Langsung saja aku pergi ke luar untuk menghapiri suara itu dan meninggalkan teman-temanku yang sedang berada di kamarku. Ternyata benar. Itu adalah suara Randi yang sudah tidak asing lagi di telingaku.
"Loh, katanya lu ga mau ke sini."
"Pikiran gua bisa berubah gitu aja. Ayo mumpung gua lagi mau nih."
"Tapi gua lagi pengen capcin nih. Beliin dong."
"Ga ah, males. Males keluar lagi gua."
"Yailah, lu kan naik motor, cepet. Yaya, pleaseee... Apa mau sama gua? Pergi berdua?"
"Engga engga, gua aja deh sini yang beli. Nitip gitar. Awas lecet. Mahal itu."
"Woilah, iya iya."
Akhirnya Randi pun pergi untuk mencari capcin, alias cappucino cincau, sesuai dengan apa yang di ingginkan olehku.
"Siapa Ki?" Tanya Elina.
"Teman gua."
"Teman sekolah?"
"Iya."
"Mana orangnya? Kok ga di suruh masuk?"
"I... Iya. Ada yang ketinggalan katanya, jadinya dia balik ke rumahnya dulu, nanti balik lagi."
"Ohh, gua tau nih. Gebetan lu ya? Lu mau berduaan kan sama dia? Terus ga enak gara-gara ada kita. Maaf deh, kalo gitu kita pulang aja yu." Ajak Elina kepada kedua sahabatnya.
"Asal lu tahu aja El, itu adalah Randi," ucapku di dalam hati.
"Ga kok, ga ganggu. Udah ga apa-apa di lanjut aja cerita-ceritanya."
"Ga apa-apa, kita udah lama juga kan mainnya. Ayo Ran, Ris, kita pulang."
"Ya udah yu." Jawab Riska.
"Dadah Kia... Semoga lancar ya sama dianya, eh, hehe."
"Ih apa si kalian..."
Kemudia mereka semua pergi meninggalkan rumahku. Seandainya saja Elina tahu, bahwa laki-laki yang dia maksud gebetanku ternyata dia adalah Randi.
Lagi-lagi aku harus menutupi semuanya dari Elina. Aku tidak tahu, sampai kapan aku harus menghindarkan Elina untuk bisa bersama Randi.
Tidak lama kemudian Randi kembali ke rumahku.
"Ketemu cewek yang lagi jalan ga tadi?" Tanyaku kepada Randi. Takut jika Randi melihat Elina dan sahabatku yang lainnya.
"Banyak lah. Aneh-aneh aja lu nanyanya."
"Cewek bertiga, kali aja ada yang lu kenal?"
"Engga, ngapain juga gua merhatiin orang jalan. Nih capcinnya. Banyak mau lu."
"Ohh, ya udah."
"Kenapa emang?"
"Ga apa-apa kok. Makasih ya capcinnya. Ya udah yu mulai belajar main gitar."
Setelah itu aku mulai belajar memainkan gitar dengan Randi. Aku memulainya dari kunci gitar yang paling sederhana sampai yang agak sulit. Namun aku hanya mempelajari beberapa kunci dasar yang mudah saja untuk satu lagu yang akan aku bawakan nanti di acara ujian praktek seni budayaku.
Mulai dari dia yang terlebih dahulu mencontohkan cara bermain gitar di depanku hingga berganti posisi menjadi di belakangku dengan posisiku yang memegang gitar. Randi memegang kedua tanganku dan perlahan mengarahkan jari-jariku untuk memainkan senarnya.
Sebelumnya aku dan Randi tidak pernah sedekat ini. Hembusan nafasnya sangat terasa karena begitu dekatnya tubuh kami berdua. Tangannya yang hangat menyentuh tanganku yang dingin karena gerogi. Seakan kini tangannya ada untuk menghangatkanku.
Aku mempelajari gitar berdamanya dari sore sampai matahari tenggelam. Sampai pada akhirnya aku mampu untuk menyelesaikan satu buah lagu yang akan aku bawakan di ujian praktek seni budayaku nanti. Ternyata benar, mempelajari gitar tidak sesulit belajar memainkan suling. Apa lagi di ajarkan oleh Randi, rasanya begitu sangat mudah untuk mempelajarinya.
Sebelum dia memutuskan untuk pulang, Randi memainkan gitarnya dengan membawakan lagu-lagu yang sedang trend di kalangan remaja. Yaitu lagu-lagu yang di nyanyikan dari sekumpulan empat orang penyanyi yang bernama Hivi. Bernyanyi bersama. Tertawa bersama. Rasanya malam ini adalah malam terindah yang pernah aku miliki.
Waktu semakin malam. Kini waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tidak enak juga jika terdapat seorang lelaki malam-malam yang berada di rumah perempuan. Akhirnya Randi memutuskan untuk pamit dan pulang ke rumahnya.
"Eh Ran, gua pinjem gitar lu ya sampai nanti gua ujian praktek, gua ga punya gitar nih."
"Beli dong."
"Elah, pelit banget lu."
"Haha, ya udah pakai aja. Kalo lecet beliin yang baru tapi ya."
"Lah, yang barunya mending buat gua."
"Ga lah. Ya udah ah gua pulang dulu."
"Iya, makasih Ran."
"Yoo."
Walaupun kini Randi telah tidak ada di hadapanku lagi, tetapi dia telah berhasil meninggalkan sejuta kenangan dan kebahagiaan pada diriku. Bayangan-bayangan ketika aku bersama Randi barusan masih terus ada di dalam ingatanku. Ternyata Randi telah mampu menciptakan rasa senangku kepadanya setelah rasa sakit yang telah dia ciptakan juga untukku.
Elina POV :
"Sebenarnya tadi gua lihat Ki, gua lihat dari jendela kamar lu kalo ada Randi di luar sana. Makanya gua lebih milih untuk pulang daripada gua merasakan sakit karena lihat lu berdua," ucap Elina di dalam hati.
"Woy, kenapa bengong lu?" Tanya Rania kepada Elina.
"Eh, engga kok. Emang gua bengong ya?"
"Iya, kaya ada yang di pikirin gitu." Kali ini Riska yang menjawabnya.
"Engga kok, mungkin karena gua cape aja kali. Tadi kan gua habis dari sekolah, pulang ke rumah, langsung pergi lagi ke rumah Kia."
"Yakin lu?" Tanya Riska untuk memastikan jika Elina benar tidak kenapa-kenapa.
"Iya Ris, ga apa-apa. Itu dia angkotnya, ayo buruan, nanti nunggunya lagi lama," ucap Elina kepada kedua sahabatnya sambil berlari-lari kecil karena takut angkot tersebut pergi meninggalkan mereka semua.
Elina dan kedua sahabatnya pun memasuki angkot tersebut, angkot yang bertujuan ke arah rumah mereka semua. Mereka bertiga memang rumahnya saling berdekatan, maka dari itu mereka semua menaiki angkot yang sama.
Author's POV :
"Utuhkan lah... Rasa cinta di hatiku... Hanya padanya, untuk dia.."
Prok... Prok.... Prok...
Suara tepuk tangan dari beberapa murid yang melihat aku memainkan gitar dengan membawakan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh seorang penyanyi yang bernama Anji dengan judul lagu Dia.
"Wahh Kia bisa main gitar juga ya," ucap guruku kepadaku.
"Dikit doang Bu."
"Bisa sendiri atau ada yang ngajarin?"
"Ada yang ngajarin Bu."
"Ohh gitu. Siapa kamu?"
"Teman Bu."
"Kepo banget dah nih guru satu," ucapku di dalam hati.
"Oke kalau gitu silahkan selanjutnya," ucap guru seni budayaku untuk mempersilahkan murid selanjutnya yang akan tampil.
*****
"Gimana tadi ujian prakteknya?" Tanya Randi kepadaku.
Randi kini sedang berada di rumahku kembali, karena dia berniat untuk mengambil gitarnya yang sudah 2 minggu aku pinjam.
"Lancar..."
"Siapa dulu gurunya."
"Iya iya iya."
"Eh gantian dong, ajarin gua kimia."
"Lah, emang lu ada pelajaran kimia?"
"Ada, biologi sama fisika juga ada."
"Lahh, lu sekolah jurusan teknik infomatika tapi serasa jurusan IPA, haha."
"Emang juga. Bukan bidang gua, makanya gua minta ajarin."
"Bawa bukunya lu? Kan kali aja beda pembahasan di SMA sama di SMK."
"Oh tenang, gua udah bawa semuanya." Kemudian Randi mengeluarkan buku dan perlengkapan belajar lainnya. Seakan dia memang sudah niat sekali untuk belajar kimia bersamaku.
"Lebih dalam gua si pembahasannya."
"Ajarin gua yang alkana alkena alkuna."
"Emang ada?"
"Ada, tuh," ucapnya sambil menunjuk ke arah buku yang berisikan tentang pembahasan gugus fungsi tersebut.
"Gampang gugus fungsi mah. Gampil, haha," ucapku sambil memperlihatkan jari jempol dan kelingkingku di satukan ke hadapan Randi.
"Gaya banget lu. Ya udah ajarin lah."
"Gua aja ngerti, apalagi Elina."
"Elina mulu lu."
"Emang kenapa si ga boleh? Sombong amat. Emang kenapa si lu ga suka sama dia?"
"Ga tau, hati gua bukan jatuh di dia. Gua juga ga tau kenapa, asik haha."
"Ya udah lah bodo amat. Lu ga ngerti di bagian mananya?"
"Ini, gimana caranya bisa dinamain alkana, alkena, alkuna—, CH3, CH2, dan teman-temannya."
Setelah itu aku mengajarkannya kepada Randi. Sangat susah mengajari Randi kimia. Mungkin karena Randi yang memang basic nya di bidang teknik informatika. Sehingga dia tidak begitu menguasai pelajaran seperti ini. Kemampuan orang berbeda-beda bukan?
"Benar ga?" Tanya Randi kepadaku setelah dia mengerjakan soal yang aku berikan untuk melatih dirinya.
"Nah iya benar, itu bisa. Coba lagi."
"Eh, iya ga si?"
"Iya, lanjutin dulu aja sampai selesai."
"Salah ya?"
"Coba gua lihat. Benar kok."
"Emang jago gua mah haha."
"Siapa dulu gurunya?"
"Pak Darto guru kimia gua."
"Ett, hahaha."
"Lah receh lu ga hilang-hilang dah, gitu doang ngakak." Memang seperti itulah aku. Entah kenapa mudah sekali menertawakan hal yang menurut orang lain tidak lucu sekalipun. Apalagi jika hal tersebut datang dari Randi, sangat mudah untuk aku melemparkan tawaku.
Akhirnya selesai juga kami berdua mempelajari kimia.
"Ya udah gua balik ah, udah sore, besok ujian kimia."
"Tentang gugus fungsi?"
"Iya."
"Jago lu, h-1 baru belajar, baru ngerti lagi, haha."
"Iya lah, gua. Mana sini gitarnya. Udah selesai kan?"
"Iya udah."
"Gitar mahal tuh."
"Yaelah di bahas mulu gitar mahalnya. Gitar sama harga diri lu masih mahalan gitar si emang, haha."
"Sialan." Walaupun begitu pedas perkataanku kepadanya, dia tidak pernah marah. Randi tidak pernah marah walaupun sudah aku maki-maki ketika aku merasa kesal dengannya atau dengan orang lain. Penyabar, dan pengertian.
"Ya udah balik ya."
"Iya."
"Thanks nih."
"Bayar lah."
"Santai. Nanti gua bayar kalo udah kaya, haha. Dahh."
"Lama amat. Keburu mati lu nya, haha. Dah."
Selang beberapa menit kemudian dia kembali lagi. Kali ini dia membawakan jajanan yang sangat aku sukai. Yaitu seblak dan tidak lupa dengan minumannya, capcin, alias cappucino cincau.
"Tuh gua bayar."
"Kurang ini."
"Ga tau bersyukur lu," ucapnya sembari dia menghidupkan motornya dan kembali pergi. Kali ini sepertinya dia akan benar-benar pulang ke rumahnya dan tidak akan kembali lagi ke sini.
-TBC-