Algar mengendarai motornya, lelaki itu akan mengantarkan Andara pulang ke rumahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 dan bunda Andara pasti sudah mau pulang dari pekerjaannya.
Andara turun dari motornya Algar, perempuan itu menatap Algar dan tersenyum kecil. Algar merasa perlahan sifat Andara mulai berubah. Perempuan itu mulai tersenyum sedikit demi sedikit, perempuan itu juga lebih banyak menatap mata Algar.
Dibandingkan dengan sebelumnya, Algar rasa ini sudah lebih baik, sepertinya tidak sulit untuk menepati janjinya.
"Gue masuk, ya." Algar mengangguk. Andara melangkahkan kakinya meninggalkan Algar.
Algar menghembuskan napasnya, kira-kira tempat mana yang cocok untuk menangkan dirinya? Entah kenapa, Algar merasa rumah Rio cocok untuk mendinginkan kepalanya.
Algar melajukan motornya menuju rumah Rio, lumayan jauh dari tempat tinggalnya Andara.
Sesampainya di sana, Algar mengetuk pintu rumah Rio, sayangnya yang membuka pintu bukan Rio iti sendiri, melainkan Tasya. Algar lumayan bingung, kenapa Tasya asa di rumahnya Rio, tapi Algar lebih memilih mengabaikan perempuan itu.
Tasya hanya menundukkan wajahnya, sepertinya Algar masih belum juga memaafkannya. Tapi Tasya adalah Tasya, perempuan itu tidak akan menyerah sebelum mendapatkan Algar. Perempuan itu mengepalkan tangannya kemudian berbalik menyusul Algar yang sudah lebih dulu menghampiri Rio. Tasya tersenyum manis kepada Algar.
"Lo ada apa ke sini, gar? Tumben banget," ucapnya dengan manis seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
"Bukan urusan lo." Rio melirik Algar, biasanya lelaki itu tidak pernah bersikap dingin kepada Tasya, baru pertama Rio melihat Algar sedingin ini kepada Tasya.
Rio berpikir mungkin ada suatu masalah di antara mereka dan Rio tidak berniat untuk ikut campur masalah mereka, jadi Rio akan membiarkannya. Lagi pula Rio sangat percaya dengan Algar, lelaki itu pasti bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Tasya duduk di samping Algar. Algar sama sekali tidak berbicara bahkan melirik Tasya, Algar sudah sangat kesal dengan perempuan itu.
"Gar---
Tasya merasa terkejut ketika tangannya langsung ditepis kasar oleh Algar. Tasya hampir saja menangis jika saja perempuan itu tidak bisa menahannya. Tasya baru pertama kali diperlakukan seperti ini oleh Algar.
"Gar, lo masih marah sama gue?" Algar sama sekali tidak menggubris ucapan Tasya. Bagi Algar ucapan Tasya hanyalah sekadar angin lalu. Tasya tidak menyerah, dia pasti bisa mendapatkan kebaikan Algar lagi.
"Gar, tolong jawab gue." Algar masih diam. Pandangan lelaki itu masih lurus ke depan.
"Gar, lo tuh kenapa, sih? Apa yang gue lakuin itu bener," lanjutnya. Ah, rasanya Algar semakin tambah kesal dengan perempuan di sampingnya itu. Bukannya menyadari kesalahannya, tapi dia malah menganggap dirinya benar.
"Bener?" Tasya mengangguk.
"Lo pikir ngebohongin semua orang dan berusaha ngerusak sebuah hubungan itu bener?" Rio yang mendengarnya hanya berpura-pura mengabaikan, sementara kupingnya masih terus menangkap apa yang kedua insan itu debatkan.
"Tapi gue ngelakuin itu demi lo! Lo gak pantes sama cewe kotor itu! Cewe itu---
"Stop, Tasya! Ini kenyataannya, lo harus terima kenyataan sepahit apa pun itu, pada kenyataannya lo kalah sama perempuan yang lo sebut 'cewek kotor'." Tasya tertegun dengan kalimat Algar barusan. Dirinya? Kalah dengan seorang cewek kotor? Tasya sungguh tidak akan membiarkan itu, sampai kapan pun.
"Hidup ini adalah pilihan. Ingin bahagia tapi dengan kebohongan, atau merasa tersakiti oleh kejujuran. Dan yang lo harus terima sekarang adalah opsi ke-2 karena opsi pertama sudah pernah lo coba, sayangnya lo gagal. Segala sesuatu yang lo lakuin pasti akan ada balasannya. Balasan atas apa yang udah lo lakuin itu udah lo rasakan sekarang, yaitu tersakiti oleh kejujuran dan kenyataan."
♡♡♡
Tasya melangkahkan kakinya menuju perpustakaan, perempuan itu ingin melihat apa yang Algar lakukan bersama Andara.
Tasya tidak masuk, Tasya hanya mengintip keduanya melalui kaca jendela. Tasya melihat Algar yang tengah tertawa di samping Andara, bukankah itu sangat tidak adil? Kenapa perempuan kotor itu selalu bisa memenangkan hati seorang Algar? Padahal Tasya dan Algar sudah bersama hampir 5 tahun.
Tasya mengepalkan tangannya. Sial, cara apa lagi yang harus ia lakukan untuk menjadikan Algar miliknya?
Tasya berlari menembus kerumunan siswa-siswi yang sedang berbincang, Tasya berlari ke luar sekolah, rasanya perempuan itu ingin mengeluarkan segala amarahnya.
Kenapa Algar lebih membela perempuan kotor itu dibandingkan dengan dirinya? Tasya berlari, terus berlari, entahlah tujuannya ke mana, ia sendiri pun tidak tahu.
Tasya sampai di sebuah taman dan menendang batu di sana. Sangat kesal, hanya itu yang ia rasakan saat ini.
"Dasar cewek murahan! Cewek gatel!" gerutunya seraya terus menendang kerikil di dekatnya.
Tasya sedikit terkejut ketika sebuah krikil yang ia tendang mengenai ujung sepatu seseorang, Tasya mendongakkan wajahnya. Perempuan itu menatap seorang lelaki dengan hoodie hitamnya. Tasya mengernyitkan dahinya, ia tidak kenal dengan lelaki itu.
"Lo siapa?" tanyanya. Lelaki itu menatap Tasya dengan dingin, entah kenapa tatapan itu membuat Tasya sedikit ngeri.
Lelaki itu menyunggingkan senyum miringnya kemudian mendekat.
"Jawab pertanyaan gue, lo siapa?" Lelaki itu masih terdiam seraya terus melangkah mendekati Tasya. Tasya hanya bisa melangkah mundur, berusaha memberi jarak yang jauh antara dirinya dan lelaki itu.
"Gue akan bantu lo buat dapetin Algar." Tasya menghentikan langkahnya, perempuan itu tertegun. Kenapa lelaki itu tahu apa yang ia inginkan?
"Maksud lo apa?" Lelaki itu tertawa renyah. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana abu-abunya.
"Gue cuma memberikan penawaran kerja sama untuk lo. Imbalannya, Algar buat lo dan Andara buat gue. Dengan begitu kita akan sama-sama diuntungkan, kan?" Tasya terdiam.
Apa yang harus ia lakukan? Tasya memang menginginkan seorang Algar, di lain sisi Tasya juga tidak mempercayai ucapan lelaki yang baru ia temui ini. Tasya tidak mengenalnya, sangat sulit untuk mempercayainya.
"Lo kenal Andara?" Lelaki itu mengangguk.
"Gue kenal Andara lebih dari siapa pun," jawabnya. Tasya tidak bodoh, bisa saja lelaki itu hanya membual dan memanfaatkannya.
"Bukti?" Lelaki itu menghembuskan napasnya kemudian mengeluarkan ponselnya. Ia memberikan kepada Tasya sebuah foto di mana ada dirinya dan Andara di foto itu.
Di foto itu Andara sangat bahagia dan tersenyum lebar sementara sang lelaki berkacamata hanya tersenyum canggung di samping Andara. Tasya membandingkan lelaki itu, lelaki di hadapannya dan lelaki di foto itu memang memiliki wajah yang sama, hanya saja penampilannya berbeda.
Lelaki di hadapannya begitu dingin dan memiliki tatapan yang mengerikan, sementara untuk lelaki yang di foto sangat terlihat culun dan lembut.
"Itu beneran lo?" Lelaki itu mengangguk kecil.
"Lo mau Andara jadi punya lo, kan? Lo punya rencana?" Lelaki itu menarik satu sudut bibirnya.
"Lo pikir gue berperang tanpa persiapan?" Tasya sangat paham maksud dari kalimat lelaki itu barusan.
"Oke, satu lagi. Balik ke pertanyaan awal gue. Lo siapa?" Lelaki itu mengulurkan tangannya.
"Gue Elvan. Cuma gue yang boleh milikin Andara."