Chereads / 12.12 | END | / Chapter 17 - Story 17 : Janji Algar.

Chapter 17 - Story 17 : Janji Algar.

Algar melangkahkan kakinya menuju kamar. Lelaki itu baru saja sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Baru saja Algar mendaratkan bokongnya, pintu kamarnya kembali terbuka dan Algar mendapatkan Lidya berdiri di ambang pintu.

Lidya yang menghampiri Algar membuat Algar menaikkan satu alisnya. Biasanya bocah itu akan langsung teriak-teriak tidak jelas ketika membuka pintu kamarnya.

"Tumben lo gak bacot." Lidya memukul bahu Algar pelan.

"Enak aja, emang gue gak bacot kali." Algar menatap Lidya dengan malas. Tidak bacot dari mananya? Bahkan setiap hari kerjaan bocah itu hanya membuat Algar menutup kupingnya.

"Ngapain lo ke kamar gue?" Lidya tersenyum manis pada Algar.

"Ajak kak Andara ke sini lagi, dong." Algar mengernyitkan dahinya.

"Ngapain?" Lidya memanyunkan bibirnya. Rasanya Algar ingin memukul wajah adiknya yang sok imut itu.

"Ya mau main lah, bang. Bisa, kan?" Algar hanya menjawabnya dengan menaikkan kedua bahunya.

"Tergantung," jawab Algar acuh. Lidya mendengus kasar.

"Gimana sih bang, lo kan cowoknya." Algar melipat kedua tangannya di depan dada.

"Gue bukan cowoknya." Lidya menarik satu sudut bibirnya.

"Tapi lo suka, kan?"

♡♡♡

Rio memukul bahu Algar untuk menyadarkan lelaki itu, pasalnya sedari tadi Algar terus melamun membuat Rio dan Revan geram melihatnya.

"Menurut lo gimana, gar?" Algar menaikkan satu alisnya.

"Apanya?" Rio berdecak kesal. Lelaki itu sudah menduga pasti Algar tidak mendengarkan omongannya sedari tadi.

"Tantang salah satu anggota tim lawan kita kemaren. Makanya jangan ngelamun mulu, goblok!" Algar hanya mengeluarkan cengiran polosnya.

"Yang mana orangnya?"

"Yang mukanya dingin banget," jawab Revan membuat Algar sedikit terkejut, namun lelaki itu berusaha menyembunyikannya. Kenapa harus membahas hal itu sekarang, sih? Algar masih sangat kesal dengan lelaki itu, Elvan.

"Biasa aja. Emang kenapa? Lo pada takut sama dia?" Rio terdiam sebentar.

"Bukannya takut sih, cuma dia punya aura yang beda dari temen-temennya." Algar menyenderkan punggungnya di kursi yang ia duduki.

"Mungkin itu cuma perasaan lo doang. Banyak orang yang kayak gitu, mungkin lo baru ketemu satu." Rio menempeleng kepala Algar.

"Sok puitis lo," tandasnya.

"Itu gak puitis, gila! Lo aja nanggepinnya berlebihan, kenyataannya emang gitu." Rio hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, rasanya Algar menjadi orang yang berbeda, seperti ... lebih bijak, mungkin?

Setelah jam pelajaran ke-2 selesai dan bel istirahat baru saja berbunyi, Algar menemui Andara di perpustakaan.

Setelah Algar menolak mentah-mentah permintaan Lidya, bocah itu justru mengadu kepada Dita yang membuatnya harus membawa Andara lagi ke rumahnya. Algar tidak bisa membantah omongan mamanya itu.

"Kenapa?" tanya Andara. Ah, Algar benar-benar bingung bagaimana cara mengajak perempuan ini lagi. Algar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Em ... gimana ya bilangnya, adek gue bilang kalau dia mau main lagi sama lo." Andara terdiam sejenak kemudian tersenyum kecil.

"Boleh," jawabnya. Algar membulatkan kedua matanya.

"Hah? Langsung mau?" Andara menaikkan satu alisnya.

"Kenapa enggak? Lagian gue juga bosen di rumah sendirian, bunda selalu pulang sore atau malem." Ya, kalau dipikir memang benar juga, baguslah kalau ini sedikit membantu Andara agar tidak terlalu kesepian.

"Eh, tapi sebelum ke rumah lo, anterin gue ke suatu tempat dulu ya." Algar mengernyitkan dahinya.

"Kemana?" Andara meletakkan telunjuknya di bibir seraya tersenyum kecil.

"Rahasia," jawabnya kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Algar sendirian. Algar terdiam kaku dengan apa yang baru saja ia lihat. Apa itu benar-benar Andara?

Sepeninggalan perempuan itu, Algar mendaratkan bokongnya di kursi, apa-apaan ekspresi Andara tadi? Bukankah Andara sedang menggoda Algar? Kalau iya, bisa-bisa Algar benar-benar jatuh cinta pada perempuan itu, seperti yang Lidya katakan.

♡♡♡

Setelah pulang sekolah, Algar memberhentikan motornya di depan toko cokelat. Andara menyuruhnya menunggu di luar, sementara perempuan itu memasuki tokonya. Algar menaikkan satu alisnya, kenapa harus toko cokelat?

Setelah 10 menit menunggu, akhirnya Andara menampakkan Batang hidungnya lagi. Algar menatap tangan Andara yang menggenggam sebuah kantung plastik.

"Lo beli coklat?" Andara mengangguk kecil.

"Buat siapa?" Andara membuang napasnya kasar.

"Buat mama lo, lah. Gue gak mau dateng dengan tangan kosong," jawabnya membuat Algar ber'oh' ria.

"Santai aja kali, lo dateng juga mama pasti udah seneng." Andara terkekeh kemudian perempuan itu kembali naik ke motor Algar.

Kedua sampai dalam kurun waktu 10 menit. Algar membuka handle pintu rumahnya dan mendapatkan Lidya yang sudah tersenyum senang menyambut Andara. Bocah kecil itu berlari untuk memeluk Andara, Andara tersenyum kecil membuat Algar tidak bisa berkedip sedikit pun.

Cukup lama, Algar akhirnya berdehem canggung. Matanya ini sangat susah diatur.

"Mama mana, Lid?" Lidya melepaskan pelukannya dan menoleh ke arah Algar.

"Mama kayaknya lagi nyuci deh, coba lo panggil." Algar ke belakang sebentar untuk menemui Dita.

Algar hanya memberitahu bahwa Andara sudah ada di rumahnya, tentu saja Dita sangat senang. Dita menyambut Andara dengan hangat, sementara Algar izin ke kamarnya sebentar. Andara memberikan coklat yang sempat dibelinya tadi.

"Ini untuk tante?" Andara mengangguk kecil.

"Iya," jawabnya. Dita menerima coklat iru dengan senang hati, kebetulan sekali coklat adalah salah satu makanan kesukaan wanita itu.

"Kebetulan banget tante suka coklat, kamu nih emang pinter banget, ya?" Andara terkekeh.

"Biasa aja kok tante."

Algar kembali menghampiri mamanya dan Andara yang sedang berbincang hangat. Tiba-tiba saja Lidya datang dan menarik tangan Andara untuk bermain bersamanya, menyisakan Algar dan Dita.

Dita menatap Algar sangat lama, membuat Algar menaikkan kedua alisnya.

"Mama kenapa?" Dita menggeleng.

"Mama cuma mau bilang sama kamu, kamu harus menjaga Andara, Andara itu gadis yang baik. Mama juga mau bilang, kamu gak boleh nyakitin hati perempuan, apalagi perempuan kayak Andara. Kamu paham?" Algar terdiam kemudian mengangguk kecil.

"Andara itu perempuan yang ceria, perempuan yang disegani oleh semua orang karena sifatnya yang sangat ramah. Sayangnya itu dulu, bukan sekarang. Andara yang sekarang adalah Andara yang terturup, perempuan itu tidak pernah menunjukkan senyumnya kepada siapa pun. Andara pasti sangat terkejut dengan kehidupannya yang berbalik seratus delapan pukuh derajat hanya dalam satu hari. Itu semua karena lelaki brengsek yang hampir saja merusak masa depannya. Al janji, bahkan di hadapan mama sekarang. Al janji pasti akan selalu menjaga dan melindungi Andara, Al pasti bisa mengembalikan Andara yang ceria seperti dulu. Al mau Andara bebas dari yang namanya trauma dan rasa kesepian. Perempuan itu harus tahu kalau di dunia ini, ia tidak sendirian." Dita melebarkan senyumannya. Dita yakin, Algar pasti bisa memegang janjinya, hal itu terlihat dari sorot matanya yang sangat serius.

"Mama yakin kamu bisa menepati janji itu," tutur Dita. Algar mengangguk kemudian mengalihkan tatapannya. Algar menatap Andara yang tengah tersenyum dan bermain bersama Lidya.

Algar pasti bisa menjaga senyuman itu, Algar janji.