Chapter 2 - BAB 2

Bintang jatuh di siang hari, kedengarannya begitu tidak masuk akal bukan? Nah, seperti itu lah yang dialami oleh Zeolya. Dia tidak pernah menyangka jika seorang Regal Cegiera akan mendatanginya dan meminta tolong untuk menjadi pacar pura-puranya. Demi Tuhan, Zeolya bahkan tidak pernah berani membayangkan kalau hari seperti ini akan tiba. Jadi tanpa perlu pikir panjang, Zeolya langsung mengiyakan saja permintaan itu dengan sebuah syarat.

Berhubung salah satu alasan Regal bisa terkenal yaitu berkat kepintarannya, maka Zeolya meminta agar Regal bisa menjadi mentor belajarnya sampai menjelang kelulusan nanti. Zeolya perlu meningkatkan nilai-nilainya, kalau benar-benar mau mendapatkan beasiswa kuliah dan hal itu bisa dia peroleh bila Regal bersedia membantunya.

Meski jauh di lubuk hatinya, Zeolya merasa sangsi dengan kesepakatan yang dia ajukan. Mengingat, reputasi Zeolya selama sekolah ini hanya lah sebagai hantu. Iya, keberadaanya itu tidak kasat mata, eksistensinya gak pernah dianggap, mungkin kalau dia menghilang sekali pun tidak akan ada orang yang sadar. Semenyedihkan itu memang.

Meski begitu buat Zeolya sendiri, semua tidak jadi masalah. Baginya, semakin tidak terlihat justru semakin baik karena dia tidak membutuhkan pengakuan dari orang-orang. Terlebih lagi pada akhirnya juga dia tetap saja akan dilupakan seperti sebelum-sebelumnya, jadi akan lebih mudah bila sejak awal sudah sendiri. Dengan cara itu, Zeolya tidak perlu merasa kesepian.

"Yaampun, Regal ganteng banget!!"

"Gusti Maha Agung, cipataan-Mu sungguh indah."

"Bapak, calon menantumu itu kalo senyum suka gaada akhlak."

Berbagai tanggapan teman sekelasnya, membuat Zeolya merasa pusing sendiri. Yah, dia tidak bisa menyangkal kalau senyuman Regal memang begitu menawan. Cuma dia tidak mesti sampai lupa diri, seperti teman lainnya, kan?

Lagian, lebih mengasyikan menggambar langit biru di luar sana daripada melihat Regal dan senyumannya itu. Zeolya cukup tahu diri, cowok seperti Regal itu hanya bisa dikagumi tanpa bisa dimiliki, sebelas dua belas sama senja lah.

"Kenapa? Jangan melamun, liat tuh mereka pada ngiler jadinya." Tegur Zeolya, sesaat Regal duduk di sampingnya dan menatap lekat wajah Zeolya.

Dia cukup risih dengan kelakuan Regal, belum lagi dengan jantungnya yang makin berdebar hebat seiring dengan helaan napas Regal yang terasa begitu dekat.

"Biarin aja, aku mau rekam wajah kamu di kepala." Balas Regal, tanpa mempedulikan sekitar.

Sialan sekali, bagaimana bisa Regal mengatakan hal barusan dengan mudah dan tanpa ada beban. Sementara Zeolya mati-matian harus menahan diri untuk tidak mencakar wajah Regal, yang hari ini terlihat begitu tampan. Sepertinya Zeolya harus meralat ucapannya tadi, bila melihat Regal dan senyumannya itu tidak kalah menyenangkan daripada

menggambar langit biru di luar sana.

Dengan gugup, Zeolya berusaha bertanya. "Hah? Buat apa?"

"Udah 2 tahunan lebih aku sekolah di sini, bahkan udah hampir 1 semester kita sekelas. Kenapa aku gak pernah sadar kalo ada murid perempuan yang namanya Zeolya?"

Karena aku emang gak kasat mata aja. Hantu sama aku itu sebelas dua belas.

"Ck..kalo kamu gak pernah sadar, terus kenapa kemarin kamu bisa panggil namaku?"

"Karena ini," Regal menunjuk name tag yang terpasang di seragam bajunya.

Tidak bisa dipungkiri, jawaban Regal barusan membuat Zeolya makin sadar jika keduanya benar-benar berbeda. Seperti langit dan bumi, sejauh itu perbedaannya. Zeolya harus lebih mawas diri, agar tidak perlu jatuh dalam pesona seorang Regal.

"Udah sana balik ke bangkumu lagi, bentar lagi jam pelajaran dimulai."

"Kali ini, aku gak akan lupa lagi. Nanti ke kantin bareng." Regal mengusap pelan rambut Zeolya, yang tidak hanya membuat rambut gadis itu berantakan tapi juga dengan perasaannya.

Sepanjang jam pelajaran, Zeolya tidak bisa fokus dengan materi yang disampaikan. Hal itu karena Zeolya terus-terusan mendapatkan tatapan tidak suka dari teman-teman perempuan yang ada di kelasnya. Jujur, sangat menganggu sekali tindakan mereka itu.

Beruntung, jam istirahat segera datang. Sehingga Zeolya bisa keluar dari kelas dan bisa sedikit bernapas lega. Buku sket dan walkman, selalu menjadi teman setia yang selalu dia bawa kemana pun. Dengan langkah pasti, Zeolya berjalan ke arah pintu sebelum kemudian salah satu tangannya ditahan, membuat Zeolya menghentikan langkahnya.

"Tadi udah janjian bareng, kan? Tunggu sebentar, aku rapiin buku dulu." Zeolya hanya diam, tidak bereaksi apa pun.

"Udah selesai, ayo ke kantin." Regal menggengam erat tangan Zeolya, membawa gadis itu berjalan beriringan dengannya.

"Aku gak mau ke kantin." Ujar Zeolya, pelan.

Regal menoleh kearah Zeolya, memastikan jika barusan Zeolya tengah berbicara. "Kamu bilang apa?"

"Aku gak mau ke kantin." Ulang Zeolya, dia benar-benar tidak suka ke kantin. Keramaian, membuatnya sulit bernapas.

"Terus, kita harus ke mana?"

Kali ini Zeolya yang menoleh ke arah Regal, dia ingin memastikan jika barusan dia tidak salah dengar. "Kita?"

"Iya, kita mau ke mana?"

Zeolya menatap Regal dengan pandangan bahagia. "Ke markas rahasia. Ayo."

Selama di perjalanan, berkali-kali Zeolya menutupi wajahnya dengan buku sket yang ada di tangan. Berjalan bersama Regal sepertinya memang tidak bisa jika tidak menjadi pusat perhatian. Semua pasang mata tertuju ke arahnya, ah bukan, lebih tepatnya ke arah Regal. Zeolya benar-benar berharap agar mereka tidak mengenali dirinya, seperti hari-hari sebelum ini, sebelum ada Regal di sisinya.

"Kamu gapapa?" Zeolya menganggukkan kepalanya. "Tapi, kayaknya kamu keliatan risi jalan sama aku."

"Eh, gak gitu. Aku cuma gak biasa jadi pusat perhatian gini." Jelas Zeolya, tidak enak hati dengan Regal yang kini tampak mencemaskan keadaanya.

Hening, tak ada lagi tanggapan dari Regal. Zeolya yang merasa canggung, memilih untuk ikut menutup mulutnya.

******

Markas rahasia yang dikatakan Zeolya ternyata ada di belakang gedung perpustakaan, tempat itu biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan kursi dan meja yang sudah tidak layak dipakai.

Pertama kali Zeolya menemukan markas rahasianya, ketika dia lupa mengerjakan pekerjaan rumah dari Pak Komar-guru matematika paling galak seantero Ganesha-hingga akhirnya dia memilih untuk membolos jam pelajaran tersebut. Zeolya memilih menyendiri di perpustakaan, duduk di paling pojok menghadap jendela yang mengarahkan tatapannya ke tempat yang kini menjadi markasnya itu.

Tak ada yang istimewa dari markas rahasia Zeolya, selain adanya pohon beringin besar. Namun bagi Zeolya, tempat ini sempurna. Di sini dia bisa bersembunyi, menggambar, bahkan menatap langit biru sampai terkadang bisa tertidur sangking nyamannya.

"Kita mau ngapain di sini?" Tanya Regal, dia sibuk memperhatikan jejeran kursi dan meja yang tampak reot.

"Diskusi sama langit. Minat gak?" Zeolya duduk bersandar di bawah pohon dengan nyaman, sama sekali tidak takut jika roknya jadi kotor karena terkena rumput dan beberapa daun kering.

Meski bingung, Regal menganggukkan kepalanya. Entah kenapa, ajakan Zeolya untuk berdiskusi dengan langit rasanya terdengar aneh tapi juga membuatnya penasaran.

"Halo langit, apa kabar? Hari ini, aku gak sendirian. Aku bawa temen paling terkenal seantero ganesha, namanya Regal." Zeolya menoleh kearah Regal dan tersenyum kecil. "Dia pinter banget anaknya, gak sombong juga. Buktinya, dia mau temenan sama orang sejenis aku."

Regal tiba-tiba saja tertawa. "Jangan percaya langit, aku ini bukan temennya."

"Hah?!"

Regal makin tertawa, melihat raut wajah Zeolya saat ini entah kenapa rasanya menyenangkan. "Aku pacarnya.." Zeolya hendak protes, sebelum Regal kembali berucap. "Pacar pura-pura sih." Kontan saja, wajah Zeolya terlihat memerah menahan emosi.

Kesal, Zeolya memilih untuk menyudahi acara diskusi dengan langit. Gadis itu memasang earphone ke telinganya, menyetel salah satu instrumen piano karya

Ludwig van Beethoven; Moonlight Sonata dan mulai membuat garis-garis halus di buku sket miliknya.

Regal yang menyadari jika Zeolya sedang dalam mode ngambek, akhirnya memilih untuk ikut bersandar ke batang pohon, dan memperhatikan Zeolya dalam diam. Hingga beberapa lama, sapuan angin yang menyentuh kulitnya seperti menjelma menjadi dongeng pengantar tidur, membawa ketenangan membuat Regal perlahan tertidur.

Menoleh ke samping, Zeolya mendapati wajah damai Regal yang tengah terlelap. Membuka halaman baru, dengan pensilnya Zeolya mulai menggambar wajah Regal. Jika diperhatikan seperti ini, Zeolya merasa kalo Regal yang tengah terlelap jauh lebih baik daripada ketika sadar, karena entah bagaimana Zeolya merasa sepasang mata milik Regal mirip dengannya, sama-sama menyimpan rasa; kesepian.

[BERSAMBUNG]