Suasana kampus di salah satu kota Bandung cukup ramai pada hari itu, tak terkecuali area kantin Fakultas Ekonomi. Teh Icih–penjaga kantin datang membawa nampan berisi 3 mangkuk bakso dan semangkuk mie yamin untuk ketiga gadis yang saat ini tengah duduk di salah satu sudut kantin.
"Ini baksonya ya teh. Urat, telur sama yamin." Setelah memberikan pesanan ketiga gadis itu, Teh Icih langsung menuju dapur kantin untuk mengantarkan pesanan lainnya.
Aileen Mosik–gadis bertubuh mungil yang kerap dipanggil Ai itu mengambil bakso telur. Simpel, karena ia suka telur. Dan menurutnya makan bakso yang berisi telur itu membuat perutnya kenyang meski tanpa nasi. Meski sering kali ketika makan mie, ia selalu menambahkan nasi. Tak hanya Ai, Gupi dan Izza juga. Terlebih jika akhir bulan tiba, mie plus nasi adalah menu wajib bagi para mahasiswa yang merangkap sebagai anak kos.
Sementara Izza menarik mangkok berisi bakso dengan mie yamin. Gadis berhidung mancung itu memang menyukai bakso dan dengan mie yamin yang dipisah.
Gupi sendiri sudah mulai menggigit bakso urat yang sudah dia potong. Menurut Ai, itu adalah alasan kenapa kaki Gupi sekuat baja–dia penggemar bakso urat.
"Kenapa nggak pedes pedes sih?" decak Izza sambil menuangkan sesendok sambal ke dalam mangkoknya.
"Udah kali, lo udah masukin berapa sendok itu tadi?" tanya Ai.
"Baru juga 5 sendok," jawab Izza enteng, membuat Ai menatap horor mangkok di hadapan Izza.
Ai menyukai makanan pedas, tetapi masih dalam level manusiawi. Berbeda dengan Izza. Dan hal ini berbanding terbalik dengan Gupi. Bukan karena tidak suka, tetapi ia lebih sayang perutnya. Jika terlalu pedas, maka ia akan berakhir bolak-balik ke kamar mandi seharian.
"Awas hati-hati kebanyakan makan pedes itu nggak baik buat lambung." Ai mengingatkan ketika Izza masih menambah satu sendok sambal ke dalam baksonya. Bahkan kuahnya sudah menyerupai seperti jus cabai saat ini.
"Anak SD juga tahu kali." Gupi menimpali sembari meniup-niup kuah basonya.
"Kan gue emang anak SD."
"Anak SD bangkotan kayak lo?" cibir Gupi.
"Ih gue mah imut." Ai mencebik. Hal itu sontak membuat Izza terbatuk.
"Gue keselek bakso," kata Izza.
"Tau, Jah. Lo kan lagi makan bakso. Bukan jengkol!" ujar Ai gemas.
"Tapi sebenernya gue keselek karena denger lo bilang kalau lo imut," tambah Izza yang langsung membuat Ai merengut kesal. Dan inilah efek kelamaan bergaul dengan Ai dan Gupi. Izza jadi semakin blak-blakan.
"Mampus lo."
Mendengar hal itu, Ai langsung memberikan deathglare pada Gupi.
"Gue kan pengen tau rasanya diakui sebagai makhluk imut."
"Arkan belum mengakui yah?" tanya Izza yang langsung membuat Ai merengut kesal.
"Otw mengakui... Ah sialan lo. Gue jadi males makan."
"Dih apa hubungannya coba?"
"Gue mulai merasa ngenes, cinta gue bertepuk sebelah tangan dari jaman kapan tahun. Dasar itu kecoak Arab satu."
"Gue bilangin lo nyebut si Arkan kecoa Arab. Baru tau rasa," sambar Gupi.
"Gue bilangin Misaki, Usui selingkuh sama cewek sirkus a.k.a elo," balas Ai dengan menyebutkan salah satu karakter manga kesukaan Gupi. Sohibnya itu memang penyuka animasi dari negeri Sakura.
"Kambing!"
Izza mengacuhkan perdebatan kedua sohibnya dengan menghabiskan bakso dan mie yamin yang ia pesan.
"Aaah kenyang," ucap Izza setelah menyelesaikan makannya. Ia menyorongkan kedua mangkok yang sudah tak ada isinya. Benar-benar kosong, termasuk kuah bercabainya. Di antara ketiga gadis itu, Izza memang memegang rekor makan tercepat.
"Tungguin gue!" Ai langsung kembali menyantap bakso telurnya setelah melihat mangkok Gupi yang sudah hampir kosong. Berbanding terbalik dengan Izza, Ai memang membutuhkan waktu yang lebih lama. Nggak hanya saat makan saja, tapi dalam melakukan hal apapun. Dan hal ini sering membuat Gupi yang notabene tidak sabaran pun gemas.
"Mana mau sih Arkan sama cewek lelet kayak elo!" cibir Gupi. Ai langsung melotot ke arahnya. Dia memiliki reflek yang sedikit cepat jika nama Arkan–cowok idamannya disebut.
"Jangan gangguin. Lagi makan tuh dia, lo juga cepet abisin. Sebentar lagi kelas statistik nih," timpal Izza, ia meminum teh botolnya dengan sekali tandas.
Sambil menunggu kedua sahabatnya menghabiskan makanan mereka. Mata Izza menyisir area kantin yang penuh dengan manusia tampan dan cantik. Mahasiswa Fakultas Ekonomi memang dikenal sebagai mahasiswa tercantik dan terbening di antara mahasiswa fakultas lain. Termasuk Ai, Gupi dan Izza. Yang meskipun mereka sendiri juga termasuk spesies mahasiswa dengan kedodolan yang tak ada bandingannya.
Meskipun dikenal sebagai fakultas yang berisi orang-orang kelebihan anugrah, namun tetap ada mahasiswa dekil bin kusut. Siapa lagi jika bukan para mahasiswa semester akhir. Jangankan mengurusi penampilan, makan saja bahkan mereka lewatkan hanya untuk mendapatkan ACC dari dosen pembimbing.
Jika melihat itu, Ai sering kali menyesal memutuskan untuk kuliah. Terlebih jika melihat kondisi kakaknya yang benar-benar mengenaskan saat ini. Tak hanya badan yang dekil, baju kusut tetapi juga sebuah lingkaran hitam menghiasi matanya.
"Bikin mules," ucap Gupi tiba-tiba.
"Lah kenapa? Lo tadi banyak masukin sambel?" tanya Izza bingung. Ai tak ingin meladeni Gupi karena masih berusaha untuk menghabiskan baksonya.
"Bukan, Ijah. Tapi itu! Geng Si Tarigan." Gupi memutar bola matanya, malas jika berhadapan dengan mereka.
"Masitoh?" Ai langsung menghentikan makan menatap horor keempat cewek yang berjalan ke arah kantin–lebih tepatnya ke arah gadis yang ia sebut namanya. Sama seperti saat ia harus berhadapan dengan Isabella alias Budiono jika datang bersama rekan-rekannya dari taman lawang. Heran, mengapa mereka suka tiba-tiba muncul di kampus meskipun bukan mahsiswa.
"Iyalah. Siapa lagi?" Jawab Gupi monoton.
"Bubar deh." Ai berdiri saat melihat keempat gadis itu berjalan menghampiri mereka, namun dicegah Izza.
"Yeu, eta abisin dulu. Sayang duit."
"Hai gengs," sapa Tarigan–Angela Tarigan. Tapi Gupi lebih senang memanggil nama bataknya. Dia memang lebih sering memanggil orang dengan sebutan yang lain dari yang lain.
"Sudi banget kita se-geng sama lo?" sindir Gupi santai.
"Nggak ada niatan juga sih masukin kalian ke geng kita," balas Tarigan tak kalah sinis. Ia mengambil tempat yang kosong di antara Gupi dan Ai. Diikuti ketiga rekannya dan membuat mereka harus berdesakan di satu meja.
"Heh ngapain pada duduk disini?" tanya Ai.
"Biarin sih. Ini juga bukan tempat kalian. Bebas lagi," jawab Shilvie, pemilik body goals terseksi di antara mereka berempat.
"Cepetan abisin deh Ai!" suruh Gupi gusar membuat Ai kembali fokus dengan baksonya.
"Buru-buru banget. Santai aja Ai makannya, kita kemari cuma sebentar kok," ucap Tarigan sok akrab meskipun sering kali cari gara-gara dengan tiga gadis itu. Ai yang sudah tahu dengan tabiat Tarigan langsung berdecak kesal.
"Akhir bulan nanti Arung ulang tahun. Kalian dengan terpaksa di undang juga mengingat kalian masih satu angkatan. Dateng ya, kalau bisa bawa gandengan masing-masing," sambung Tarigan.
"Arung ultah?" Izza bertanya untuk memastikan. Matanya beralih pada Arung yang duduk di dekatnya.
"Iyah! Kalian dateng ya, di rumah gue kok acaranya." Arung tersenyum manis. "Izza, tau gak tempat dress-dress lucu? Waktu di kondangan Asep kemarin aku sempet lihat kamu pakai dress lucu banget beli di mana?" Di antara Tarigan cs, Arung memang paling polos anaknya dan tidak menunjukan tanda-tanda punya turunan dedemit seperti Tarigan atau Shilvie.
"Itu aku beli di outlet daerah Cihampelas. Eh kamu wajib loh kesana. Asli! Dress nya lucu-lucu banget!"
"Wah iya? Kirimin dong alamatnya, Cihampelas kan luas."
"Oke oke, aku kirim ke Line ya!"
"Ditunggu loh."
Izza sama Arung satu selera. Jadi, kalau sudah ketemu kayak gitu, mereka bakal rempong dan heboh sendiri tanpa mempedulikan deathglare dari rekannya. Izza memang susah melepaskan image easy goingnya, dan hal ini yang sering kali membuat Ai dan Gupi mereka bersalah karena sudah membuat seorang Izzatunnisa Dewi menjadi sedikit 'belok'.
"Aku haus," ceplos Masitoh yang langsung mengambil teh botol milik Ai dan meneguknya sampai habis.
"MASI!" pekik Ai kesal. Ia belum sempat meminumnya setelah menghabiskan bakso.
"Maaf ya Ai, Mash kehausan," ucap Masitoh tanpa rasa bersalah.
"Mash? Hahaha ih jijik." Gupi tertawa hiperbolis yang langsung dipelototi oleh Tarigan.
"Sekali lo ngeledek, lo bakal kena karma kalau nyangkut Masitoh."
Gupi mencebikan bibir dan Ai tertawa sumbang mendengarnya. Jangan tanya apa yang sedang Izza lakukan saat ini. Ia masih fokus dengan ponsel dan mencari alamat outlet di google maps.
"Udah ah, nih undangannya. Kalau datang yah syukur, kalau gak datang juga alhamdulilah." Tarigan menyerahkan tiga buah undangan dengan ogah-ogahan.
"Kita gak bakal dateng," ujar Ai sengak.
"Terserah. Yuk girls, kita pesan pizza aja ke tukang ojol. Bosen banget gak sih makan baso mulu."
"Bodo amat." Ai melenggang pergi untuk mengambil minum setelah teh botol miliknya disesap habis oleh Masitoh, meninggalkan Gupi yang masih adu deathglare dengan Tarigan dan Shilvie, Izza dan Arung yang masih sibuk mencari outlet. Sementara Masitoh dengan tusuk gigi. Entah apa yang dilakukan gadis itu dengan tusuk gigi. Ai tidak peduli. Ia hanya ingin cepat bisa minum setelah rasa pedas menyerang mulutnya.
Ai mengulurkan tangan untuk kulkas di samping etalase Teh Icih. Namun sebelum ia sampai membukanya, pintu itu sudah dibuka seseorang. Ai menoleh dan mendapati seseorang di sana. Berharap ia adalah Arkan namun ternyata harapan selalu mengkhianatinya. Cowok yang berdiri di samping Ai saat ini adalah Januar–mantan pacarnya Izza. Pemuda itu memegang teh botol yang tersisa di dalam kulkas. Menyadari hal tersebut, tangan Ai spontan terulur merebut teh botol yang dipegang Januar. Tak mau kalah, Januar pun mempertahankan teh botol yang sudah diambilnya. Dan disitulah terjadi perebutan teh botol yang sengit antara Ai dan Januar.
Ai berhenti melakukan aktivitasnya. Namun tangannya masih tetap memegang teh botol itu. Ia masih enggan melepaskannya. Sebuah ide terlintas di kepala Ai, membuatnya tersenyum setan. Ia menarik napas dan....
"IJAAAAAAA!!!!"
Pekikan Ai membuat Januar gelagapan dan melepaskan teh botol yang ditarik Ai. Ai manyun seketika karena ia tersentak ke belakang dan hampir jatuh jika tidak bisa menjaga keseimbangan badannya. Januar berdesis dan menatap Ai kesal karena teh botol yang diambil sebelumnya sudah berpindah tangan. Ia pun membuka pintu kulkas dan terpaksa mengambil sebotol air mineral. Saat hendak kembali menuju tempat duduknya, matanya bersibobrok dengan Izza yang kini tengah menatap ke arahnya. Raut wajah Januar berubah dalam hitungan detik. Yang semula manyun langsung tersenyum manis. Izza yang mendapati senyum manis dari sang mantan langsung memutuskan kontak mata dan menunduk malu-malu. Hal itu tak lepas dari penglihatan Ai. Ia memutar bola matanya jengah melihat kedua sejoli berstatus mantan itu masih memendam rasa satu sama lain.
Tak memperdulikan adegan saling pandang antarmantan kekasih itu, Ai kembali duduk di bangku. Menurut hadist Nabi, minum dan makan ada baiknya dilakukan saat duduk.
"Kemana tuh geng abal-abal?" tanya Ai karena meja yang ia tempati sebelumnya kembali hanya menyisakan geng dodol lagi.
"Nggak tau, nggak ngurusin juga," jawab Gupi tidak peduli.
"Tapi guys...kondangannya gimana?" Izza bertanya seraya meneliti undangan berbalut sampul perak itu.
Mereka pun saling berpandangan. Dan percakapan dodol dimulai. Dari yang mendebatkan apakah mereka harus dateng atau enggak sampai ngeributin siapa yang bakalan mereka ajak jadi gandengan, karena ketiga gadis itu sama-sama berstatus single saat ini. Sebenarnya tidak bisa dibilang single, Gupi sendiri sedang dipepet sama seorang bassist dari anak band, Izza yang masih ada kesempatan balikan sama Januar dan Ai, dia single tulen kecuali Arkan segera sadar bahwa sosok mungil itu begitu menyukainya.
Dan ujung-ujungnya mereka tidak peduli dengan partner yang harus diajak, karena pada akhirnya kemana pun mereka selalu bertiga saja.