Algar menyusuri lorong sekolahnya. Lelaki itu kian berpapasan dengan Tasya, perempuan itu tidak menyapanya sama sekali, hanya melewatinya saja.
Algar menghentikan langkahnya kemudian menoleh, menatap punggung Tasya yang semakin menghilang di balik tembok.
"Tumben banget tuh orang," monolognya kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Algar akan menemui Andara sekarang, kalau tidak salah kemarin perempuan itu sudah bertemu dengan Elvan. Apa yang kira-kira Andara dapatkan dari pertemuannya dengan Elvan kemarin?
Algar tersenyum kecil ketika mendapati Andara berada di dalam perpustakaan. Algar memasuki perpustakaan.
"Sayang," panggilnya. Andara yang terkejut segera menoleh dan melotot ke arah Algar. Apa-apaan panggilan barusan itu?
"Kenapa kaget gitu?" Andara mendesah berat. Bagaimana tidak kaget? Dasar lelaki yang sangat aneh.
"Panggilan lo aneh, jadi gue kaget." Algar tertawa kecil.
"Lo harus biasa dengan panggilan itu. Kita ini udah pacaran," balasnya. Yah, memang benar sih, hanya saja Andara masih belum terbiasa dengan panggilan itu.
Andara terdiam. Perempuan itu menoleh ketika Algar bertanya tentang pertemuannya dengan Elvan kemarin.
"Ada yang aneh," jawab Andara. Algar manaikkan satu alisnya.
"Aneh gimana?" tanyanya.
"Elvan bilang, alasan itu ada di bunda gue. Apa bunda nyembunyiin sesuatu dari gue?" Algar meletakkan tangannya di dagu seolah sedang berpikir.
"Kalau emang dia bilang kayak gitu, mungkin aja bunda lo emang nyembunyiin sesuatu. Tapi, lo lebih baik tanya baik-baik sama bunda lo." Andara terdiam menundukkan wajahnya.
Andara hanya takut kenyataan yang akan diketahuinya justru melukai hatinya dan membuatnya marah kepada bundanya. Andara tidak ingin itu terjadi.
Algar berdiri dan menyentuh bahu Andara. Lelaki itu berpamitan setelah mendengar bel masuk berbunyi, karena setelah ini pelajaran bu Nasmi, Algar harus bergegas.
Sementara Andara, perempuan itu masih bimbang dengan langkah selanjutnya yang akan ia ambil. Bundanya selama ini terlihat biasa saja dan sangat ramah, bahkan wanita itu selalu memberikan motivasi pada Andara. Apa yang harus Andara lakukan? Menunggu waktu dan bertanya pada bundanya secara perlahan? Mungkin.
♡♡♡
Bel pulang baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu, kini Algar tengah berdiri di depan kelasnya seraya menunggu Rio dan Revan yang sedang melaksanakan kewajiban piketnya hari ini.
"Algar," panggil seseorang. Algar menoleh.
"Tasya?" Tasya menundukkan wajahnya, perempuan itu meremas ujung seragamnya.
"Gue ... gue mau minta maaf sama lo." Algar menaikkan satu alisnya.
"Tentang?" Tasya menatap manik Algar yang begitu dingin. Yah, manusia sepertinya memang pantas ditatap seperti itu, bukan?
"Kecelakaan lo ..., itu semua karena gue! Gue mau minta maaf sama lo, tolong maafin gue!" Algar terdiam membisu. Kecelakaannya? Karena Tasya? Bukankah Elvan yang sudah melakukan semuanya?
"Maksud lo apa? Bukannya itu semua ulahnya Elvan?" Tasya tertegun. Jadi Algar sudah tahu tentang Elvan? Tasya menahan air matanya, mungkin ia akan menceritakan semuanya kepada Algar.
"Itu emang ulah Elvan, tapi itu juga salah gue! Gue buat perjanjian dengan dia untuk misahin kalian berdua. Gue mau lo dan dia mau Andara. Gue bener-bener bodoh karena udah setuju dengan perjanjian itu, gue gak tahu kalau dia akan ngebuat nyawa lo dalam bahaya. Gue mohon, maafin gue!" Tasya menahan isaknya seraya membungkukkan badannya 90°.
"Lo mau gue?" Tasya tersentak. Perempuan itu sudah tidak bisa mengelak.
"Iya. Gue mau lo, Algar. Gue suka sama lo selama ini. Gue cuma mau lo jadi milik gue," balasnya. Tasya sudah tidak mengerti lagi, ia akan mengungkapkan seluruh perasaannya di sini, meskipun Tasya sudah tahu jawabannya. Jawaban yang akan membuat hatinya terasa sakit.
Berbeda dengan yang ia bayangkan, Algar justru mengusap puncak kepalanya. Tasya menangis sejadi-jadinya kala itu. Algar tentu menghargai perasaan perempuan di hadapannya, Algar hanya tidak ingin membuatnya sakit untuk yang kedua kalinya.
"Gue minta maaf ..., Algar." Algar mengangguk kecil.
"Gue juga minta maaf karena gak bisa ngebales perasaan lo. Makasih, Tasya." Tasya menyambar tubuh Algar, perempuan itu memeluknya. Tasya merasa sangat hangat dengan posisi seperti ini, Tasya ingin menahannya lebih lama, namun tidak bisa. Perempuan itu harus pergi sekarang juga.
"Gue duluan," ucapnya sambil tersenyum. Algar membalasnya dengan anggukan.
Sepeninggalan Tasya, Rio dan Revan keluar bersamaan. Mereka menatap punggung Tasya yang semakin menjauh.
"Tasya?" tanya Rio.
"Iya. Tadi dia ngobrol sama gue bentar." Rio hanya ber'oh' ria kemudian menatap Algar yang masih terus tersenyum.
Setelah insiden kecelakaan itu, mereka tidak banyak melihat Tasya lagi. Untunglah Tasya kembali berbicara dengan Algar dan membuat lelaki itu tersenyum.
"Yuk cabut." Algar dan teman-temannya kemudian segera menuju parkiran untuk mengambil kendaraan mereka masing-masing.
♡♡♡
Algar membuka handle pintu rumahnya setelah mendengar suara ketukan beberapa kali. Algar mengerjapkan matanya ketika mendapatkan Tasya dengan setelan pakaian yang sangat rapi, perempuan itu juga membawa sebuah koper.
"Tasya?" Tasya mendongakkan wajahnya dan mengeluarkan cengiran polosnya. Algar menaikkan satu alisya, tumben sekali Tasya membawa koper.
Tasya merubah raut wajahnya menjadi sedih dan berkaca-kaca. Tasya langsung memeluk Algar dan membanting kopernya begitu saja.
"Tasya? Lo kenapa?" Algar menjauhkan tubuh Tasya untuk melihat keadaan perempuan itu.
"Kenapa lo bawa-bawa koper?" tanya Algar lagi. Tasya menghapus sisa-sisa air matanya.
"Gue ... gue harus pergi." Algar tidak mengerti dengan ucapan Tasya. Pergi? Kemana?
"Maksud lo apa?" Tasya mengambil napasnya dalam-dalam dan mengepalkan tangannya.
"Gue akan pindah ke luar negeri dan ngelanjutin sekolah gue di sana." Algar membulatkan kedua matanya.
"Hah? Kenapa tiba-tiba?"
"Ini keinginan orang tua gue, mau gak mau gue harus nurutin mereka." Algar menggeleng tegas.
"Tapi ini kayak bukan lo yang biasanya!" Algar mencengkram bahu Tasya erat. Tasya membalas tatapan Algar kemudian menepis kedua tangan Algar yang ada di bahunya.
"Ini gue yang biasa." Algar tertegun dengan perlakuan Tasya, padahal tadi perempuan itu sangat bersikap tidak biasa. Sekarang sikapnya kembali lagi seperti saat perempuan itu membully Andara.
Tasya mengambil kopernya yang sebelumnya ia banting begitu saja.
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan si sinilah letak perpisahan kita." Tasya membelakangi Algar.
Tasya sejujurnya tidak ingin meninggalkan Algar secepat ini, namun orang tuanya memaksa dengan alasan pekerjaan, mau tak mau ia menurutinya. Tasya bohong jika perempuan itu bilang dirinya baik-baik saja saat ini, jelas dirinya sangat tidak baik-baik saja. Masih terlalu cepat mengucapkan selamat tinggal pada Algar, namun inilah kenyataannya.
"Perpisahan itu akan selalu ada, karena kita pernah berjumpa, bersama, dalam canda, tawa dan bahagia. Setiap tetes air mata yang tertumpah di hari ini, akan menjadi saksi atas jalinan erat yang selama ini kita simpul seerat-eratnya," lanjut Tasya. Tasya mengulum senyum kecil kemudian menoleh ke arah Algar.
"Walaupun kita gak bisa bersama pada akhirnya, gue seneng lo pernah hadir di hidup gue. Selamat tinggal, Algar."