Chereads / Waiting for Autumn / Chapter 2 - Chapter 1

Chapter 2 - Chapter 1

Semilir angin bertiup lembut, jatuhkan dedaunan yang kering nan rapuh. Wangi musim gugur tercium  bersama angin terbangkan satu kenangan yang sudah berlalu.

Saat itu, aku hanyalah gadis kecil yang tidak tahu apa itu kehidupan. Duniaku hanyalah berwarna pekat, sekeras apapun kumelebarkan mata, tak ada yang berubah dari pekat yang menyelimuti.

Salahkah aku terlahir kedunia ini?

Seolah mereka tak menginginkanku, kini aku hanya berdiri mematung, mendengar langkah mereka menjauh, semakin menjauh hingga tidak terdengar oleh rungu.

Angin kini mulai terasa dingin mendekap tubuh mungilku.

Mata ini tak dapat membedakan siang dan malam. Yang jelas, sudah lama kubergulat dalam waktu hanya untuk diam disini sementara langkah itu, tak kunjung menghampiriku kembali.

"Appa, eomma ....," suaraku bergetar menahan tangis, "aku takut ... kembalilah ... hiks ... hiks ... kembalilah ...." Batinku kini merintih lirih.

Tubuhku mulai membeku tersekap malam, tangisku seolah mengudara bersamaan dengan semilir angin musim gugur. Helai demi helai daun kering mulai berjatuhan semakin lebat menghujaniku.

Kini tangisku perlahan lenyap, terlelap diantara hamparan dedaunan kering tubuh mungil ini meringkuk menahan dinginnya angin malam.

Kini terdengar suara langkah kecil yang menghampiriku. kurasakan tangan mungilnya mengambil sehelai daun kering yang menyangkut diatas rambutku.

Ia berusaha menggendongku diatas punggung kecilnya yang masih rapuh, sementara aku masih terlelap bersamaan dengan kesedihan yang menyelimuti batinku.

"Minhyun, siapa gadis kecil yang kau gendong?" tanya seorang ahjumma, yang tak lain adalah ibu pemilik panti asuhan.

"Agh ..., aku tidak tahu namanya eomma. Tapi aku perhatikan dari tadi siang, ia seperti sedang menunggu seseorang di depan gerbang rumah kita, eomma." Jelasnya polos.

"Sini, biar eomma bantu gendong dia untuk kekamar."

Kini tubuh mungilku berpindah pada pelukkan hangat tangan seorang ibu. Ia merebahkan tubuh mungilku dengan hati-hati diatas ranjang yang kecil.

"Eomma, apa dia juga sama seperti adik-adik yang lain, orang tuanya juga tidak akan kembali-kan, eomma?" Tanya Minhyun polos menghawatirkan gadis kecil itu.

Eomma hanya tersenyum dan mengusap lembut rambut Minhyun.

"Kalaupun itu benar terjadi, kamu tidak usah khawatir, karena eomma juga akan menyayanginya, sama seperti menyayangimu dan adik-adik yang lainnya."

"Baik eomma." Minhyun mengangguk yakin.

~~~••••~~~~

Malam kini berlalu, dalam sepinya ia merangkak meninggalkan insan yang masih terlelap dalam mimpi mereka, dengan malu-malu mentari mulai menaiki langit, perlahan sinarnya mulai menyinari dunia memberi kehangatan dalam dinginnya embun pagi buta yang mulai tererai waktu.

Pancaran dari cahaya itu nampak berbaur diantara bentangan langit, sehingga menyuguhkan warna zingga yang merona, orang-orang menyebutnya sun light dan konon katanya itu sangat indah. Entahlah, aku belum pernah melihat panorama alam seperti itu.

Mataku mulai mengerjap menandakan roh-ku telah kembali memasuki raga. Perlahan kelopak mata ini terbuka, seperti biasa ... tidak ada bedanya, terpejam ataupun terbuka, pekat hitam yang ada dihadapanku.

Kumerasa tubuhku tenggelam dalam tebalnya selimut yang memberi kehangatan. Tangan ini mulai meraba sekitar, ini adalah ranjang kayu dan tempat tidur ini hanya cukup untuk satu orang, disamping ranjangku ada sebuah meja kecil dan ....

Praaayyy ... tanganku yang sedari tadi meraba-raba kini menjatuhkan sesuatu hingga pecah. Kurasa ranjangku berayun, seperti ada seseorang diatas sana yang menuruni anak tangga yang berada tepat disampingku.

"Kau tidak apa-apa?" Suara anak laki-laki itu panik.

Ia adalah penghuni ranjang tingkat diatasku, yang dengan tergesa-gesa turun untuk melihat keadaanku.

Hatiku berdegup kencang, tempat ini ... aku tidak mengenalnya. Ranjangku tidak sekecil ini dan di rumahku tidak ada suara laki-laki selain suara nae appa. Dimana aku ... sungguh aku sangat ketakutan ketika menyadarinya.

"Awas!" anak laki-laki itu menarikku hingga tubuh mungilku jatuh dalam dekapannya, "kakimu akan terluka jika kau tak memperhatikan langkahmu," nadanya terdengar sangat panik.

"Appa ... eomma ... nae takut ... hiks ... hiks ...." Aku hanya menangis dan mencoba melepaskan diri, dari dekapan itu.

Brugh ... "akhhhhh!" aku berhasil mendorong anak laki-laki itu, hingga akhirnya ia meringis kesakitan.

Tanganku terus meraba diudara, sementara kaki mungil ini ... sakit ... sangat sakit yang kurasakan ... seperti aku berjalan diatas pecahan beling, atau memang itu yang tengah terjadi, entahlah ... karena pandanganku ini hanyalah berwarna hitam pekat.

Bulir-bulir air mata terus berjatuhan, sakit dan perihnya kaki tidak aku rasakan, bahkan sekarang bau amis darah yang terasa kental begitu menyengat indra penciumanku.

Kini aku tak sanggup berjalan, telapak kaki yang mungil ini seolah sudah mencapai batas rasa sakitnya. Tak menyerah dengan itu ... merangkak ..., yah, aku masih bisa merangkak. Kedua tangan mungil pria itu berusaha meraihku namun entah sudah keberapa kali aku menepisnya.

"Minhyun apa yang terjadi, kenapa disini sangat ribut?" Suara ahjumma itu begitu keras. Membuatku kian didera rasa takut.

"A-apa ... e-eomma ...." Rintihku lirih dengan tubuh mungil yang menggigil ketakutan.

"Eomma ... sepertinya ia tidak bisa melihat. hiks ... hiks ...." Jelas anak laki-laki itu dengan nada penuh kekhawatiran, karena terdengar dari suaranya yang bergetar dan panik. Bahkan ia menangis mengkhawatirkanku.

Kini ahjumma itu perlahan mendekatiku.

"Tidak apa, kau baik-baik saja disini ..., tenanglah nak ..., tenang ...." Suaranya terdengar lembut di rungu ini.

Tangannya mulai membelai rambutku, "ussttt ...," desitnya untuk menenangkanku.

"Tubuhmu bersimbah darah dan dipenuhi luka. Biar eomma mengobatimu yah, nak." Bujuknya dengan lembut.

Namun aku masih takut dalam sendu tangisan, enggan aku menjawabnya.

"Jangan khawatir, nak. Aku adalah Eomma Minhyun dan adik-adiknya yang tinggal disini. Kau juga boleh memanggilku eomma, sama seperti anak-anak lainnya."

"A-aku ingin keluar ... hiks ... hiks ... a-aku harus menunggu appa dan eommaku ... m-mereka pasti mencariku kalau a-aku tidak di sana." Jelasku sambil terisak dalam tangis.

"Baik, kau boleh menunggu orang tuamu diluar sana ..., tapi berjanjilah ... jika malam tiba, kau harus ikut dengan Minhyun masuk dan beristirahat disini. Jika mentari muncul kau boleh menunggunya kembali." Jelasnya lembut.

Aku hanya mengangguk pelan.

"Siapa namamu nak?"

"S-sung Hye Ki," jawabku tertatih.

"Baik, Sung Hye Ki yang manis ...," sapanya lembut, "pertama eomma harus mengobati lukamu terlebih dahulu, lalu eomma juga harus membersihkan tubuhmu dan mengganti bajumu yang bersimbah darah ini. Setelah itu, biar Minhyun menggendongmu keluar dan menemanimu disana."

Aku hanya membalasnya dengan anggukkan.

Dengan telaten dan lembut ia mengobati luka, membersihkan tubuhku dan mengganti bajuku. Kini sudah tak tercium lagi bau amis dari tubuh mungil ini.

Anak laki-laki bernama Minhyun itu menggendongku, ia menemaniku sepanjang hari. Dibawah pohon, dengan dedaunan kering yang menghujani, kita hanya duduk termenung membiarkan hening merajai sang waktu.

"Ehemm ...," dehemnya memecah keheningan, namun aku tetap bertahan dalam hening, "sejak kapan kau tidak bisa melihat?" ia mulai membuka obrolan.

Beberapa saat kubiarkan angin berhembus seolah menghantarkan keheningan. Dan membiarkan Minhyun menunggu jawabanku.

"Entahlah ...," jawabku yang mengalihkan pandangan Minhyun untuk menatapku, "sekalipun aku belum pernah melihat warna-warni dunia selain pekat hitam yang ada dalam pandanganku."

"Apa kau sangat ingin tahu bagai mana indahnya dunia?"

Kali ini, pertanyaannya hanya berbalas anggukkan kecil.

"Kalau begitu aku akan menjadi matamu dan aku akan menceritakan semuuuuuuaaaaaa yang aku lihat di dunia ini," Suaranya terdengar begitu bersemangat dan tulus, "aku janji." Ia meraih tangan kananku dan mencantelkan kelingking mungilnya pada kelingkingku yang lebih mungil dari kelingkingnya.

Aku hanya tersenyum mendengar ketulusan yang terasa hangat didalam hati ini.

"Yang aku lihat saat ini ...," ia mulai bercerita, "wajahmu sangat cantik, rambutmu yang tergerai diatas bahu ... sangat indah ketika tersibak angin,  hidungmu terlihat kecil tapi ujungnya runcing seperti boneka barbie, rahangmu juga membuat wajahmu terlihat mungil dengan pipi yang merah merona, kulitmu putih dan lembut, bibirmu kecil dan berwarna pink, bulu matamu sangat panjang dan lentik, bola matamu indah berbinar, tubuhmu mungil dan terasa ringan saat ku gendong, lalu ...."

"Stop," potongku, "bukankah kau akan menceritakan keindahan yang ada di dunia ini?"

"yah, aku sedang menceritakannya," jawabnya polos, aku hanya mengernyitkan alis, "karena kau adalah salah satu keindahan yang aku lihat di dunia ini."

Entahlah, saat itu aku hanya tersenyum mendengarnya. Ia terdengar polos dan tulus saat itu. Dan akupun sangat menyukai disetiap kata yang ia ucapkan. Kadang aku berpikir, apakah dia bukan manusia? melainkan malaikat kecil yang polos.

.

.

Bersambung ....