan kau, mungkin Thomas tidak akan setuju secepat ini."
"Terima kasih sudah percaya padaku, Bi. Walaupun terdengar terlalu singkat, tapi aku nyatanya sudah mencintai Adora sepenuh hati."
Paulina mengangguk, menatap sendu calon menantu lelakinya tersebut. "Ya, Adora pantas dicintai olehmu."
"Kami datang!"
Sebuah teriakan dari suara yang tidak asing berhasil menginterupsi dari arah pintu masuk restoran. Seluruh pandangan keluarga Adams dan Hils langsung teralihkan, tahu benar bahwa tersebut adalah suara milik Aaron. Dia sudah berpakaian rapi, tidak lagi memakai baju kaus hitam dan celana pendek biru tua olahraganya. Adora juga sudah tampil berbeda. Bukan gaun dan baju-baju cantik seperti hari-hari yang lalu, dia hari ini hanya memakai kaus hitam dan celana kulot berwarna putih.
"Bagaimana? Senang berlari pagi?"
Adora berjengit tidak nyaman. Dia merunduk, mengalihkan pandangannya dari tatapan lembut Mark di atas sana.
"Kenapa?"
"Tidak apa," sahutnya gugup. "Bergabunglah, M-Mark. Aku tidak lapar."
"Kau sudah makan?" Mark lalu menarik lengan Aaron mendekat. "Kalian sudah makan?"
"Belum. Kakak tidak lihat aku lapar begini?"
Aaron meringis begitu Mark menyentak lengan kirinya agak keras. Dia buru-buru berlari ke bangku kosong di sebelah Natt, menyadari ada masalah besar yang sebentar lagi akan meledak di antara pasangan kekasih baru tersebut.
"Duduk."
"Aku tidak lapar."
Mark tersenyum tipis. "Aku juga tidak lapar. Setidaknya berkumpul sebentar bersama keluargaku."
"Untuk apa?"
"Adora, kumohon."
"Sudah kubilang aku tidak lapar!"
Kening Mark mengernyit. "Ada masalah apa sebenarnya? Sesuatu mengganggumu? Atau ada hal lain yang membangkitkan emosimu pagi ini?"
"Bukan urusanmu."
Mengusap wajah penuh rasa frustasi, Mark akhirnya menyerah. Dia berbalik pergi lebih dulu dan meninggalkan suasana hening disana. Alexa mencoba beranjak dari bangku untuk menenangkan Adora, tapi Natt menahannya. Suasana sarapan diantara mereka berubah menjadi hancur total. Adora bergeming, sibuk menimbang apakah dia harus menyusul Mark atau tidak.
"Bagus, aku memang mengharapkan mereka mengalami pertengkaran satu kali sebelum menikah," bisik Rose, satu-satunya orang yang tetap duduk tenang di bangku meja makan.
"Kakak gila?"
"Aku hanya ingin tahu bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, Aaron. Beberapa pertengkaran setelah menikah adalah hal yang wajar terjadi."
"Mark tidak pernah butuh waktu sendirian," kata Alexa sambil matanya menatap Adora teduh. "Dia sudah cukup kesepian sejak dulu."
Adora meringis singkat sebelum berlari ke arah tangga naik menuju Penthouse Room yang menjadi kamar bersama milik pimpinan agensi Muse.ic. Sebuah grand piano mewah berlabel nama Muse.ic juga ada di kamar itu, jadi kemungkinan yang paling besar adalah Mark pasti akan melampiaskan amarah melalui permainan pianonya.
"A-Adora?"
Benar saja kan? Baru melangkahi anak tangga terakhir, Adora sudah dikejutkan dengan kedatangan sosok lelaki asing yang kini berlari ke arah tangga turun.
"A-aku Jeffrey Wenn, manajer Mark. Kemarin malam kita sempat bertemu di pintu depan, tapi sayang sekali kau malah pingsan sesaat setelah kita berkenalan resmi."
Adora memegangi kepalanya kaku. "Yah, aku mungkin kelelahan. Memoriku sering datang dan pergi."
"Kau dan Mark sedang terlibat suatu masalah, ya?" tanya Jeffrey hati-hati.
"Darimana kau tahu?"
"Penthouse benar-benar bising sekarang ini. Aku gagal mengerti tentang masalah apa yang terjadi, tapi kupikir kau memang harus segara menyelesaikannya. Kalian berdua maksudku."
Jadilah, daripada membiarkan orang-orang di Penthouse berlari kabur seperti Jeffrey, Adora cepat-cepat memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Jeffrey mengikuti di belakangnya. Ketika pintu utama terbuka, barulah nada piano comptine d'un autre été karya Yann Tiersen yang sangat keras terdengar. Nada aslinya mungkin memang mampu membuat pikiran tenang, tapi kali ini Adora malah merasa mual mendadak.
"Berhenti."
Mark spontan mengangkat jari-jari tangannya, menjauhkan segala tekanan pada martil yang sekiranya mampu memukul dawai piano.
"Kau ingin menenangkan diri? Sadar tidak banyak orang merasa terganggu oleh ulahmu?"
Jeffrey mengulum bibirnya panik. Dia segara mengeser tubuh ke kiri dan bersembunyi pada titik buta netra Mark.
"Aku baru tahu kau menyukai lari di pagi hari. Aku yakin kau juga baru tahu kebiasaanku yang satu ini, kan?" Mark balik bertanya sinis. "Kau kembali tanpa satu pun protes dariku, jadi kenapa aku tidak boleh menyelesaikan permainan piano ini?"
"Mark Adams, kita harus berbicara sekarang."
**
"Aku tidak suka caramu yang mudah sekali membesar-besarkan masalah." Adora lebih dulu mengangkat suara.
Mereka sekarang sudah tidak lagi ada di Penthouse, melainkan duduk berduaan di pinggiran ranjang kamar Mark. Adora tahu dia akan memulai pembicaraan yang serius, yang mungkin akan menyakiti perasaan Mark hari ini. Jadi dengan lembut dan perlahan-lahan, Adora pun meraih kedua telapak tangan Mark yang dingin untuk dia genggam di tengah mereka.
"Aku tidak ingin menyakitimu terlalu jauh, tapi kita memang harus berbicara tentang masalah ini sebelum membicarakan hal-hal lainnya."
"Maksudmu pernikahan?" tebak Mark.
"Ya, tentu saja!" balas Adora gugup. "Kita- Kita harus tahu bagaimana kebiasaan satu sama lain. Ada beberapa kisah yang kau pastinya belum tahu tentang aku, begitu pula denganku. K-kau tidak ingin menyesal setelah menikah, kan?"
Mark mengerutkan keningnya waspada. "Kau terlihat agak berbeda sejak pagi tadi. Aku tahu ini mustahil, tapi jika sewaktu-waktu kau berubah pikiran, tolong katakan padaku lebih dulu."
Sambil memejamkan mata gelisah, Adora lantas mengangguk ragu-ragu. "Aku tidak ingin membuat semuanya hancur berantakan hanya karena masalah kecil seperti ini. Kau sudah melamarku dan aku menerimanya. Tidak ada waktu lagi untuk mundur."
"Jangan berpikiran seolah-olah semuanya mustahil, Adora. Bagus kalau kita tidak memulai satu kesalahan di masa depan, tapi kau terlihat senang sekali kemarin," bisik Mark pedih. "Aku tidak tahu bagian mana yang akan menjadi penyesalanmu. Langkah majukah atau mundur-"
"Hentikan," sela Adora nyaris berbisik. "Aku hanya berusaha memberitahumu bahwa ada banyak hal sebelum pernikahan yang harus kita bicarakan baik-baik."
"Contohnya?"
"Kau tidak tahu semuanya tentangku."
"Aku sedang belajar, Adora. Bukan darimu saja tapi dari orang-orang di sekitarmu juga."
Adora mendongak, susah payah menghalangi Mark menyadari kedua bola matanya yang mulai berkaca-kaca. "Me-mereka tidak tahu apapun."
"Mereka tidak tahu karena kau yang tidak ingin berbicara, kan? Aku ingin hadir sebagai seorang Mark Adams yang siap mendengar seluruh cerita tentang dirimu. Bagus kalau hanya aku yang tahu ceritanya. Kau akan hidup bersamaku, Adora Hils. Bukan bersama mereka."
"Kau masihlah orang asing bagiku, Mark."
Tangan Adora yang gemetaran kemudian Mark balas genggam. Tidak hanya itu, dia juga meraih bagian belakang kepala si gadis untuk dirundukkan hingga membuat mereka kembali saling berhadap-hadapan.
"Semua orang akan selalu menjadi asing tanpa sebuah pergerakan. Kau rupanya tidak ingin aku bergerak lebih jauh lagi, ya?"
Yakin bahwa perasaan Adora masih sangat buruk, Mark akhirnya menjauh. Dia tidak bisa memaksa Adora. Aneh memang jika gadis itu baru khawatir sekarang, sedangkan rencana pernikahan mereka sudah sering kali diungkit menjadi perbincangan yang serius. Mark siap jika dia harus membatalkan semuanya hari ini, tapi apakah Adora akan menyesal di kemudian hari?
"Apa ini ada hubungannya dengan Freya Allen? Kau membahas Jeffrey sejak pertemuan pertama kita di Bern. Aku menemukan kau sangat tertarik pada mantan kekasihnya."
"F-Freya?"
Mark mengangguk. "Yang tadi malam kau cari-cari."
"Tentu saja tidak," elak Adora bingung. "Aku bahkan tidak tahu siapa itu Freya."
"Tapi kau mencarinya selama ini?"
"A-aku mencari Freya karena aku tidak tahu siapa dia. Kalau aku mengenalnya, bukankah aku akan langsung menemuinya?"
"Benar, aku tidak berpikir kesana."
Melihat Mark yang diam-diam mendekat ke arah pintu utama kamar, perasaan bersalah Adora jelas semakin meluap. Tepat sebelum tangan Mark menyentuh knop pintu, Adora berhasil menahan lengannya. Dia beranjak lalu melepaskan kembali genggaman mereka.
"Ma-maaf," bisiknya. "Semua disini hancur karena aku."
Bahu Mark mengendik acuh. Gurat frustasi menghiasi wajahnya. Kalau saja dia sedang ada di rumah pribadinya sekarang, sebuah teriakan keras sudah pasti terdengar sejak awal. Seolah-olah yang ingin Mark lakukan sekarang ini hanyalah menenggelamkan diri pada bathtub penuh air dingin.
"Aku tidak pernah berkata akan membatalkan pernikahan," kata Adora takut-takut. "Wajar kan kalau aku merasa khawatir sedikit?"
"Pilihanmu, Adora. Entah itu aku akan tetap menjadi orang asingatau bagaimana, aku tahu aku tidak pantas mendesak apapun darimu."
**
"Kak Mark, boleh aku masuk?"
Alexa mendekatkan telinganya ke sisi pintu setelah beberapa saat tidak kunjung mendapat jawaban. Lantunan nada piano yang tidak dia kenali terdengar sayup-sayup, tanpa sadar menandakan keberadaan Mark disana. Malas menunggu, Alexa pun memutuskan untuk langsung masuk ke dalam ruangan. Sejak kepulangan mereka dari Perancis, Mark tidak pernah terlihat mengambil waktu tidurnya.
"Kak Mark."
"Hm?"
"Apa yang terjadi?" tanya Alexa lembut. "Selagi Kak Adora belum kembali ke Bern, sebaiknya kalian selesaikan dahulu. Wanita pada masa datang bulannya memang agak diluar kendali."
"Tidak ada yang terjadi, Alexa," sahut Mark acuh. "Semuanya masih baik-baik saja. Kami hanya perlu waktu sendiri."
"Ketika kalian menikah nanti, apa kau akan tetap memerlukan waktu sendiri? Bagaimana jika sebenarnya Kak Adora membutuhkanmu?"
"Kau benar, Alexa. Aku belum siap menikah."
Mendengar itu, bahu Alexa sontak jatuh lemas. Dia menarik jari-jari Mark dari atas piano lalu ditariknya lelaki itu agar mengambil tempat duduk disisinya.
"Alexa, kau tidak perlu ikut pusing begini," ucap Mark tanpa sanggup menahan rasa gemasnya. "Ini semua masalah pribadiku. Kau dan cucu-cucu yang lain seharusnya jangan memikirkanku terlalu jauh."
"Aku tidak ingin memikirkanmu, Kak, tapi bagaimana bisa aku berlagak seolah tidak sedang terjadi apa-apa disini?"
Tahu benar Alexa masih akan terus memaksa sampai dia bercerita jujur, Mark berakhir harus mengalah. Dia mengatupkan kedua telapak tangannya dan berdesis menahan amarah.
"Jujur saja aku bingung. Adora berkata seperti aku adalah orang asing, padahal sudah ada dua musim yang kami lewatkan bersama."
"Tapi dia baik-baik saja kemarin."
"Dia sempat pingsan sebentar. Malam hari sebelum aku mengantarnya ke kamar, kami bertemu Jeffrey di pintu masuk hotel."
Alexa hanya mengangkat kedua alisnya penasaran, membiarkan Mark menyelesaikan ceritanya lebih dulu.
"Dia bertanya tentang Freya, kekasih Jeffrey. Tapi ternyata mereka sudah berpisah dari jauh-jauh hari. Freya tidak tinggal di Switzerland lagi. Waktu itu aku ingat, Adora ketakutan sampai tangannya gemetar."
Kening Alexa berkerut bingung. "Mungkinkah Freya adalah salah satu sahabat Kak Adora? Ketika kau melamarnya di Paris, Bibi Paulina banyak bercerita tentang masa lalunya. Dia bukan sosok yang cinta pada dunia seni sejak lahir. Dia keras kepala dan susah berteman."
"Masih banyak masa lalu Adora yang aku tidak tahu, Lexa. Beruntung dia bertingkah hari ini. Setidaknya aku jadi perlu memikirkan beberapa hal lain sebelum hari pernikahan benar-benar aku setujui nantinya," sahut Mark tenang.
"Kalau begitu mungkinkah Freya adalah salah satu saudarinya? Kak Mark tahu bagaimana kondisi keluarga besarnya sekarang, bukan?"
"Mereka dikucilkan karena berani pindah ke Bern?"
"Ya,itu!" balas Alexa antusias.
"Jadi Adora ingin meminta maaf?"
"Kau rupanya terlalu melihat sisi baik Kak Adora saja!" dengus Alexa. "Sebaiknya Kak Mark cari asal usulnya lebih jauh lagi. Dia sekarang terlihat anggun, tapi menurut cerita Bibi Paulina kemarin, aku rasa dulu Kak Adora tidaklah seanggun ini."
"Anggun se-"
Klek!
"Alexa, bisa aku pinjam Marknya sebentar?"
Keduanya menoleh kompak, mendapati sosok Adora tengah berdiri di sebelah pintu masuk. Rambutnya diikat satu berantakan, begitu pula gaya busananya yang terkesan sangat terburu-buru. Sebagai jawaban, Alexa sontak bangkit berdiri dan pamit pergi, meninggalkan Mark berduaan bersama Adora disana. Ketika Adora duduk di sisinya, Mark segera beranjak dan menangkupkan kedua tangan di depan dada, kelihatan tidak tertarik samasekali.
"Aku kira kau sudah pergi ke bandara."
"Dan meninggalkan semua masalah tanpa jejak yang jelas. Begitu maksudmu?"
Mark memutar bola matanya jengah. "Cukup jelas untukku."
"Kau kekanakkan sekali," decih Adora jengkel. "Satu pertengkaran kau jadikan masalah besar bagi seluruh anggota keluarga Adams."
"Dengar!" Mark tiba-tiba menarik tangan Adora kasar, menahannya tergantung di atas angin kemudian memaksa manik gadis itu untuk membalas tatapan tajamnya. "Aku sudah melewati masa-masa seperti ini beberapa kali. Pernikahan yang gagal bukan berarti apa-apa lagi bagiku. Kau benar, kita baru bertemu. Tidak masuk akal jika di musim selanjutnya, pernikahan akan tergelar secara aman."
"Bagaimana kau bisa menikahi seorang gadis yang bahkan tidak kau kenali?" tanya Adora kelewat tenang. "Jika setelah menikah, kau menemukan hal-hal buruk yang membuatmu ragu, apa berpisah akan ada dalam pilihan?"
Tangan Adora lalu dilepaskan begitu saja oleh Mark. Lelaki itu bertekuk lutut di hadapannya dan merunduk dalam diam. Cincin di salah satu jari Adora dia usap hati-hati, seperti sibuk memikirkan pembicaraan apa yang pantas agar si kekasih mengerti seluruh perasaan kalutnya. Mark tidak keberatan jika dia harus membatalkan kembali acara pernikahan. Itu sudah seperti menjadi kebiasaannya selama lima tahun terakhir omong-omong. Hanya saja melepaskan Adora terasa jauh lebih berat dari yang gadis-gadis sebelumnya. Mereka mungkin memang baru bertemu, tapi Mark seolah yakin bahwa dialah gadis yang paling tepat.
"Kalau waktu yang menjadi pengahalang kali ini, aku bersedia memperkenalkan dirimu pada musim-musim selanjutnya di hidupku."
"Lantas kenapa harus aku?"
Sudut bibir kanan Mark terangkat. "Bukan harus, tapi seharusnya. Aku tidak pernah memaksa pilihanmu, Adora. Aku cukup berharap saja."
"Komitmen dalam sebuah pernikahan bukan hal main-main, Mark. Kau mengikat seseorang," bisik Adora sendu. "Kau yakin aku akan tetap terikat nantinya?"
"Bagus, sekarang kau mulai meragukan dirimu sendiri."
Adora menggeleng. "Setelah aku melihatmu hari ini, aku sering kali berpikir bahwa kau pantas mendapatkan seorang gadis yang setara denganmu."
"Setara dalam hal?"
"Hatimu. Ketulusanmu."
"Kemudian darimana kau dapat mengerti tentang isi hati orang lain jika milikmu sendiri saja tidak kau ketahui?"
"Mark-"
"Tidak akan pernah ada seseorang yang pantas. Aku sengaja merendahkan diriku di hadapan orang lain, tapi kau lihat? Mereka tetap berkata seolah hanya seorang Dewilah yang pantas bersanding denganku."
"Benar, kau terlalu sempurna."
Mark tersenyum miris. "Kau melihat diriku di atas panggung, bukan di dalam rumah. Aku tidak hidup selamanya bersama sebuah piano, Adora. Aku juga butuh seorang pendamping."
"Kau butuh pendamping? Tanpa perlu merasa jatuh cinta dulu?"
"Aku tidak pernah jatuh cinta secepat ini," sahut Mark tegas. "Kau adalah yang pertama kalinya."
Adora menggigit bibir bawahnya agak gemetar. "Kita baru bertemu di musim semi yang lalu. Ada kemungkinan kau akan jatuh cinta lagi di musim panas ini, kan?"
"Begini saja!" teriak Mark marah. Dia bangkit dari posisi berlutunya dan menarik Adora agar mereka berdiri saling berhadap-hadapan. "Aku malas sekali mendengar omong kosongmu. Berhenti memikirkan pernikahan atau lamaran yang sudah sempat kau terima. Kalau kau tidak ingin melanjutkan rencana ini, maka katakan padaku sekarang!"
Mark pikir tarikan tangan Adora berarti sebuah bentuk perlawanan dari gadis itu, tapi ternyata sesuatu yang tidak diduga-duga malah terjadi. Adora terlihat menutup telinga sambil memejamkan matanya erat. Suara Mark yang berteriak memanggil namanya tidak lagi dapat didengar. Semua terasa bergerak semakin jauh hingga Adora merengek ketakutan. Tangannya lalu terjulur, berusaha menggapai tubuh Mark walaupun hanya angin kosong yang dia dapat.
"Adora!" Mark berteriak panik. Tubuhnya yang mencoba menjadi sandarakan bagi Adora pun terpaksa harus jatuh ke lantai ketika si kekasih mendadak jatuh pingsan di tempat.
tbc