Chereads / Propinquity / Chapter 2 - One : Decision

Chapter 2 - One : Decision

Bahkan jika suatu hari, aku bukan diriku lagi

Tak apa-apa, hanya diriku sendiri yang menyelamatkanku

Aku tak akan pernah mati dalam perjalanan ini

-BTS : I'm Fine

***

"Bun, aku mau buat keputusan. Aku mau sekolah lagi." Tania yang sibuk membaca majalah fashion di sofa ruang tengah tiba-tiba terdiam. Mengangkat kedua alisnya dan menampilkan ekspresi paling bingung yang pernah ia buat. Ia tidak salah dengar kan?

"Tiba-tiba?"

Yerim. Gadis mungil dengan surai hitam legam itu mengangguk lucu. Tania meletakkan secara asal majalah fashion yang ia baca. Buru-buru menghambur kepada sang putri bungsu dan memeluknya erat.

"Bunda seneng banget akhirnya kamu berniat membuka diri." Tania menangis haru.

"Bun, udah Yerim bilang berkali-kali kan, kalau anak bunda ini kuat?"

"Iya, bunda nggak bakal nangis lagi." Tania melepas pelukannya dan mengusap sisa air mata di pipinya. Ia tersenyum. "Tapi kamu nggak apa-apa kan Rim?"

"Yerim sadar bun, hidup itu cuman sekali dan nggak boleh di sia-sia in. Seharusnya selama ini aku nggak perlu jadi pengecut dan terus kabur. Masih banyak mimpi yang harus dicapai."

"Bunda harap kamu bisa bangkit dan mewujudkannya nak."

***

"Udah yakin nak?"

"Iya Yah. Lagian udah lama nggak ngerasain bangku sekolah." Yerim meneguk puas tegukan terakhir susu milo kesukaannya. Kemudian menatap sang Ayah dengan tatapan meyakinkan.

"Kali ini putusin, Rim. Lo nggak bisa pindah-pindah sekolah terus. Habis lama-lama duit ayah." Seorang cowok yang kini berbaring santai di sofa menyahut tanpa mengalihkan atensinya dari layar kaca.

Yoga menunjuk Yerim dengan tangannya yang masih menggenggam remot TV. "Kayaknya lo bakalan seminggu sekali pindah sekolah deh. Mending di rumah setahun lagi. Mantepin hati lo dulu."

"Kak Yoga!" Yerim melempar bantal sofa yang selama ini menopang kedua sikunya. Yerim berusaha menahan diri agar tidak mencakar-cakar wajah kakaknya sendiri.

"Yoga, jangan gitu sama adeknya. Udah Rim, itu gelasnya hati-hati, jangan sampai pecah." Tania menengahi.

"Ayah sama bunda nyaranin kamu satu sekolah sama Syahna. Kalian sudah kenal dekat. Syahna juga udah tahu kondisi kamu bagaimana. Jadi setidaknya ayah sama bunda nggak terlalu khawatir. Gimana Rim?" Bertoㅡsang kepala keluarga kini menatap gadis kecil kesayangannya, meminta persetujuan.

Gadis kecilnya mengangguk mantap. "Kalau itu terbaik, aku setuju. Disana juga ada Shahna kan."

Yerim sudah memantapkan diri. Memilih menghadapi tanpa harus kabur dan kembali menjadi seorang pengecut. Ia turut lega, ia akan satu sekolah dengan Shahna teman baiknya sejak ia memutuskan untuk mengambil program home schooling. Yerim berharap Shahna dapat membantunya untuk kembali membuka diri serta berani menghadapi dan menetralkan kecemasannya.

"Rim." Yoga tiba-tiba duduk di samping Yerim ketika Tania dan Berto beranjak meninggalkan ruang tengah dan menyisakan keduanya.

"Apa sih." Yerim tidak terlalu menggubris perkataan Yoga. Ia masih merasa kesal.

"Gue acungin jempol buat adek gue yang hebat ini." Yerim melirik sekilas sang kakak yang kini mengacungkan jempol kanannya. Berusaha mati-matian menahan tawa karena ekspresi wajah Yoga yang kelewat lucu.

"Ketawa ya ketawa aja. Nggak usah sok ngambek." Yerim kembali menetralkan ekspresinya.

"Jangan babibu deh kak."

"Gue tadi ngomong kayak gitu juga demi lo, Rim." Yerim terdiam.

"Gue tahu lo bertekad buat ngelawan rasa takut itu. Gue nggak ada niatan buat ngehancurin, Rim. Sebagai kakak, gue cuman mau ngeyakinin lo. Seberapa yakin dan kuat tekad lo itu. Gue mau lo belajar tanggung jawab sama semua keputusan yang lo ambil. Gue nggak mau lo nyerah di tengah jalan dan kabur, lagi. Gue mau lo hadapin semuanya karena gue yakin lo bisa, Rim."

Yerim menatap sendu wajah Yoga yang berbicara dengan pandangan lurus tanpa menatapnya. Ia paham betul kalau Yoga begitu menyayanginya, mengkesampingkan kenyataan bahwa dirinya juga kadang merasa takut.

"Terima kecemasan sebagai bagian dari hidup, Rim." Yoga kemudian tersenyum. "Merangkul dan memanfaatkan kecemasan membantu kita mengontrolnya, bukan sebaliknya. Hadapi Rim, terima kalau semua itu butuh perjuangan. Yakinin diri lo kalau lo lebih kuat daripada ketakutan lo sendiri."

"Kak Yoga ih." Air mata Yerim spontan menetes. Ia mengusap hidungnya yang sudah memerah. Menghamburkan tubuhnya ke dada hangat sang kakak. Memeluknya erat sambil menangis sesenggukan. Tangan Yoga bergerak menenangkan. Menepuk halus punggung rapuh adik kecil kesayangannya.

"Janji ya. Kalau lo merasa takut di tengah-tengah, jangan turutin ketakutan lo itu buat kabur lagi, Rim. Lo ada ayah sama bunda. Lo juga ada gue. Lo nggak sendiri. Nggak baik kalau lo ngebiarin ketakutan lo berhasil nguasain diri lo sendiri. Lo pernah bilang kan, kalau lo cewek kuat?" Yerim mengangguk dalam dekapan Yoga.

"Anjir!" Tiba-tiba Yoga mendorong tubuh Yerim sedikit kuat.

"Liat nih, ingus lo nempel kan di kaus gue!" Yerim tertawa sambil mengusap habis sisa air matanya. "Abis, kaus kakak tissuable. Enak buat sisi."

"Najis!" Yoga pun beranjak meninggalkan Yerim diselingi dengan umpatan-umpatan kecil yang menurut Yerim malah terdengar lucu. Kelakuaannya Yoga mirip cewek kalau lagi dapet aja. Sikapnya lemah lembut di detik pertama tapi bisa tiba-tiba berubah kayak singa kelaparan di detik selanjutnya.

Yerim menghela napas panjang. Memejamkan matanya dan merilekskan tubuhnya sembari menetralkan kembali pikirannya. Teringat kata-kata Yoga barusan. "Merangkul dan memanfaatkan kecemasan membantumu mengontrolnya. Bukan malah sebaliknya." Yerim tersenyum tipis. Mulai hari ini ia akan mencoba.

***