"SUDAH saya bilang, saya mukul dia karena dia yang buat ulah lebih dulu, Pak!" teriak Kembara putus asa. Sia-sia semua tenaga yang ia keluarkan untuk membela diri.
Lelaki itu menatap lekat wajah Kembara yang tertunduk. Remaja berparas cantik yang biasanya banyak tingkah itu, kini tak punya kekuatan lagi untuk menantang sang kepala sekolah. Pembelaan dirinya pun tidak berguna. Apa yang bisa ia lakukan selain menunduk pasrah. Kemarahannya pun tak berarti apa-apa. Tidak akan mengubah keadaan untuk berpihak kepadanya.
"Atas dasar apa kamu memukulnya?"
"Pak, dia menyobek tugas yang harus dikumpulkan hari ini. Apa saya harus diam saja melihat kerja keras saya disobek seenaknya? Yang benar saja."
"Kamu perempuan Ara, dan itu bukan alasan yang tepat untuk memukulnya. Tidak main-main, dua gigi depan temanmu itu rontok akibat pukulanmu. Saya tidak bisa lagi mentolerir kelakuanmu kali ini. Bukan berarti kamu keponakan saya, lalu kamu bisa berbuat seenaknya di sekolah. Terpaksa saya memanggil orang tuamu saat ini juga."
"APA?! Om ... "
Sebelum Kembara sempat membatah pernyataan kepala sekolah, dari luar terdengar suara pintu diketuk. Wajah murka ayah Kembara muncul saat kepala sekolah membuka pintu.
"Anak nggak tahu malu! Belum cukup kamu mempermalukan Ayah!" teriak Ayah marah. Lelaki setengah baya itu hampir saja memukul anaknya jika tidak ditahan oleh kepala sekolah.
"Dia menyobek tugas Ara, Yah," kata Kembara memelas.
"Lantas bisa bikin kamu seenaknya mukul dia? Kamu nggak perlu bersikap bar-bar seperti itu, Kembara! Masih untung orang tua anak itu nggak menuntutmu masuk penjara. Atau memang itu yang kamu inginkan?"
Kembara tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Jika lelaki itu sudah memanggilnya dengan sebutan Kembara dan Ara, artinya ia sedang benar-benar marah pada anak semata wayangnya. Dan, Kembara cukup waras dengan tidak memancing amarah orang tuanya lebih dari ini. Terakhir kali ia membuat ayahnya marah, lelaki itu menyita motor Scoopy-nya dan harus naik kendaraan umum sebagai hukuman atas kelakuannya. Dengan kasus yang sama. Bertengkar dengan teman sekelasnya.
"Sabar, Mas. Bagaimanapun juga, Kembara bermaksud membela diri."
"Aku sudah kehabisan akal mendidiknya, Han. Sudah kehabisan akal."
"Silakan duduk dulu, Mas. Ara, biar Om yang akan mendiskusikan permasalahan ini dengan Ayahmu. Kamu tunggu saja di luar, ya."
Kembara tak langsung beranjak dari tempat ia duduk. Dengan wajah lelah dan mata sembab hampir menangis, ia meminta perlindungan ayahnya, tetapi lelaki itu benar-benar terlihat murka. Dan membiarkan dua kakak-beradik itu membahas nasibnya tanpa melibatkan dirinya, sama saja dengan perkara buruk yang akan terjadi. Kembara tak mau itu terjadi. Maka ia bersikukuh tak ingin beranjak dari tempat ia duduk.
"Ara, ini demi kebaikan kamu. Om mohon, tunggu di luar sementara Om sama ayah kamu membahas soal pertengkaranmu dengan Kenzo."
Gadis itu berjalan keluar ruangan. Menunggu pasrah di tempat terpisah dari dua bersaudara yang akan menentukan nasibnya. Di mata kepsek, Kembara tetap salah dilihat dari sudut pandang mana pun. Meski adik ayahnya itu bilang jika tindakannya untuk membela diri, tetapi memukul orang hingga giginya patah dua buka hal yang mudah dimaafkan. Hal itu justru membuat Kembara seperti tikus dihadapan seekor kucing. Pembelaannya tak akan mengubah apa-apa selain hukuman "mati" yang semakin meremangkan bulu.
Selang 30 menit berlalu. Belum ada tanda-tanda jika dua bersaudara itu telah selesai mendiskusikan masalahnya kali ini. Sesekali ayahnya menoleh ke arah Kembara yang semakin menunduk pasrah di kursinya. Tatapan murka masih berkilat jelas. Membayang di matanya yang terhalang kacamata tipis. Kembara tak pernah melihat ayahnya semarah itu. Firasat buruk mengintipnya dari balik pemisah kaca yang menghubungkan ruang kepsek dengan ruangan tempatnya menunggu. Ia tahu, setelah ini apa pun yang dia lakukan tak akan meluluhkan hati ayahnya.
"Ara, Ayah akan mengirim kamu ke Jawa, ke tempat Kakek. Ayah sudah nggak sanggup mendidik kamu dengan cara Ayah. Mungkin, Kakek kamu satu-satunya orang yang bisa mendidik kamu."
"Ayah … "
"Kemasi barang-barang kamu sekarang. Ayah akan mengurus surat kepindahan juga keperluan lainnya!"
"Om, kok jadi gini sih. Ara nggak mau ikut Kakek. Ara masih mau di sini, Om. Om, tolong Ara!"
"Maaf, Ara. Om nggak bisa bertindak apa pun kali ini. Sudah terlalu sering Om melindungi kamu selama ini."
Air mata telah membasahi pipi Kembara yang tak pernah dipoles make up. Betapa tidak adilnya mereka. Mereka tidak bisa memahami bagaimana perasaannya. Dia korban, tetapi kenapa justru dia yang dipersalahkan dalam kasus ini? Dia memukul karena dia membela diri. Apa harus dia berdiam diri sedangkan temannya itu merobek tugas yang telah dikerjakannya susah payah.
"Ayah, Ara mohon, jangan kirim Ara ke tempat Kakek! Ara janji akan jadi anak penurut, tapi Ara mohon, jangan kirim Ara ke tempat Kakek, Yah," pinta Kembara sambil berlutut di kaki ayahnya.
Melihat pilu di wajah anaknya, lelaki setengah baya itu ingin menyerah. Namun tidak, ia tak boleh mengalah kali ini. Demi kebaikan anak gadis semata wayangnya.
"Ayah sudah terlalu sering mendengar janji kamu, Ara. Cepat kemasi barang-barang kamu. Hari ini juga kamu berangkat!"
Tidak ada gunanya. Kembara menyerah. Keputusan ayah tak akan bisa diubah. Lelaki itu selalu sabar menghadapi sikapnya yang kelewat batas selama ini. Sekalipun ayahnya tak pernah memukulnya, tapi melihat keputusannya kali ini, Kembara telah merasakan sakitnya dipukul tanpa harus lelaki itu menyentuh kulitnya.
* * *
Bunda menangis saat ayah mengemasi barang-barang Kembara. Dipeluknya putri semata wayangnya itu. Tangisnya tidak mengubah tekad suaminya untuk mengirim Kembara pada ayah mertuanya.
"Ayah, apa harus Kembara tinggal sama Bapak? Ayah kan tahu gimana kerasnya, Bapak."
"Justru karena itu Bunda, biar Kembara belajar disiplin dari Kakeknya. Apa Bunda mau selamannya Kembara bertingkah liar seperti ini?" suara Ayah terdengar jelas jika belum bisa meredam emosinya.
"Ayah, beri Ara kesempatan satu kali lagi. Ara janji akan jadi anak yang baik. Ara nggak mau jauh dari Bunda sama Ayah."
Lelaki setengah baya itu mendesah. Melihat anaknya memelas dalam pelukan bundanya, membuat hatinya goyah. Tidak. Kali ini dia tidak akan mengalah. Semua ini dia lakukan demi kebaikan anaknya.
"Tunjukkan kamu akan benar-benar jadi anak yang baik di rumah Kakek. Ayah nggak akan membiarkan kamu terlalu lama di sana, kalau kamu sungguh-sungguh mau berubah. Pak Burhan akan mengantarmu sebentar lagi. Jaga diri baik-baik, Sayang."
Ayah memeluk anak dan istrinya. Hatinya nyeri, tetapi mengingat sikap anaknya membuat lelaki setengah baya itu membulatkan tekad. Meski, berat rasanya mengambil keputusaannya kali ini.